Oleh Anggi Afriansyah*
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sudah teruji dalam jejak langkah perjalanan bangsa ini. Kontribusi kiai dan santri sangat jelas terekam pada narasi sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme.
Memori heroik pejuang kemerdekaan yang berasal dari pesantren banyak terungkap di buku-buku sejarah. Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 adalah bukti nyata seruan ulama-ulama pesantren yang terhimpun pada wakil-wakil daerah (konsul-konsul) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura untuk jihad fisabilillah melawan kedzaliman penjajah pada masa itu.
Poin kedua dari Resolusi Jihad tersebut menyatakan “Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam”. Seruan nyata yang kemudian membakar semangat ulama, santri, dan umat Islam untuk melanjutkan perjuangan melawan penjajah Belanda yang mencoba kembali menduduki Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pesantren pun sudah terbukti secara nyata memberikan pendidikan dan pencerahan bagi masyarakat. Melalui pesantren, Sumber Daya Manusia (SDM) yang kreatif, produktif, inovatif, toleran, religius, serta berwawasan global dikonstruksikan. Pesantren secara faktual telah menjadi salah satu motor perubahan bangsa ini melalui kegiatan pendidikannya.
Keunggulan pesantren ada pada proses pendidikan yang tidak hanya menitikberatkan pada pemahaman pengetahuan agama saja tetapi juga terkait pada pendisiplinan diri dan keterampilan hidup. Apalagi banyak pesantren sudah terintegrasi dengan pendidikan formal dari jenjang PAUD, pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi sehingga integrasi keilmuan agama dengan ilmu umum sudah sangat kuat.
Pendidikan karakter yang beberapa tahun ini diupayakan terus menerus di berbagai satuan pendidikan sesungguhnya sudah lama diimplementasikan di pesantren. Pesantren punya banyak mekanisme untuk mendisiplinkan laku dan akhlak para santrinya. Pendidikan yang tak hanya berlangsung di ruang-ruang kelas. Seluruh aktivitas di pesantren adalah proses pendidikan.
Pendidikan pesantren bersifat menyeluruh yaitu meliputi olah pikir, oleh hati, olah karsa, dan olah raga. Olah pikir melalui proses pengkajian tafsir Al-Qur’an, pengajian kitab-kitab kuning ulama-ulama termasyhur, diskusi keagamaan, pendidikan bahasa, dan pelatihan pidato. Olah hati melalui aktivitas peribadatan seperti tadarus Al-Qur’an, shalat berjamaah, shalat sunnah, dan berdzikir. Olah karsa melalui kebiasaan saling menghargai, kerjasama, toleran dengan sesama santri, kiai, ustadz/ustadzah, maupun masyarakat di lingkungan pesantren. Olah raga melalui kegiatan latihan pencak silat maupun aktivitas fisik lainnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Agama jumlah santri secara keseluruhan secara nasional adalah 3.759.198 santri yang terdiri dari 1.886.748 santri laki-laki (50,19%) dan 1.872.450 santri perempuan (49,81%). Tiga juta santri yang tersebar di seluruh Indonesia tersebut merupakan aset bangsa di masa depan. Mereka memiliki hak mendapat pendidikan yang baik dan berkualitas. Setelah lulus dari pesantren para santri memiliki potensi berkontribusi di tengah persaingan global.
Alumni pesantren dan kontribusinya
Alumni pesantren tak hanya berprofesi sebagai pendakwah, ustadz/ustadzah, guru agama, ataupun kiai. Mereka juga berprofesi sebagai pedagang, buruh, penulis, peneliti, arsitek, ekonom, dokter, wartawan, guru, politisi dan beragam profesi lainnya.
Alumni pesantren pun tak selalu melanjutkan ke Al Azhar, UIN, STAIN, atau institut dan universitas keagamaan lainnya. Sudah sejak lama para santri lulusan pesantren melanjutkan ke UI, UGM, ITB, Unair, Unpad, ITS, UPI, UNJ, dan perguruan tinggi lainnya baik di Indonesia maupun di luar negeri. Para alumni tersebar di mana saja, bahu membahu berkontribusi untuk kemajuan bangsa.
Beberapa tokoh bangsa yang memiliki kapasitas keilmuan dan ketokohan berasal dari pesantren. Gus Dur adalah salah satu potret lulusan pesantren yang berhasil menjadi Presiden Republik Indonesia. Ada juga Cak Nur, Cak Nun, KH Idham Chalid, Hidayat Nur Wahid, KH Hasyim Muzadi, Dien Syamsudin, Yudi Latief, maupun Menteri Agama saat ini Lukman Hakim Syaifudin yang sudah dikenal luas baik di Indonesia maupun dunia internasional.
Ada juga generasi yang lebih muda yang merupakan lulusan pesantren seperti penulis novel best seller Ahmad Fuadi dan Habiburrahman El Shirazy juga penggagas KawalPemilu.org Ainun Najib yang merupakan seorang data scientist.
Nama-nama tersebut membuktikan bahwa alumni pesantren tidak selalu bekerja di bidang keagamaan saja tetapi dan juga di bidang-bidang lainnya. Alumni pesantren tidak boleh gagap ketika berhadapan dengan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Mereka dituntut aktif terlibat dalam penyelesaian masalah-masalah kemasyarakatan dan kebangsaan.
Sayangnya makin lama pesantren seolah semakin jauh dari perhatian publik. Pesantren seringkali diidentikan dengan sesuatu yang tradisional dan ketinggalan zaman. Padahal banyak pesantren memberlakukan pendidikan modern tanpa meninggalkan tradisi intelektual kepesantrenan yang sudah lama dipegang.
Dalam tradisi pesantren istilah Almuhafadhotu ‘ala qadimisshaalih wal akhdzu bil jadidil ashlah menjadi pegangan. Term tersebut menjadi rujukan bagi pesantren untuk terus melestarikan serta menjaga nilai-nilai juga tradisi lama yang masih relevan dan mengambil nilai-nilai yang lebih baru demi kehidupan yang lebih baik.
Pesantren sudah lebih siap dalam menghadapi perubahan zaman. Banyak pesantren yang terintegrasi dengan lembaga pendidikan formal. Adanya pendidikan formal dari mulai PAUD, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, sampai perguruan tinggi merupakan jawaban terhadap kemajuan zaman.
Selain mendapatkan bekal ilmu agama dan pembentukkan akhlak di pesantren para santri mendapatkan pengetahuan umum dan kemampuan leadership. Karakteristik dan model pendidikan pesantren semakin bervariasi. Penguasaan ilmu agama dan pembentukan akhlak yang menjadi fokus pendidikan di pesantren ditambah penguasaan teknologi, kemampuan bahasa asing, kapasitas kepemimpinan, juga kemampuan berwirausaha akan membuat para santri lulusan pesantren siap menghadapi persaingan global.
Posisi pesantren yang sangat strategis dalam konstruksi pendidikan di Indonesia tentu harus tetap dijaga dan dikembangkan. Pesantren mestinya tak menjadi pendidikan alternatif bagi orang tua untuk pendidikan putra-putri mereka.
Orang tua tak harus khawatir anak-anak mereka tak mendapatkan peluang pekerjaan yang baik di masa depan jika memasukan anak-anaknya ke pesantren. Beberapa waktu ini misalnya ada gerakan Ayo Mondok yang digagas oleh Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI). Gerakan Ayo Mondok digagas agar semakin banyak orang tua yang memasukan putra dan putrinya ke pesantren.
Pesantren, selain menjadi garda pencetak ulama-ulama yang mumpuni dan memiliki uswah hasanah (contoh baik) bagi umat juga diharapkan sebagai penjaga moral kebangsaan. Diharapkan lulusan pesantren semakin banyak yang terlibat aktif dalam gerakan kemasyarakatan dan kebangsaan untuk mengawal bangsa ini menjadi bangsa yang adil dan berdaulat.
*Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Alumni Pondok Pesantren Cipasung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat