Opini

Takdir

Jumat, 9 Juni 2017 | 05:27 WIB

Oleh Haibat Hanafi Ramadhani
Kehidupan ini penuh dengan tantangan dan rintangan, kadang orang menyebutnya itu sebagai bagian dari takdir Allah, yakni takdir yang telah ditetapkan Allah atas hambanya. Tetapi sebelum adanya takdir, manusia percaya ada perbuatan diri yang biasa disebut dengan kehendak/usaha. Manusia wajib mengusahakannya tetapi Allah lah yang menentukannya, karena manusia tidak mempunyai kuasa untuk menentukan, kalaupun ada itu adalah kuasa merubah bukan kuasa untuk menolak takdir.

Dalam takdir manusia diajarkan bertanggung jawab pada dirinya sendiri, yakni mempertanggungjawabkan segala apa yang ia usahakan. Tanggung jawab ini sebagai bukti bahwa adanya campur tangan manusia dalam menentukan takdirnya. Orang akan bertanggung jawab pada dirinya sendiri tetapi kadang manusia juga harus menanggung dosa manusia yang lain sebab dirinya. Manusia diberi kehendak kebebasan memilih dan memilah maka kehendak itu adalah sebagian dari anugerah yang diberikan Allah.

Adapun takdir sebagian orang berpendapat bahwasanya takdir adalah bagian dari sesuatu yang biasa disebut dengan’sebab-akibat’ padahal faktanya tidak semuanya begitu. Imam Al-Ghazali dalam kehidupannya dalam konsep tasawuf percaya bahwa segala sesuatu pasti ada sebabnya, tetapi ia tidak percaya pada adanya akibat dikarenakan akibat adalah urusan Allah swt. Manusia tidak dapat menentukan akibatnya karena Allah lah yang maha berkehendak dan maha mengatur segala urusan. Al-Ghazali dicap sebagai orang yang memungkiri takdir karena pandangannya tersebut padahal tidak demikian.

Ada satu pertanyaan, ketika manusia jika melakukan sesuatu apakah pasti akan mendapat seperti apa yang ia usahakan? Jawabannya belum tentu. Itulah yang menyebabkan al-Ghazali tidak percayanya adanya akibat karena akibat adalah hak prerogatif Allah.

Takdir adalah konsep hidup dalam rukun iman keenam, yang menjadikan dasar berpegangnya kaum muslimin dan menjadi pondasi dalam kepercayaan beragama. Takdir adalah kadar dan ukuran, yakni ukuran batasan kemampuan yang diberikan Allah kepada manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada makhluknya. Manusia semuanya mempunyai batasan dalam menjalani kehidupannya, entah itu batasan dalam melakukan suatu pekerjaan ataupun yang lainnya.

Takdir ditempatkan di dalam rukun iman paling akhir adalah dikarenakan takdir merupakan ketentuan Allah yang bisa berubah dan bisa tetap. Manusia harus percaya pada Allah, nabi, malaikat dan sebagainya itu adalah konsep kewajiban mutlak dan sebagai suatu proses tetapi dalam kemutlakan itu Allah berhak menentukan mana hamba yang dipilihnya dan mana hamba yang dimurkainya. Percaya pada takdir yang baik dan buruk adalah suatu kewajiban tetapi jangan terus selalu merana bahwa hidup itu penuh dengan takdir buruk, takdir yang diberikan pastilah ada hikmah yang diberikan tetapi manusia kadang tidak mau memikirkan hal yang itu sehingga yang dirasakan semua kehidupan penuh dengan kepayahan.

Konsep takdir tercantum dalam surat al-A’la ayat 1-3: Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi. Yang menciptan lalu menyempurnakan (ciptaan-Nya). Yang menentukan takdir/kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk. Di sini dapat diketahui bahwasanya Allah telah menyiapkan takdir bagi masing-masing hambanya sehingga ketetapannya pun berbeda, dan ketika penetapan yang dilakukan Allah telah tercatat ada beberapa hal yang dapat diubah manusia pada takdirnya dan ada beberapa hal yang tidak bisa diubah manusia. Takdir yang telah ditetapkan pada manusia maka Allah akan mengiringinya dengan rahman-Nya.

Manusia wajib berusaha dan Allah lah yang menentukan, itulah konsep yang sesuai dan dapat diterapkan dalam keseharian. Takdir belum bisa disebut sebagai hukum alam karena keduanya berbeda. Takdir pada dasarnya adalah konsep yang ditetapkan Allah untuk menjalani kehidupan sesuai apa yang dikehendaki Allah dan sesuai syari’at yang ditetapkan-Nya. Sedangkan hukum alam adalah ketentuan yang berlaku dalam kehidupan alam sehingga tercampur dengan takdir Allah. Takdir adalah urusan Allah, maka Ibn Al-Kayyim Al-Jauziyyah berkata “andai kamu tahu bagaimana Allah mengatur hidupmu, pasti kamu akan meleleh karena cinta kepada-Nya”

Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan kalijaga Yogyakarta