Opini

Tanggapan atas Kisah Berdirinya NU Versi Habib Luthfi (II)

Sabtu, 18 Februari 2017 | 03:06 WIB

Tanggapan atas Kisah Berdirinya NU Versi Habib Luthfi (II)

Warga NU (Ilustrasi: NU Online)

Oleh: Muhammad Ali Rahman 

Mengenai keganjilan yang dimaksud di tulisan bagian pertama (Baca: Tanggapan atas Kisah Berdirinya NU Versi Habib Luthfi (I)), penulis akan mengurai secara garis besarnya saja. Pada alinea pertama, sebagaimana tertera di atas, dijelaskan: "Menjelang berdirinya NU beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Haram…” Para ulama itu menyimpulkan sudah sangat mendesak untuk membentuk wadah bagi terjaganya ajaran Aswaja, kemudian ulama Haramain melakukan istikharah, lalu mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia…” Sampai di sini, sudah timbul pertanyaan. Apakah saat peristiwa itu, Kiai Hasyim masih mondok di Makkah atau dalam rangka yang lain? 

Kalau dikatakan “Menjelang berdirinya NU,” berarti tidak lama selang waktunya dari peristiwa tersebut. Sedangkan di akhir abad XIX, yakni pada tahun 1899 M, Kiai Hasyim sudah mulai merintis pesantren di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sehingga, menjelang berdirinya NU, di paroh awal abad XX, beliau sudah menyandang predikat sebagai ulama besar. Dalam kata lain, saat menjelang berdirinya NU, Kiai Hasyim tidak mukim di Makkah. Lantas, keberadaan beliau di Makkah, seperti dituturkan Habib Luthfi, dalam rangka apa? Mungkin dalam rangka yang lain, misalkan sedang berhaji. Tapi apa mungkin, sebab: 

Pertama, beliau sudah menunaikan ibadah haji, dan dua kali bermukim di Makkah. Tahun 1892 M, beliau dihadiahi naik haji bersama istri, oleh Kiai Ya’kub, guru sekaligus mertuanya, lalu mukim di Makkah selama satu tahun. Kemudian, dalam rentang waktu tahun 1893 M, mondok lagi ke Makkah, sampai kembalinya ke tanah air lalu mendirikan pesantren. 

Kedua, saat itu orang naik haji butuh waktu berbulan-bulan karena naik kapal laut, sementara posisi beliau adalah pengasuh pesantren dan kondisi Indonesia sedang dijajah Belanda. 

Karena kemungkinan tersebut di atas rasanya tidak mungkin, penulis lalu mencoba merujukkan pada keterangan Kiai As’ad Syamsul Arifin, Situbondo. Di mana, pada 1923 M, terjadi pertemuan para ulama di kediaman KH Mas Alwi Abdul Aziz (Kawatan, Surabaya, Jawa Timur), membahas masalah aliran baru yang antimazhab. Salah satu hasil pertemuan itu, diutuslah empat orang kiai untuk istikharah di setiap makam Wali Songo, serta empat orang kiai lagi diutus ke Madinah. Walau dikatakan, diutus ke Madinah, bisa saja mampir ke Makkah. Namun, Kiai As’ad tidak menyebut kehadiran Kiai Hasyim dalam pertemuan itu, serta tidak menyebut nama-nama kiai yang diutus ke Madinah. Karenanya, sulit diidentifikasikan dengan keterangan Habib Luthfi terkait dengan pertemuan ulama di Masjidil Haram yang kemudian mengutus Kiai Hasyim pulang ke Indonesia.

Menilik uraian penulis di atas ini, mungkin pembaca menilainya masih agak remang-remang. Selanjutnya mari kita elaborasikan dengan penjelasan Chairul Anam dalam Pertumbuhan & Perkembangan NU. Dalam buku tersebut dijelaskan, pada 1924 M, ketika pertahanan Syarif (Raja) Husein mulai lemah atas serbuan pasukan Abdul Aziz Al-Saud di Hijaz; Kiai Wahab Hasbullah menyampaikan gagasan kepada Kiai Hasyim, selaku guru dan ulama terkemuka saat itu, untuk membentuk wadah bagi Ulama Aswaja. Mendapat gagasan itu, Kiai Hasyim tidak serta merta merestuinya. Walau beliau menerima, namun ditanggapi dengan sangat hati-hati. Sebab jika salah mengambil keputusan, bisa berakibat fatal. Menurut Kiai As’ad Syamsul Arifin, walau gagasan itu diterima, namun sebagai ide atau wacana. “Hadratus Syaikh (demikian Kiai As’ad memanggil Kiai Hasyim) ingin melapor dulu kepada Allah SWT melalui istikharah…” 

Kenyataan seperti diungkap di atas, terbalik dengan sikap Kiai Hasyim, seperti diceritakan Habib Luthfi, ketika beliau diutus pulang ke Indonesia untuk menemui Habib Hasyim dan Syaikhona Kholil, yang ternyata beliau berdua menyetujui, dengan catatan: “…tapi tolong saya jangan ditulis.” Hingga akhirnya: ”Kiai Hasyim Asy’ari pun merasa lega dan puas.”

Nah, jika informasi ini benar, semestinya Kiai Hasyim langsung mendirikan wadah bagi terjaganya ajaran Aswaja tersebut—bukan atas gagasan dari Kiai Wahab. Sebab, beliau sudah menerima mandat dari ulama di Haramain, serta direstui pula oleh Syaikhona Kholil, selaku gurunya. Atau, setidak-tidaknya, ketika beliau menerima gagasan dari Kiai Wahab, bak gayung bersambut, karena sebelumnya sudah mendapat mandat dan restu. Tapi faktanya, Kiai Wahab harus menunggu lama, yakni antara tahun 1924 sampai awal 1926 M, untuk mendapat restu dari Kiai Hasyim. Chairul Anam dan Kiai As’ad, menjelaskan, Kiai Hasyim merestui gagasan Kiai Wahab, setelah beliau mendapat jawaban dari istikharahnya melalui isyarah dari Syaikhona Kholil—selengkapnya dapat dibaca dalam: Pertumbuhan & Perkembangan NU (1985).

Penjelasan di atas, kiranya sudah cukup terang. Agar jadi benderang, sekarang kita coba mencari kemungkinan lain. Misalkan: mungkin saja peristiwa di Masjidil Haram itu terjadi pada tahun 1924 M, atau setelah Kiai Wahab menyampaikan gagasannya, dan atau pada tahun 1925 M, alias menjelang bulan-bulan berdirinya NU—sebagaimana Habib Luthfi mengatakan: “Menjelang berdirinya NU...” Hal ini bisa dijawab sebagai berikut: 

1.Pada tahun 1924 M, sedang terjadi perang antara pasukan penguasa setempat, Raja Husein, menghadapi serbuan pasukan keluarga penguasa Najd, Abdul Aziz Al-Saud. Apa mungkin dalam situasi perang. Kiai Hasyim berangkat ke Makkah. Belum lagi jika bicara soal alat transportasi yang masih menggunakan kapal laut, serta tidak mudah. 

  2.Sebagaimana uraian di atas, Chairul Anam menulis: pada tahun 1924 M, Kiai Wahab menyampaikan gagasannya kepada Kiai Hasyim. Dalam rekaman ceramah Kiai As’ad Syamsul Arifin (yang penulis miliki), beliau menjelaskan: pada tahun 1924 M, dua kali diutus Syaikhona Kholil menemui Kiai Hasyim di Tebuireng, Jombang. Pertama, untuk mengantarkan tongkat. Yang kedua, mengantarkan tasbih. Untuk kepergiannya yang kedua menemui Kiai Hasyim, Kiai As’ad mengatakan, “Tahun 1924 akhir…” Ini artinya, dalam rentang waktu tahun 1924 M, Kiai Hasyim berada di tanah air. 

3. Kalau peristiwa di Masjidil Haram itu terjadi pada tahun 1925 M, di tahun ini, tepatnya 24 April, Syaikhona Kholil wafat, setelah sebelumnya beliau sakit. Apa mungkin—anggaplah—tahun 1924 M akhir Kiai Hasyim masih di Tebuireng, kemudian awal 1925 M, beliau bertolak dari Makkah ke tanah air, lalu menemui Habib Hasyim di Pekalongan, Jawa Tengah, selanjutnya menemui Syaikhona Kholil di Bangkalan, Madura, Jawa Timur? Selain persoalan biaya; bagaimana dengan lamanya perjalanan, pulang pergi Makkah-Tebuireng, baik perjalanan darat atau ketika naik kapal laut, yang bisa berbulan-bulan, serta tidak mudah. Belum lagi persoalan lain, tahun 1925 M, Hijaz dikuasai Abdul Aziz Al-Saud yang melarang berbagai kegiatan Aswaja. (Bersambung)

     Penulis tercatat sebagai pengurus di salah satu Lembaga dan Banom NU; penulis buku "Riwayat Syaikhona Kholil Bangkalan, Isyarah & Perjuangan di Balik Berdirinya NU", "Istighatsah An-Nahdliyah", Syair Gus Dur, dan lain-lain