Penulis : Dr. Muhammad Ibrahim al-Fayyumi
Penerbit : Erlangga
Cetakan : I, 2009
Tebal : 118 Halaman
Presensi : Marsus Ala Utsman*
Imam Syafi’i adalah sosok penulis, ahli fikih, dan sastrawan yang karya dan pemikirannya orisinil terkenal sangat menonjol di peradaban Arab dan Islam. Imam Syafi’i adalah penggagas pertama kali dalam bidang ilmu Ushul Fikih yang dituangkang dalam kitab monuminnya, Ar-Risalah. Silogisme Imam Syafi’i nyaris sebanding dengan silogisme ciptaan Aristoteles. Jika sologisme Aristoteles bertujuan untuk mengatur dan mensistematiskan sebuah pemikiran, maka silogisme Imam Syafi’i bertujuan untuk mengatur hubungan antara kekuatan akal dan teks. Dengan begitu perpaduan antara akal dan teks, cara pemahamannya tidak dengan cara bebas, tanpa terkontrol, dan tanpa etika. Padahal ilmu Ushul Fikih adalah etika itu sendiri.<>
Adapun ilmu Ushul Fikih adalah sebagai pemandu akal agar tidak terperosok dalam kesalahan etika untuk memahami sebuah teks, lebih-lebih teks ilahiah. Di kalangan para khalifah, ulama, dan penyair, Imam Syafi’i terkenal dengan marga ‘Muthalibiy’. Bahkan sebagian orang memasyhurkan Imam Syafi’i lebih jelas dibandingkan dengan cahaya di siang hari.
Dalam pengembaraan Imama Syafi’i menimba ilmu Nahwu dan Sastra, dia bertemu dengan Muslim bin Khalid, kemudian Muslim bin Khalid menanyakan berbagai hal tentang Imama Syafi’i, mulai dari asal dan tempat tinggalnya. Hingga pada akhirnya Khalid berkata: Allah telah memuliakan Syafi’i di dunia dan di akhirat, dan alangkah baiknya jika kamu mengkonsentrasikan diri dalam ilmu Fikih.
Imam Syafi’i dilahirkan di Gaza, kemudian dibawa ke Asqalan. Dia lahir pada tahun 150 H. Tahun di mana Abu Hanifah meninggal dunia. Menginjak usianya yang kedua puluh, Imam Syafi’i pergi menjumpai Imam Malik, namun sebelum menemui Imam Malik Ia sudah hafal kitab monumentalnya yang berjudul Al-Muwaththa’. Sehingga ketika Imam Syafi’i membacakan kitab karangan Imam Malik di hadapannya, membuat ia terkagum-kagum mendengar pembacaan Imam Syafi’i. Dan kemudian Imam Syafi’i di jadikan murid kesayangannya. Imam Syafi’i menjadi murid Imam Malik dalam kurun waktu yang cukup lama, kurang lebih 29 tahun.
Setelah beberapa tahun kemudian, Imam Syafi’i pergi ke Yaman. Ketika itu Imam Malik sudah wafat. Berbagai cobaan sering kali dijalani oleh Imam Syafi’i. Sehingga mengharuskan dia untuk pulang ke Baghdad. Di sana Imam Syafi’i kembali bergelut dengan dunia ilmu pengetahuan. Dan di kota inilah Imam Syafi’i melahirkan madzhab barunya setelah sebelumnya dia menjadi murid Imam Malik. Selama Imam Syafi’i menghabiskan waktunya di Baghdad, di sanalah Ia memulai mengarang kitab yang berjudul Ar-Risalah, sebuah kitab yang mengulas tentang dasar-dasar ilmu Ushul Fikih, menjelaskan tentang ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits, Ijmak, Qiyas, Sain, dan masalah-masalah lainnya. Pada tahun 199 H dia pergi ke Mesir dan di sana pula Ia melanjutkan penulisan kitab monumintalnya tersebut. Dan di Mesir pulalah Imam Syafi’i mengahiri hayatnya pada tahun 204 H.
Ada dua hal yang sangat menarik pada diri Imam Syafi’i. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rabi’ bin Sulaiman, "Sebelum Syafi’i memasuki Mesir, aku melihat ada dua hal yang menarik pada diri Syafi’i, di siang hari aku tidak melihat dia makan, dan di malam hari aku tidak pernah melihat dia tidur (hlm.19). Dalam hal itu Imam Syafi’i lebih banyak meluangkan waktunya untuk menuangkan ide-ide keilmuannya dalam sebuah tulisan."
Realitas yang ada dalam masyarakat muslim dewasa ini sudah banyak mengalami dekadensi. Semua itu banyak di sebabkan karena pengkultusan atas nama agama yang sudah menyebar di tengah-tengah masyarakat. Kejadian seperti itu tidak hanya terjadi saat sekarang, namun sudah pernah terjadi pada masa-masa kehidupan Imam Syafi’i dulu. Dengan demikian kejadian itu menjadi motivasi bagi Syafi’i untuk menulis buku yang isinya adalah kritikan-kritikan terhadap fenomina yang terjadi.
Buku ini juga menjelaskan tentang bagaimana Imam Syafi’i dalam memecahkan sebuah masalah. Ada dua metode Imam Syafi’i yang di gunakan dalam memecahkan sebuah masalah, yaitu metode rasio, dan metode nash. Apa yang dimaksud dua metode tersebut, dan apa hubungannya antara rasio dan nash? Nah, buku ini mengupas habis tentang bagaimana cari berpikir Imam Syafi’i untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Baik itu dari persepektif Al-Qur’an dan Hadits, bagitu pula di tinjau dari berfikir ‘rasio’.
Sebagian para ahli hadits mereka memang sangat berpegang tenguh dan menjaga terhadap sunnah-sunnah Rasulullah. Namun ketika mereka di persoalkan dengan banyak pemikiran yang dilontarkan oleh ahli rasio, mereka lemah dalam menjawab permasalahan tersebut. Begitu juga para ahli rasio mereka yang menguasai metode berpikir dan berdebat, ketika mereka di persoalkan dengan pengetahuan Sunnah dan Atsar mereka pun juga lemah menjawabnya.
Namun, beda halnya dengan Imam Syafi’i. Dia mengetahui sunnah-sunnah Rasul dan hukum-hukumnya, dan dia juga mengetahui aturan berpikir serta berdebat. Dia sangat mahir dalam persoalan ini. Ketika ada orang yang melontarkan pertanyaan atau permasalahan apa pun, Imam Syafi’i menjawabnya dengan jawaban yang lengkap. Dengan hadirnya Syafi’i saat itu, ahli hadits selamat dari serangan ahli reasio dan sebaliknya. Oleh karena itu, banyak sekali orang mumuji Imam Syafi’i dan para ulama pun juga menghormatinya.
*Peresensi adalah mahasiswa Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Terpopuler
1
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
2
Kronologi Santri di Bantaeng Meninggal dengan Leher Tergantung, Polisi Temukan Tanda-Tanda Kekerasan
3
Bisakah Tetap Mencoblos di Pilkada 2024 meski Tak Dapat Undangan?
4
Bahtsul Masail Kubra Internasional, Eratkan PCINU dengan Darul Ifta’ Mesir untuk Ijtihad Bersama
5
Ma'had Aly Ilmu Falak Siap Kerja Sama Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan
6
Membedakan Bisyarah dan Money Politics Jelang Pilkada
Terkini
Lihat Semua