Oleh Muhammad Syamsudin
Presiden Director Center of Banking Crisis (CBC), Ahmad Deni Daruri suatu ketika berpendapat bahwa di tengah situasi krisis saat ini, Indonesia tergolong negara yang paling tahan terhadap terjadinya turbulensi/guncangan ekonomi. Dalam situasi krisis pasar global, Indonesia masih masuk kategori memiliki stabilitas ekonomi, meskipun imbas itu juga turut dirasakan. Jika tahun 2015 yang lalu, rupiah sudah tercatat jatuh di angka 13.000 rupiah per USD dan kemudian di tahun 2018 ini, Indonesia masih berada pada kisaran nilai tukar 14.800 atau 14.900 per USD. Ini mengindikasikan bahwa stabilitas ekonomi negara ini masih kuat.
Adalah sebuah risiko, Indonesia selaku negara yang aktif berhubungan dan bekerja sama dengan negara lain termasuk dengan Cina dan Turki serta beberapa negara lain di belahan dunia, setiap ada turbulensi di negara sahabat, maka turbulensi itu pasti akan membawa imbas pada negara sahabatnya juga. Siapa pun presidennya, dan sehebat apa pun presidennya, imbas turbulensi ini tetap akan terjadi. Sebuah risiko hubungan bilateral dan multilateral antarnegara di dunia.
Deni Daruri lebih lanjut menyoal bahwa ada hubungan antara stabilitas ekonomi Indonesia ini dengan sikap akomodatif kebijakan fiskal pemerintah dengan kebijakan pihak pemegang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Keempat komponen ini saling bahu membahu menjadi soko guru secara kelembagaan yang krusial bagi perekonomian negeri. Andai kebijakan fiskal ini tidak bersifat akomodatif, niscaya mata uang Indonesia akan terjun bebas di angka 47 ribu-an per US Dolar, khususnya bila disetimbangkan dengan negara tetangga.
Jika Deni Daruri – Presiden CBC - berbicara soal soko guru sistem ekonomi dan fiskal Indonesia, maka Sri Mulyani - selaku Menteri Keuangan - sebagaimana dilansir Okezone, di kesempatan lain ia mengatakan bahwa stabilitas ekonomi Indonesia tidak lepas dari kuatnya 4 pilar ekonomi kemasyarakatan Indonesia. Keempat-empatnya saling jalin-menjalin antara satu dengan yang lain dan mulai distrukturkan melalui kebijakan Revolusi Mental. Bahkan ia mengatakan bahwa jika keempat pilar fondasi ekonomi Indonesia ini senantiasa dipupuk, maka bukan mustahil pada tahun 2045, secara kuantitatif Indonesia akan siap menjadi sebuah negara dengan perekonomian maju baru di dunia - meninggalkan status sebagai negara berkembang.
Sri Mulyani secara garis besar menyebutkan bahwa keempat pilar ekonomi itu antara lain, adalah: pertama kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia sudah masuk kategori baik. Tingginya kualitas pendidikan ini, membawa Indonesia terbukti telah sanggup membawa pengaruh pada kesejahteraan dan kesehatan yang baik pula bagi masyarakat. Pendidikan terbukti telah mampu membentuk jiwa-jiwa kewirausahaan (enterpreneurship) yang mandiri dan bekerja dengan mental mengedepankan profesionalisme. Meskipun, pada dasarnya masih ada yang berkutat pada politik partisipatif dan belah bambu, namun indikasi profesionalisme ini lebih menguat seiring kemandirian yang dibangun dengan indikasi meningkatnya peran sektor UMKM (Usaha Menengah dan Kecil Masyarakat).
Keberadaan UMKM telah menjadi ajang baru terbentuknya sektor-sektor riil masyarakat yang mampu menyerap tenaga kerja. Masyarakat sudah tidak lagi memiliki orientasi bahwa pendidikan adalah diperuntukkan guna melamar sebagai tenaga kerja di sebuah perusahaan atau lembaga instansi pemerintah atau swasta. Output pendidikan terbukti sudah berani menciptakan lapangan usaha baru.
Masih menurut perempuan selaku Menteri Keuangan periode pemerintahan Presiden Jokowi ini, pilar kedua ekonomi Indonesia terletak pada kualitas infrastruktur negara yang tergolong baik. Pemerintah dari rezim ke rezim secara simultan telah berhasil menjembatani jurang kesenjangan ekonomi antara desa dan perkotaan. Kendati angka signifikan ini masih terus harus dipacu dan digalakkan lagi oleh pemerintah dengan bekerja sama dengan sektor-sektor riil masyarakat.
Pilar ketiga adalah kualitas kelembagaan. Baik pemerintah maupun swasta, secara bahu membahu dan bekerja sama telah berhasil membangun sistem kelembagaan yang berbasis profesionalisme. Masih adanya aparat yang melakukan korupsi bukan merupakan bukti bobroknya sistem. Korea Selatan yang sudah menjadi negara maju, baru-baru ini presidennya dipenjarakan. Dengan demikian, maksud dari pilar kelembagaan sebagai fondasi ekonomi negara ini adalah dimaknai pada aspek pengedepanan profesionalitas dan integritas aparat dalam melayani masyarakat. Rupa-rupanya sikap profesionalisme dan integritas ini sudah mulai terbentuk dalam setiap jiwa aparat sipil negara dan swasta.
Secara perlahan, sikap dan mental ingin senantiasa dilayani warga oleh negara dengan berbagai fasilitas dan subsidi serta inginnya gratisan telah mulai ditinggalkan. Dengan dicabutnya sejumlah subsidi mengakibatkan negara lebih bisa melakukan efisiensi anggaran sehingga bisa tetap konsen pada sektor-sektor yang vulnerable, yaitu sektor terlemah dan darurat di masyarakat dan mutlak harus difasilitasi. Pembangunan wilayah perbatasan dan pulau terluar, serta pembangunan wilayah Indonesia bagian Timur dan Luar Jawa, adalah bertujuan menjembatani jurang kesenjangan yang terjadi di masyarakat. Dengan infrastruktur yang baik, dapat menekan laju kebutuhan ekonomi sehingga harga lebih murah dan dapat dijangkau oleh masyarakat.
Pilar keempat adalah dukungan masyarakat terhadap negara. Politik partisipatif – yaitu: politik yang menekankan pada keterlibatan masyarakat dalam menentukan pilihan dan arah kebijakan pemerintah - membawa imbas pada terbitnya rasa percaya diri masyarakat serta dukungan, dan merasa senang memiliki kontribusi terhadap negara.
Penolakan sejumlah tokoh di sejumlah daerah baru-baru ini dan menerima tokoh lain yang dipandang akomodatif serta berperilaku sosial baik, bisa jadi merupakan bagian dari wujud dari politik partisipatif itu. Efeknya, adalah seolah akan muncul garis demarkasi antara pihak yang pro pemerintah dan kontra pemerintah. Untuk pihak yang tidak siap dengan skema partisipatif ini, maka mereka akan terjebak dan terlena di dalam politik partisan dan politik kepentingan. Politik partisipatif akan selalu berbasis pada keragaman budaya dan latar belakang masyarakat.
Dalam penerapan politik partisipatif, pemerintah hanya berperan menjaga agar kedua kelompok tetap berjalan pada rel yang wajar dan tidak menimbulkan konflik sosial berkepanjangan.
Santri sebagai Elemen Pilar Ekonomi Negara
Santri sering dikenal sebagai kaum sarungan yang setiap harinya berjibaku dengan pengabdian kepada agama dan menampakkan citra kesalehan sosial di masyarakat. Santri adalah kelompok masyarakat yang dengan berbekal ketaatan kepada kiai, ia senantiasa berusaha hadir membimbing masyarakat dan menjadi corong suara masyarakat. Santri adalah pihak yang senantiasa melakukan amar ma’ruf dan nahi ‘an al-munkar. Pedoman yang dimiliki oleh santri adalah thaat kepada Allah SWT, taat pada Rasulullah SAW dan thaat kepada ulil amri, yaitu pemerintah dengan berbekal pengetahuan agamanya dengan tetap memperhatikan landasan pedoman yang sudah disepakati oleh para ulama’.
Sebagai corong masyarakat, santri harus mampu menjadi tali penyambung jurang informasi antara pemerintah dengan masyarakat. Untuk itu diperlukan sikap dan pengetahuan yang luas serta pemahaman terhadap nilai-nilai keagamaan, kenegaraan, kebangsaan dan sosial. Tanpa kesadaran sikap, pengetahuan dan pemahaman ini, maka santri justru akan menjadi sumber penyebab semakin melebarnya jurang informasi antara negara dan warga. Ia bisa menjadi bumerang bagi pemerintah, atau bahkan sebaliknya, menjadi blunder bagi warga yang diwakilinya. Seorang santri harus tetap berada di posisi tengah (tawassuth). Negara ini ada dan dibangun dengan relasi hubungan antara nasionalisme umara’ dan sikap keagamaan kaum santri. Untuk itu, stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara harus tetap senantiasa menjadi perhatiannya.
Stabilitas pemerintahan dapat membawa akibat pada fokusnya pemerintah dalam menjalankan amanah undang-undang dasar 1945 dan Pancasila. Stabilitas pemerintahan juga dapat memicu tumbuhnya ekonomi di berbagai daerah. Pengamalan keagamaan dan sikap toleransi sosial hanya ada pada negara yang damai serta tidak dirundung konflik. Inilah tugas terberat dari santri selaku volunteer dari pemerintah dan masyarakat. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Penulis adalah Pegiat Kajian Fiqih Terapan