Opini

Sebuah Renungan bagi Bapak Menteri atas Program Sekolah Lima Hari Sepekan

Ahad, 11 Juni 2017 | 01:28 WIB

Sebuah Renungan bagi Bapak Menteri atas Program Sekolah Lima Hari Sepekan

ilustrasi: solopos

Oleh Toha Ma’sum 
Wacana sekolah lima hari dalam sepekan nampaknya telah menjadi cita-cita terpendam dari Bapak Menteri kita, yang tampaknya memang akan diberlakukan mulai tahun ajaran baru 2017/2018. Jika memperhatikan beberapa berita yang beredar, rencana tersebut konon telah menjalani sebuah kajian yang panjang. Dengan tujuan untuk peningkatan kualitas, program tersebut akan digulirkan dengan 40 atau 38 Jam dalam sepekan dibagi menjadi 5 hari, yang berarti ini mengakibatkan selesainya sekolah jam 15.30 atau 16.00.

Beberapa pertimbangan telah disampaikan, diantaranya adalah pertama bahwa dengan masuk sekolah lima hari, maka dapat menambah waktu untuk keluarga bagi siswa, kedua dengan sekolah hanya lima hari guru dapat tambahan waktu untuk keluarga, ketiga dapat menambah waktu untuk meramaikan dunia wisata di negeri ini, keempat dapat mengurangi anggaran, baik bagi pemerintah, pihak sekolah maupun masyarakat, kelima siswa atau anak dapat waktu lebih untuk mengembangkan diri dan atau menambah kegiatan ketrampilan lainnya. Mungkin inilah, beberapa pertimbangan yang digunakan, dan atau mungkin masih banyak lagi pertimbangan.

Terlepas dari alasan dan pertimbangan apapun yang digunakan pemerintah atau khususnya Bapak Menteri kita, nampaknya banyak sisi-sisi lain yang lebih penting, baik secara kelimuan ilmiah maupun fakta  yang ada, yang kesemuanya itu nampaknya tidak pernah diperhatikan dan diteliti secara komperhensip. 

Ada beberapa hal yang menjadi keilmuah ilmiah dan fakta di negeri kita ini, pertama Mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim, dan bagi umat Muslim hari yang harusnya diliburkan adalah hari Jum'at, bukan hari Ahad, dan bahkan mau ditambah Sabtu. Seharunya hari Jum’at, yang merupakan hari yang penting bagi umat Muslim, dan waktu yang ada relatif pendek karena terpotong kegiatan Jum’atan, maka kenapa justru tidak libur hari Jum’at?

Kedua di negeri ini, sejak belum lahirnya negeri ini, sistem pendidikan yang berkembang dan dikelola oleh masyarakat adalah berbentuk pondok pesantren, madrasah diniyah, dan taman pendidikan Al-Qur’an yang kegiatannya rata-rata dilaksanakan setelah dhuhur sampai asar, yang kesemuanya itu telah lama ada dan eksis sampai sakarang, bahkan perannya dalam membantu pemerintah dalam mewujudkan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, dan membentuk generasi yang berkarakter, sangat besar sekali, dan bahkan secara formal, lembaga-lembaga ini telah diakui oleh pemerintah sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003, dan PP nomor 55 tahun 2007. Maka jika sekolah lima hari diterapkan lembaga-lembaga pendidikan tersebut akan mengalami kemunduran dan bahkan akan tutup secara pelan-pelan, dikarenakan selesainya sekolah sudah jam 16.00 dan sampai di rumah, para siswa mungkin sudah jam 17.00 dan mungkin bisa lebih.  

Ketiga, dengan dikuranginya jumlah hari masuk, hal ini berarti jumlah jam setiap hari bertambah, dan ini menuntut tenaga dan biaya yang ekstra. Hal ini dapat kita lihat bagaimana kemampuan dan daya tangkap siswa kita, mulai pagi sampai sore diforsir sedemikian rupa, maka bagaimana bisa mereka dapat mencerna dan menerima ilmu? padahal kemampuan jasmani dan rohani dari anak didik kita sangatlah terbatas. Di sisi lain, jika jumlah jam bertambah, maka tentunya semua siswa butuh tambahan biaya untuk uang makan siang, dan ini tentu menambah pengeluaran bagi orang tua.

Keempat, dengan penerapan sekolah lima hari, tentunya tenaga pendidik/guru berkurang jumlah hari masuknya, namun di sisi lain mereka dituntut untuk menyelesaikan segudang administrasi dan kegiatan pendidikan lainya yang menjadi tugasnya, dan ini perlu kita sadari, bahwa kekuatan dan kemampuan guru-guru kita, baik secara fisik maupun keilmuannya. 

Kelima, dengan diterapkannya lima hari masuk sekolah, berarti waktu luang bagi siswa bertambah, yang mungkin dengan alasan menambah waktu bermain dan untuk keluarga, hal ini jadi pertimbangan. Namun coba kita perhatikan, dengan ditambahnya waktu luang, bukankah waktu untuk bermain bertambah, siapa yang mengontrol dan mengawasi?, bukankah berarti juga tambah biaya, jika mereka mau ke tempat wisata? lalu siapa yang bisa menjamin, bahwa dua hari libur itu akan benar-benar bermanfaat bagi mereka ?

Keenam, jika lima hari sekolah diterapkan, pulang sekitar jam 15.30 atau jam 16.00, itu adalah waktu mereka keluar dari sekolah. Lalu jika mereka bermukim jauh dari sekolah, berarti sampai rumah bisa sudah magrib. Lalu bagaimana dengan shalat ashar mereka? Shalat Magrib mereka? siapa yang bertanggung jawab, jika sebab pulang yang sore, kemudian mereka tidak shalat?. Belum lagi beban mereka yang telah menerima banyak pelajaran sejak pagi, bukankah sampai di rumah sudah letih? Lalu bagaimana mereka akan mengerjakan tugas/PR, lalu kapan mereka akan membantu orangtua? kapan mereka akan bersosialisasi dengan masyarakat?

Itulah kiranya beberapa hal yang nampaknya belum dikaji dan diperhatikan oleh pemerintah kita dalam merencanakan program sekolah lima hari. Tentunya ini adalah sebuah catatan dari seorang rakyat kecil, yang mungkin dapat dijadikan bahan pertimbangan dan renungan dalam menentukan program. 

Penulis adalah dosen STAI Darussalam Pondok Pesantren Miftahul Mubtadiin Krempyang Tanjunganom Nganjuk Jawa Timur