Puisi

Sajak-sajak Najibul Mahbub

Sabtu, 31 Maret 2018 | 06:00 WIB

Sajak-sajak Najibul Mahbub

ilustrasi via The Guardian

Lautan

Ketika Camar mencari peraduan 
Diantara karang-karang terjal
Monyet memilih Senayan dalam genggaman
Sedangkan kancil menjadi penguasa di lautan

Lautan tak sedangkal otak kancil ataupun monyet
Yang terus saja mengumbar huru hara
Mencibir macan dengan menebarkan garam
Dan menghempaskan ombak
Yang terus saja menggempur bertubi-tubi

Tetapi nelayan terus saja berlayar tanpa
Asa yang masih tersisa
Dengan bekal jaring dan pancing
Yang selalu menjadi pusaka
Warisan leluhur Nusantara

Badai angin terus  meliak-liukkan 
Untaian pohon-pohon kelapa 
Yang berbaris ujung
Sampai ujung peraduan

Sedang malam
Menghantarkan ikan 
Menjadi mangsa santapan
nelayan berbaju sorban

Ah...cukuplah itu
Menjadi peraduan yang tak pura-pura

Pekalongan, 20 Oktober 2017

Aku, Dzikir dan Makam Sapuro

Sujud kepura-puraan
Karena hati belum menyatu 
Dan lisan juga tak sinkron dengan tubuh
Sedang hidung dan telinga
Terus saja membuat gara-gara
Nafas dzikir belum cukup
Menembus dinding hati 
Menembus mihrab khusyuk 
KepadaMu
Di depan makam Aulia sapuro
Tubuh ini kembali mengeja 
Membiarkan celotehan medsos
Berlalu tenang tanpa perlu dihiraukan 
Mengeja kembali "yaa dan sin"
Walau fasih jauh dari harapan

Riuh peziarah diluar makam
Bersama pedagang batik emperan
Menambah lisan ini terus saja 
Mengeja satu persatu Alif dan mim
Tanpa menghiraukan harga batik tulis atau cap
Selembar ataupun kodian

Rombongan bis satu persatu parkir 
Di area makam yang terus menerus berkembang
Peziarah peziarah luar dalam kota 
Kembali menginjakkan kaki di bumi sapuro
makam-makam  Aulia diziarahi
Dzikri tahlil terus mengumandang 
Di area makam
Ada habib Ahmad Al atas, 
Ada habib Hasyim bin Yahya
Ada Mbah feqih
Ada Mbah kyai Agus kanayagan
Mengaura dalam makam sapuro
Lantunan dzikir dan doa
Menambah syahdu malam-malam
Menjelang bulan  ramadhan 
Bersatu, menyatu, menyeru 
Mengharap ridlo Nya
Tak satu pun terganggu, 
Tak satupun terusik
Semua menyatu padu 
Satu nafas satu tarikan

Dzikir-dzikir itu 
Kembali meruntuhkan hasrat duniawi
Yang selalu saja merajai hati
Mendesak jiwa sunyi
Kembali merendam birahi
Sapuro, kembali menyatukan ku
Dalam sunyi bersama peziarah hati
Auliaku auliamu Aulia kita
Masih "ngrejekeni menungso Ing dunyo"
Sedang aku tak bisa apa-apa

Pekalongan, 17-7-17

Pekalongan

Jalan jalan Pekalongan
Merambat bagai siput
Berjalan merangkak
Lalu lalang becak 
Menjadi rusak
Jalanan menjadi mangkrak
Lalu umpatan-umpatan berteriak
perbaikan jalan tak berkesudahan menjadi idola
Jalanan Jetayu menjadi sengketa
Kaum haritage mengajukan protes 
Karena rel  jelmaan sejarah
Dibeton dicor
bukan dengan aspal yang gampang molor
Jalanan-jalanan menjadi sengketa
Sengketa menjadi petaka
Petaka menjadi perkara
Perkara membuat nestapa
Dan jalanan  semakin gila

Truk-truk berton-ton melintas
Menyesaki  jalan-jalan protokol 
Jendral Sudirman merayap, 
Kawasan monumen tersendat
Perempatan Ponolawen hingga pusri ikut juga macet
Apalagi kereta lewat dengan gerbong  
berderet-deret
Motor-motor saling berebut jalan 
Pegawai, anak sekolah  juga pedagang 
Berpacu roda menuju tempat kerja
Sedangkan sepeda harus mengalah 
Di tepian jalan yang tak lagi lega

Trotoar-trotoar telah berubah jadi tempat usaha
Warung-warung sepanjang jalan 
menjadi wahana kuliner wisata 
Sepeda motor asyik parkir tanpa kontrol
Aturan dibuat tak lagi dijaga
Larangan tak lagi menjadi panglima
Mereka melanggar seolah tak berbudaya
Etika sudah tak lagi dipelihara 

Sungai-sungai hitam
Sampah-sampah bermunculan
Membumbung membendung aliran
Sungai mampet
Sungai menjadi rapet
Limbah-limbah seenaknya dibuang ke kali
Dari Kuripan sampai slamaran
Sungai Pekalongan tak seperti dulu 
Kenyamanan tak lagi dielu-elu

Air Rob menjadi langganan 
Banyak usaha Belum jua membuahkan
Dari tanggul sampai peninggian jalan
Air Rob terus berkejaran
Para penghuni sudah tak lagi  nyaman
Karena air tak bisa diajak berirama
Segala daya dan usaha
Seolah kerja tak ada apa-apa
Hanya doa kepada sang kuasa

Aku rindu....
Pekalonganku dulu
Aku rindu....Masa kecilku

Pekalongan, 05-05-2017


Penulis adalah guru Bahasa Indonesia dan juga pendiri teater Bayang di MAN 2 Pekalongan merupakan Pria kelahiran 13 Maret 1981.  Ia tinggal di Gubuk kecil di Jalan Nusa indah 11 Perumahan Taman Seruni Gamer Pekalongan. Beberapa karyanya tergabung dalam beberapa antologi, antara lain: Antologi 105 Penyair, Semanggi Surabaya, Indonesia dalam Titik 13, Penyair Menolak Korupsi jilid I, Penyair Menolak Korupsi Jilid II, Menuju Jalan Cahaya, Antologi tentang Gus Dur,  Habituasi Wajah Semesta, Daun Bersayap Awan, Ziarah Batin, Antologi Puisi 2 Koma 7, Puisi Menolak Korupsi Jilid I, Puisi menolak korupsi jilid 2, Antologi Wakil Rakyat, Memo Wakil Rakyat, Memo Anti terorisme, Memo Anti Kekerasan Anak, Memo untuk Presiden, Antologi Puisi Kampungan, Antologi Puisi “Ayo Goyang”,   Antologi Puisi 122 Penyair “Cinta Rindu Damai dan Kematian”, Rasa Sejati (Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia), Memo Kepala Daerah, Kumpulan Esai PMK “Bungai Rampai PMK”, Antologi “Madah Merdu Kamadhatu” Magelang 2017,  Antologi puisi religi “Tadarus Puisi” 2017 dan beberapa antologi yang masih dalam proses penerbitan. Bersama Evah Nafilati ia telah mengarungi kehidupan rumah tangganya selama 13 tahun dan bersama ketiga putrinya yang cantik yaitu Najiba Ziadatuzzulva, Najiba Hada Faradisa, serta Najiba Syasya Syazwina.  Email yang bisa dihubungi yaitu najibulmahbub@yahoo.co.id.





Terkait

Puisi Lainnya

Lihat Semua