Oleh Amin Mudzakkir
Salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh para pemimpin daerah di era pasca-Soeharto adalah ketidakmampuan mereka dalam menegosiasikan “politik identitas” dan “politik kesejahteraan” secara baik. Politik identitas mengacu pada agama, etnisitas, bahasa, sejarah, dan isu-isu yang bersifat primordial lainnya, sementara politik kesejahteraan meliputi pembangunan ekonomi, penyediaan fasilitas umum, pembukaan akses pekerjaan yang layak,<> dan hal-hal yang terkait dengan penataan kehidupan publik umumnya. Sebagian besar pemimpin daerah lebih tertarik untuk mengurusi yang pertama, tetapi mengabaikan yang terakhir.
Tentu saja jika ditelusuri lebih jauh, kecenderungan untuk mengutamakan politik identitas daripada politik kesejahteraan tidak dimulai hanya sejak Soeharto dan rezim Orde Barunya jatuh dari kekuasaan pada 1998. Hal ini juga bukan fenomena yang khas Indonesia, sebab terjadi juga di tempat lainnya. Dengan ungkapan lain, hal ini merupakan fenomena global yang dimulai setidaknya sejak awal tahun 1980-an ketika globalisasi secara perlahan tapi pasti menjadi kata kunci dalam tata bahasa politik dunia. Fenomena ini bersamaan dengan menguatanya paham neoliberal dalam berbagai konstelasi kebijakan negara di mana peranan pasar membesar daripada sebelumnya.
Kembali ke Indonesia, politik identitas telah diperagakan oleh Soeharto sendiri setidaknya sejak awal 1990-an. Berbeda dengan Soeharto sebelumnya yang lebih mengesankan diri sebagai seorang yang netral dalam beragama, sejak 1990-an Soeharto mematutkan dirinya menjadi seorang Muslim yang saleh. Selain naik haji ke Tanah Suci, dia juga mendukung terbentuknya organisasi-organisasi berbasis Islam, seperti Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Pada tataran pemerintahan, dia juga menunjuk beberapa menteri yang dikenal luas mempunyai ikatan dengan organisasi-organisasi (mahasiswa) Islam. Maka istilah “ijo royo-royo” pun muncul mengacu pada komposisi kabinet yang dianggap sangat bernuansa Islam.
Tetapi rupanya perubahan tidak hanya terjadi pada diri Soeharto, melainkan juga berlangsung masif di masyarakat. Islamisasi tidak lagi merupakan konsep, tetapi telah menjadi praktik sosial. Lagi-lagi hal ini adalah fenomena global yang terjadi di mana-mana. Kepercayaan bahwa sekularisasi adalah jalan yang mesti ditempuh dalam modernisasi tidak lagi bisa dipertahankan. Agama, khususnya Islam, merangkak dari ruang privat ke ruang publik dalam berbagai bentuk mulai dari revolusi politik seperti terjadi Iran hingga perubahan gaya hidup. Di Indonesia, perubahan gaya hidup ini dimanifestasikan misalnya dalam praktik penggunaan jilbab yang sangat pesat sejak akhir dekade 1990-an.
Ketika Soeharto akhirnya dipaksa mundur dari jabatan kepresidenan pada 1998, kondisi struktural dan kultural yang memungkinkan menguatnya politik identitas telah tersedia. Maka tidak heran setelah itu berbagai aspirasi berbasis identitas muncul ke permukaan mulai dari tuntutan masyarakat adat, jatah perempuan di parlemen, hingga pembuatan peraturan daerah “syariah”. Hal terakhir ini marak di berbagai kota mengiringi proses “pemekaran” daerah dan terus berlanjut mengikuti hiruk pikuk pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) sejak 2004.
Momen pilkada adalah ajang bagi penguatan politik identitas, khususnya agama, yang paling kasat mata. Para kandidat berlomba menampilkan diri sebagai Muslim yang saleh dengan menjanjikan pembuatan berbagai kebijakan dan inisiatif yang diklaim sebagai identitas Islam. Tidak jarang usaha tersebut berhasil. Mungkin masyarakat terpesona oleh penampilan para kandidat itu, mungkin juga karena memang tidak ada calon lainnya.
Lebih lanjut, politik identitas keagamaan di daerah-daerah tersebut dipadatkan dalam konstruksi “kota santri”. Dengan mengaitkan diri pada peristiwa-peristiwa tertentu di masa lalu yang dikombinasikan dengan keberadaan pondok pesantren serta ribuan santrinya di masa sekarang, kontruksi kota santri seolah mendapat pembenarannya. Hal ini bisa dijumpai, misalnya, di Tasikmalaya, Situbondo, Jombang, dan beberapa daerah lainnya. Oleh para pemimpin daerah, konstruksi ini diolah sedemikian rupa menjadi semacam alat ukur keberhasilan kepemimpinannya. Lalu dibuatlah tugu, nama jalan, gedung, atau peraturan yang diidentikan dengan identitas kesantrian. Jika telah berhasil menyediakan hal-hal tersebut, biasanya segera muncul klaim bahwa pemimpin bersangkutan telah berhasil membangun daerahnya.
Politik identitas, secara moral, tidak sepenuhnya keliru. Ia merupakan bagian dari aspirasi demokratis dan kebutuhan hak asasi manusia. Namun mengutamakan hal itu tetapi mengabaikan aspek politik kesejahteraan yang justru jauh lebih urgen adalah kesalahan. Kenyataan menunjukkan demikian. Di daerah-daerah di mana para pemimpinnya gemar menonjolkan politik identitas, politik kesejahteraan yang sesungguhnya merupakan inti dari politik itu sendiri karena mencakup pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat justru terabaikan.
Terpopuler
1
Menag Nasaruddin Umar akan Wajibkan Pramuka di Madrasah dan Pesantren
2
Kiai Ubaid Ingatkan Gusdurian untuk Pegang Teguh dan Perjuangkan Warisan Gus Dur
3
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
4
Pilkada Serentak 2024: Dinamika Polarisasi dan Tantangan Memilih Pemimpin Lokal
5
Dikukuhkan sebagai Guru Besar UI, Pengurus LKNU Jabarkan Filosofi Dan Praktik Gizi Kesehatan Masyarakat
6
Habib Husein Ja'far Sebut Gusdurian sebagai Anak Ideologis yang Jadi Amal Jariyah bagi Gus Dur
Terkini
Lihat Semua