Petaka melanda Afganistan. Negara yang tercabik-cabik oleh sektarianisme itu kembali ditimpa bencana kemanusiaan yang terlampau memilukan. Lima puluh nyawa melayang dan delapan puluh luka-luka menjadi bukti kebiadaban aksi serangan bom bunuh diri beberapa waktu berselang. Sejauh ini belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Yang pasti, pelaku bom bunuh diri dan kelompok yang ada di belakangnya adalah mereka yang menjadikan ancaman dan aksi kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuan. Seringkali yang disasar adalah penguasa, tapi sayang, lagi-lagi yang menjadi korban adalah warga sipil yang tidak tahu menahu urusan pertikaian di balik itu.
Bukan hanya korban, sang pelaku bom bunuh diri pun bisa jadi tidak tahu tentang motif pihak yang mengarahkannya melakukan hal itu. Bisa jadi sang pelaku menerima tawaran menjadi 'pengantin' karena himpitan ekonomi dan faktor frustasi yang teramat dalam. Kondisi kejiwaan yang limbung ini kemudian dibajak dan diarahkan untuk kepentingan oknum tertentu. Yaitu oknum yang mampu meyakinkan bahwa aksi bom bunuh diri yang akan dilakukan adalah untuk sebuah misi mulia, perjuangan agama. Padahal, yang sebenarnya adalah ambisi politik yang menghalalkan segala cara.
Selain 'orang kalah' yang berpotensi menjadi ‘pengantin’, orang Chauvinis yang memiliki gelora perang dan semangat juang tiada henti juga rawan terhadap perangkap ini. Berbeda dengan orang frustasi yang yang melakukannya untuk sebuah pelarian, 'Chauvinis' melakukan bom bunuh diri dengan semangat patriotisme demi memperjuangkan kebenaran atau sebuah paham pemikiran (ideologi).
Dalam kaitan bom bunuh diri di Afganistan yang terjadi di saat peringatan maulid Nabi, maka sangat mungkin ideologi pemurnian Islam (puritanisme) yang anti maulid, ada di balik aksi itu.
Sejenis dengan ini adalah aksi bom bunuh diri pada peringatan tahun baru Persia, Nauruz, pada Maret tahun lalu. Acara yang digelar oleh salah satu kelompok Syiah itu tiba-tiba diguncang oleh ledakan dahsyat yang memangsa dua puluh nyawa dan lima puluh luka-luka. Atas kejadian ini ISIS mengaku bertanggung jawab.
Kenyataan ini menunjukkan betapa dahsyatnya paham puritanisme dalam membentuk pola pikir seseorang. Menjadi tantangan berat di sini bagi mereka yang mendukung paham ini agar mampu mengendalikan diri dan tidak tergiring ke aksi yang membahayakan orang banyak. Selain itu, mereka juga dituntut proaktif dalam mencegah dampak destruktif yang muncul dari potensi ekstremitas paham ini.
Seperti halnya pengeboman situs ziarah hingga mengorbankan nyawa manusia, aksi ini seringkali merujuk pada pendapat Ibnu Taymiyah al-Harrany (w. 1328). Pertanyaannya kemudian, benarkah Ibnu Taymiyah melarang ziarah kubur sampai-sampai para pengikutnya tega menghancurkan makam-makam yang kerap menjadi tujuan ziarah?
Dalam fatawanya, sang Shaykh al-Islam membagi ziarah menjadi ziarah syar'iyah dan bid'iyah. Dengan dua klasifikasi ini, maka tidak semua ziarah dianggap salah dan harus diberangus. Ziarah kubur memiliki sandaran pada amaliah Rasul di mana beliau setiap tahun (dalam riwayat lain: berkali-kali) berziarah ke makam suhada Uhud. Sunnah ini menjadikan Shaikh al-Islam memunculkan terma ziarah syar'iyah.
Pertanyaannya kemudian apakah mungkin tempat ziarah dihancurkan dikarenakan ada orang-orang yang keliru dan berlaku melampaui batas dalam praktik ziarah? Sejauh yang nampak dalam ritual ziarah pada umumnya, jarang sekali orang berlama-lama dalam ziarah. Mayoritas peziarah datang dan membaca dzikir dan wirid yang diakhiri dengan doa untuk ahli kubur dan kemudian pulang. Semacam ini jelas tergolong ziarah syar’iyah. Adanya praktik yang kemudian dianggap melakukan pemujaan terhadap sang mayit sehingga masuk kategori ziyarah bid'iyah yang dianggap musyrik, adalah perilaku oknum individu yang tidak mewakili mayoritas dan bisa dikoreksi melalui edukasi yang cukup.
Dari sini jelas, bahwa apa yang terjadi terkait ziarah hingga menghalalkan bom bunuh diri dan membantai orang lain, bukanlah ajaran agama tetapi pandangan keagamaan yang ekstrem dan melampaui batas yang justru melanggar ajaran agama. Sebuah pandangan dan praktik yang dilarang oleh Al-Qur'an: "Wahai ahlul kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agamamu." (al-Ma'idah: 77).
Sebagai tokoh yang dijuluki Nashir al-Sunnah wa Qami' al-Bid'ah (pejuang sunnah dan pemberantas bid'ah), Ibn Taymiyah sangat resisten terhadap kelompok tasawwuf dan Syiah. Keduanya dianggap sebagai biang bid'ah dan penyimpangan ajaran Islam sehingga harus diberantas. Pandangan ini memunculkan potensi ekstremitas yang menyebabkan kekisruhan dari sekadar perdebatan akademis hingga perkelahian fisik.
Semangat perubahan yang tertanam dalam paham ini menjadikan gesekan dan ketegangan sosial sebagai sebuah risiko yang harus diambil demi perubahan. Sebuah pandangan yang sangat bertolak belakang dengan pengutamaan harmoni sosial yang dikembangkan oleh mainstream Islam dan paham tasawuf.
Perhatian yang besar terhadap amalan lahir menjadikan paham puritan sangat positifistik dan hitam-putih. Segala sesuatu didudukkan pada pada dua pilihan, apakah harus dipertahankan atau dilawan. Padahal banyak hal berada pada posisi abu-abu alias grey zona. Posisi amaliah yang oleh mereka dianggap tidak berdalil (bid'ah) yang sebenarnya berada pada posisi grey zona, bukan di hitam, oleh mereka dihitamkan sehingga dilarang sepenuhnya. Adanya dalil yang bersumber dari taqrir Nabi yang membolehkan sahabat mengamalkan sesuatu yang baik meski Rasululllah tidak memerintahkannya, tidak membuat kaum puritan beranjak dari generalisasi negatif terhadap amalan baru yang baik. Sebuah sikap keagamaan yang sebenarnya tidak lagi puritanis tapi dangkal dalam memahami ajaran Islam yang luas dan kaya.
Achmad Murtafi Haris, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.