Opini

Terorisme, Ketidakadilan dan Kemunduran Peran Agamawan

Rabu, 27 Januari 2016 | 00:07 WIB

Oleh Faiz Manshur
Sekian fakta telah memberikan kesaksian bahwa ketidakadilan ekonomi seringkali berdampak buruk bagi tatatan hidup masyarakat. Perlawanan dengan jalan kekerasan menjadi pilihan karena korban ketidakadilan ini telah lama hidup dalam kesengsaraan. Orang-orang yang menjadi korban dari ketidakadilan ini berusaha dengan caranya untuk mendapatkan hak hidupnya. Jalan kekerasan menjadi pilihan karena tak ada kesempatan berpikir secara jernih dan didorong oleh kesempatan bergerak karena ada dorongan secara kolektif dari kelompoknya.

Senjata perlawanan

Dulu ada sosialisme yang memberikan sarana secara “ilmiah” untuk aktualisasi mereka yang menuntut keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Ketika sosialisme ambruk, kini agama (baca: Islam) dipakai sebagai alat perlawanan. Bedanya kalau dalam ideologi sosialisme ada metode yang sistematis dan bergerak melalui bangunan kerja organisasi secara rasional, dalam gerakan Islam (radikal) ini tidak memiliki “kaidah ilmiah” sebagai alat juang mewujudkan keadilan--hanya bergantung pada doktrin islamisme yang dibangun. Dan itu pun hanya berdasarkan klaim-klaim parsial keislaman.

Agama (terutama Islam) kini sedang menghadapi problem radikalisme ini karena sebagian umatnya memakai ajaran Islam untuk gerakan teror dan pembunuhan. Mengapa itu terjadi? Salah satu penyebabnya karena selama masa kurun panjang kehidupan umat beragama dalam era globalisasi, hanya sedikit peran dari pemuka agama yang bicara tentang keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Seakan-akan agama hanya patut bicara urusan ritual, sementara urusan keadilan merupakan urusan ideologi di luar agama.

Radikalisme agama, selain memperlihatkan faktor-faktor mendasarnya, yakni ekonomi-politik, telah memberikan kesaksian tentang betapa kontradiksinya antara pesan luhur agama dengan tindakan barbar. Akar masalahnya tetap sudah terlihat, yakni ketidakadilan warga dalam akses ekonomi dan mengalami marginalisasi dalam hal kesejahteraan di tengah-tengah gemerlapnya hidup modern.

Ketika agama tidak mampu memberikan jawaban atas problem mendasar, yakni akses ekonomi yang wajar dan berkesejahteraan kepada setiap orang, di situlah dampak negatif seperti kriminal, kekerasan massal dan teror melanda. Bahkan sekarang laku kriminal itu seringkali berbungkus gerakan keagamaan.

Sejumlah forum internasional antar negara yang pernah digelar sepanjang 10 tahun belakangan ini, kesemuanya selalu memberikan kesaksian bahwa ketidakadilan atau ketimpangan ekonomi menjadi problem utama. Wajar kalau pada pertemuan Forum Ekonomi Islam Dunia (World Islamic Economic Forum (WIEF) yang berlangsung 2-5 November 2015 di Kuala Lumpur, Malaysia, juga menunjukkan kemajuan berpikir para pesertanya. Mereka sudah lebih fokus membicarakan membicarakan keadilan atas kemakmuran yang di dalamnya menimpa keterbelakangan warga agama, termasuk warga Islam yang dari jumlah sekitar 2,3 milyar jiwa itu lebih dari 60 persennya hidup dalam keterbelakangan ekonomi dan kurang sejahtera.

Tun Musa Hitam, Ketua Yayasan Word Islamic Ekonomic Forum (WIFE) misalnya, memastikan forum tersebut bukan urusan eksklusif yang berbicara normativitas agama karena pada kenyataannya hasil dari upaya pemecahan masalah membuktikan masalah besar yang dihadapi ekonomi dunia adalah ketidakadilan. Pada sisi lain kita juga menyaksikan kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi ekonomi itu juga tidak memberikan kesejahteraan yang merata, melainkan lebih banyak menguntungkan kaum kapitalis dan negara maju.

Peran elit agama

Kesadaran untuk melihat realitas keadilan ekonomi sebagai skala prioritas ini memungkinkan para agamawan untuk instropeksi diri. Dari fakta ketidakhadiran peran agamawan dalam problem tersebut, ada dua contoh yang mestinya harus dikembangkan oleh elit agama lain. Sosok Paus Fransiscus dan Gus Mus misalnya, bisa menjadi inspirasi yang patut diteladani.

Paus Fransiscus yang pada ahir tahun 2015 lalu setidaknya mampu menjawab kebuntuan peran agamawan di atas problem tersebut. Di beberapa negara Afrika yang dilanda konflik, ia mengingatkan bahwa ajaran agama membawa misi perdamaian. Ia serukan kepada setiap pemerintahan agar mewujudkan ekonomi yang berkeadilan. Ia serukan kesadaran kepada kaum kaya dan pemerintah negara adidaya tentang pentingnya pemerataan kesejahteraan untuk melenyapkan kesengsaraan manusia dari konflik dan teror.

Serupa dengan Paus, agamawan Islam dari Nahdlatul Ulama, Gus Mus juga melakukan hal yang serupa. Berbeda dengan kiai lain, ulama karismatik bernama lengkap KH Mustofa Bisri pada akhir November 2015 lalu, masuk secara langsung menemui warga desa Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang yang tengah memperjuangkan hak kesejahteraannya dengan menolak pendirian pabrik semen yang mengancam keberadaan mata air, sumber kehidupan sehari-hari mereka. Agamawan ini menaruh simpati kepada warga karena bukan semata urusan ekonomi melainkan karena ada niatan melestarikan alam yang selama ini seringkali dieksploitasi kepentingan pengusaha dan pemerintah. Gus Mus sering menyerukan agar pejabat negara, termasuk Majelis Ulama Indonesia agar menjadi manusia dengan memperhatikan nasib manusia, bukan menjadi srigala yang memangsa manusia.

***

Agama memang sedang ditantang oleh masalah besar. Sejauh mana agama dengan “virtue-ethics”-nya bisa menjawab problem ini? Ketika kapitalisme tanpa rival ideologi tandingan sosialisme/komunisme, apakah agama bisa memberikan tekanan agar keadilan bisa tercapai tanpa kekerasan? Bukankah harus diakui bahwa kecenderungan pelaku kekerasan dan teror itu sudah masuk wilayah ideologis; membungkus tindakannya dengan agama guna melawan melawan dominasi Barat yang kapitalistik?

Memang bagaimanapun juga tidak bisa dibenarkan langkah-langkah ideologis yang ditempuh kaum radikal Islam yang di Timur Tengah dan sekarang merembet ke Eropa hingga sebagian ke Asia Tenggara, atau radikalisme berbaju agama sebagaimana yang terjadi di daratan Afrika.

Justru di sinilah letak pentingnya kaum agamawan melakukan koreksi diri atas ajaran agamanya yang selama ini menutup diri sebatas sibuk mengurus lembaganya, atau paling luas mengurus kelompoknya sendiri dengan sibuk berebut kursi kekuasan. Harus ada langkah lebih maju dari kaum agamawan untuk memerankan agamanya menjadi rahmat, dengan tindakan berpihak kepada mereka yang termarginalkan oleh proyek globalisasi.

* Direktur The Nuindo Institute, Bandung. Inisiator Gerakan Civic-Islam Indonesia