Opini

Sewa Lahan BUMN dan Marjinalisasi Petani Nahdliyyin

Jumat, 27 Mei 2011 | 06:04 WIB

Prof. Dr. Mochammad Maksum Machfoedz

Apresiasi setingginya sangat pantas diberikan oleh PBNU atas segala upaya dan kreatifitas Pemerintahan KIB-II dalam membangun Sistem Ketahanan Pangan, SKP RI, mengingat persoalan mendatang Bangsa ini yang akan semakin terancam ketidakpastian dan kelangkaan pangan global akibat (i) perubahan iklim, (ii) tidak adilnya perdagangan dunia, dan (iv) konflik peruntukan sumberdaya pertanian bagi pangan, pakan dan enersi.
<>
Segala ketidakpastian global itu bermuara pada ketidakpastian pangan baik tingkat global maupun nasional. Karenanya sungguh diperlukan kebijakan yang mampu menjinakkan ketidakpastian dimaksud, sebagai antisipasi terhadap persoalan dunia guna menjamin kepastian kinerja SKP Nasional. Itulah yang dibutuhkan, bukannya kebijakan dan program pembangunan nasional yang justru penuh ketidakpastian.
 
Nalar itu pula yang harus menggiring PBNU bahwa apresiasi terhadap kinerja KIB-II tersebut tentu harus tetap kritis dan mencermati secara analitis apakah kebijakan dan program Pemerintah dalam penguatan SKP akan menjamin kepastian penguatan SKP atau justru sebaliknya, menambah ketidakpastian. Peringatan ini perlu dilontarkan karena tidak sulit untuk menemukan upaya pembangunan yang realitasnya justru kontra produktif.
 

Mifee dan Bebas Impor
Tiga kebijakan mutakhir bisa dicontohkan sebagai kebijakan yang teramat kontra produktif bagi penguatan SKP Nasional RI, yaitu (i) MIFEE, Merauke Integrated Food and Energy Estate, (ii) penerbitan Peraturan Menteri Keuangan, PMK 13/2011, 24 januari 2011, yang menetapkan pembebasan Bea Masuk, BM, importasi 57 produk pangan, dan (iii) gagasan mutakhir tentang sewa lahan oleh Konsorsium BUMN bagi penguatan SKP.

Pengembangan food estate di Merauke dalam MIFEE merupakan contoh pertama yang penuh tanda tanya. Kecuali pengembangan dan okupasi lahan yang tidak terlalu jelas bagi pangan dalam Negeri, peruntukan lahan dalam MIFEE ternyata lebih didominasi oleh sawit dan HTI, Hutan Tanaman Industri. Segala janji dan pemanjaan FDI, Foreign Direct Investment, juga tidak jelas kontribusinya bagi penguatan SKP Nasional. Sungguh sangat tidak jelas janji penguatan SKP bagi tingkat domestik.

Kedua, ketidakpastian juga ditunjukkan oleh terbitnya PMK 13/2011, 24 Januari 2011, yang membebaskan BM, Bea Masuk bagi importasi 57 produk pangan. Lebih ironis lagi, PMK tersebut justru diundangkan persis dua minggu berselang, setelah Presiden SBY menegaskan di depan Rapat Kerja Pembangunan Nasional, 10 Januari 2011, bahwa tidak ada alasan bagi RI untuk tidak berkemandirian pangan. Teramat jelas bagi kacamata rakyat tani bahwa bebasnya BM itu kontra produktif bagi produksi pangan dalam negeri.
Contoh ketiga adalah upaya peningkatan produksi dalam mekanisme sewa lahan melalui konsorsium BUMN. Belum sampai pada pelaksanaannya, ide cemerlang ini sudah memperoleh beragam tanggapan. Komunitas petani pun tidak satu suara dalam menyikapi kebijakan penyewaan lahan yang sifatnya sementara. Terkesan bahwa kebijakan ini sangat tergesa-gesa mengingat kinerja pengadaan beras jauh dari harapan dan realitas importasi sampai 2 juta ton sampai Maret 2011.

Sewa Lahan BUMN
Dalam upaya mengamankan produksi beras nasional dan pengamanan cadangan pangan, dibentuklah konsorsium BUMN dari PT Pertani, PT Sang Hyang Sri, PT Pupuk Sriwijaya, PT Perhutani dan Perum BULOG dengan target produksi padi tahun 2011 mencapai 70,6 juta ton dengan rencana alokasi sewa lahan sejumlkah 570.000 hektar (ha) lahan yang disewa dari petani. Pengelolanya adalah konsorsium tersebut dengan rincian PT Pertani mengelola 200.000 ha, PT SHS 200.000 ha, PT Pusri Holding 100.000 ha, dan Perum Perhutani 70.000 ha. Lahan potensial pun sudah teridentifikasi di kawasan Aceh, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.

Prinsip operasionalnya memang sederhana dalam peningkatan produktifitas pangan. Melalui operasi konsorsium BUMN lahan-lahan sewa akan dikelola lebih efisien dan lebih produktif. Itulah optimisme yang dibangun oleh para petinggi Negara dalam mengatasi ketidakpastian produksi pangan. Sayangnya, kebijakan yang digagas juga tidak jauh dari ketidakpastian, karena berurusan dengan soal sosial-politik yang sangat rentan.

Lahan Bukan Sekedar Ekonomis
Urusan sewa ini, tentu sangat menarik untuk dipikirkan ulang ketika kontroversi telah mulai nampak. Perbedaan tersebut pasti menjadi memuncak manakala, pada realitasnya setiap jengkal lahan tidak sekedar dinilai sebagai sebagai sekedar aset ekonomi, karena pada hakekatnya, setiap lahan pertanian memang memiliki beragam makna: mulai dari alat produksi yang teramat ekonomis sampai ke aset kultural ketika mensiratkan simbul-simbul sosial bagi pemilik dan pekerja yang terkait dalam kegiatan ekonominya.

Betapa tinggi nilai dan penilaian publik atas sejengkal tanah dalam komunitas dan etnis tradisional di tanah air. Dalam kerangka nilai inilah, ada baiknya pola pikir pengusahaan lahan bagi peningkatan produktifitas pangan melalui sewa sementara dipikirkan ulang pemodelannya untuk tidak menjerumuskan BUMN dan konsorsium terkait terjebak pada persoalan sosial yang lebih pelik dalam operasi. Watak multidimensi tentang lahan tentu menjadi pertimbangan utama.

Watak ekonomi lahan merupakan watak yang teramat sederhana. Hal ini mudah sekali diselesaikan melalui kompensasi, sewa, ganti rugi dan mekanisme sejenisnya. Tetapi, bagaimana pula dengan nasib para pemilik dan buruhnya, ketika sementara kegiatan ekonomi yang katanya sangat efisien dan produktif itu berjalan? Mereka: para pemilik dan buruh taninya hanya menjadi penonton kemewahan produksi?

Kenangan tidak mengenakkan pernah dialamai oleh bangsa ini ketika para pemilik tambak menyewakan lahannya untuk budidaya udang windu yang padat modal. Ketika itu, para pemilik sepenuhnya terisolasi dari lahan tambak miliknya kecuali sekedar menjadi penonton dan sesekali masuk ke dalam tambah sebagai kuli harian ketika diperlukan. Ketimpangan kelas akhirnmya melahirkan gesekan sosial-ekonomi yang menegangkan.

Implikasi sosial-politik dari sejengkal lahan ini sangat luar biasa ketika exit strategy yang sepadan tidak sertamerta diciptakan. Bagi kultur jawa, kiasan sedumuk bathuk senyari bumi mengindikasikan makna politik-kultural yang dalam sekali. Bahwa mekanisme sewa itu bisa di bingkai dalam kesepakatan legal, mudah sekali diciptakan dan dipahami. Akan tetapi, ketika employment dan cultural impact-nya tidak diperhitungkan masak-masak, maka gelombang besar pemilik lahan dan buruh taninya adalah gelombang masalah politik.

Persoalan mendasar dari inefisiensi pertanian memang luasan lahan yang terbatas bagi para petani. Akarnya adalah ketidakmampuan Bangsa ini untuk hadir menyediakan alternative employment bagi para petani. Akibatnya? Sejengkal lahan yang jelas tidak efisien diusahakan tetap saja dioperasikan. Karena tidak tersedia pekerjaan lain! Pada gilirannya, keterbatasan lapangan kerja alternatif inilah hambatan utama penguatan SKP Nasional.  

Cobalah Validasi Ulang
Ketika nalar yang memahami bahwa urusan SKP nasional umumnya,  dan sewa lahan melalui konsorsium ini pada khususnya, bukanlah sekedar urusan perut dan ekonomis belaka, maka sudah seharusnya PBNU mengingatkan kepada Negara untuk melakukan tashih, validasi ulang atas model sewa lahan. Keperluan PBNU ini sangat mendesak ketika disadarai bahwa sepenuhnya, atau sekurang-kurangnya mayoritas rakyat tani yang akan berurusan dan kemudian termarjinalkan dalam mekanisme lahan ini adalah Nahdliyyin.

Dengan mengingat mayoritas mereka adalah Nahdliyyin, tentu PBNU harus menekankan kepentingan politik kemaslahatannya dengan menegaskan kepada Pemerintah bahwa  marjinalisasi petani Nahdliyyin yang potensial terjadi sungguh teramat mengerikan. Itulah potensi negatif yang akan mencuat serentak sebagai persoalan sosial-politik yang dalam urusan sewa lahan pangan dan karenanya memerlukan pemodelan ulang.

Akhirnya, PBNU juga harus mempertanyakan dengan tegas kepada KIB-II bahwa: Cukupkah kita menghibur diri dengan sistem relasi ketenaga-kerjaan, bagi keuntungan dan sistem upah? Sungguh PBNU harus mengingatkan bahwa Bangsa ini telah tersesat dengan mereduksi persoalan besar, persoalan politik-kultural, dan persoalan spiritual ini menjadi sekedar urusan finansial belaka   Na’udzu billaaaah.


Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama