Kitab Fiqih Melayu Terlengkap Kedua Karya Syekh Abdul Rauf Singkel
Kamis, 23 Februari 2017 | 10:00 WIB
Kitab “Mir’ât al-Thullâb” ini menjadi istrimewa dalam sejarah literatur keilmuan Islam Nusantara karena merupakan kitab fiqih Islam madzhab Syafi'i kedua yang terlengkap dan ditulis dalam bahasa Melayu, sekaligus kitab hukum perdata dan pidana (fiqh al-mu’âmalah) pertama menurut madzhab Syafi’i yang ditulis secara sempurna dalam bahasa Melayu.
“Mir’ât al-Thullâb” menyempurnakan kitab fiqih Melayu yang telah ditulis sebelumnya, yaitu “al-Shirâth al-Mustaqîm”, karya Syekh Nûr al-Dîn Muhammad ibn ‘Alî ibn Hasanjî al-Rânîrî (Nuruddin al-Raniri, w. 1658 M), seorang ulama besar Nusantara asal India yang berkarir di Kesultanan Aceh pada pertengahan abad ke-17 M dan juga pendahulu Syekh Abdul Rauf Singkel. “Al-Shirâth al-Mustaqîm” adalah kitab fiqih ibadah menurut madzhab Syafi’I pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu secara lengkap.
Gambar naskah ini saya dapat dari koleksi British Library (BL), London, dengan nomor kode Or. 16035 yang sudah didigitalisasi. Pada naskah salinan dengan nomor kode Or. 16035 tersebut, terdapat beberapa keterangan yang cukup. Dikatakan bahwa naskah tersebut disalin di Aceh pada 14 Muharram 1178 Hijri (14 Juli 1764 M), pada masa pemerintahan Sultan Kamaluddin Jauhar al-‘Alam Syah. Teks naskah ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu beraksara Jawi, dengan tinta hitam dan merah. Pada halaman kedua dan di beberapa halaman naskah lainnya terdapat hiasan iluminasi (muzayyanât wa zakhârif) bercorak khas Aceh.
Kitab “Mirât al-Thullâb” sendiri berisi kajian lengkap tentang fiqih mu’amalah wa ahwâl al-syakhsiyyah (perdata), jinayah (pidana), munakahah (pernikahan), dan siyasah (politik) menurut madzhab Syafi’i. Semua kajian tersebut dituangkan oleh Syekh Abdul Rauf Singkel dalam bentuk tanya jawab, guna memudahkan pemahaman para penelaah dan pengkajinya.
Kitab tersebut ditulis oleh Syekh Abdul Rauf Singkel atas permintaan dari Sultanah Syafiyatuddin Tajul Alam Zhilullâh fil ‘Alam (memerintah 1641-1675 M), istri dari Sultan Iskandar Tsani dan putri dari Sultan Iskandar Muda. Karya tersebut diselesaikan pada tahun 1074 Hijri (1663 M), dan dipersembahkan ke hadapan sang Sultanah pada 8 Jumadil Akhir 1083 Hijri (1 Oktober 1672 M).
Dalam kata pengantarnya, Syekh Abdul Rauf Singkel menulis;
(Maka sesungguhnya sang Sultanah [Shafiyatuddin Tajul Alam] telah meminta kepadaku, dengan disebabkan dorongan yang tinggi akan melayan agamanya, agar aku menulis sebuah risalah yang diperlukan untuk orang-orang yang menjabat urusan perqadian, yaitu tentang hukum-hukum syari’at menurut ulama madzhab Syafi’i. Saya (diminta untuk) menuliskannya dalam bahasa Jawi [Melayu] Sumatra).
Meski demikian, pada mulanya Syekh Abdul Rauf Singkel merasa keberatan dengan permintaan tersebut, dikarenakan bahasa Melayu beliau belum fasih betul. Hal ini dikarenakan beliau sudah terlalu lama hidup di luar Nusantara, yaitu di Yaman, Makkah, dan Madinah, selama kurang lebih 19 tahun. Syekh Abdul Rauf menulis;
(Aku merasa keberatan dengan permintaan itu, karena kurangnya kefasihanku dalam bahasa tersebut [Jawi-Melayu Sumatra], oleh karena lamanya masa kelanaku dan masa mukimku di negeri Yaman, Makkah, dan Madinah).
Menimbang hal tersebut, sang Sultanah pun memberikan dua orang pendamping sekaligus penerjemah bahasa Jawi-Melayu kepada Syekh Abdul Rauf Singkel, guna memudahkan dan melancarkan proyek penulisan kitab pegangan para qadi tersebut. Sebagaimana yang dituliskan oleh Syekh Abdul Rauf Singkel;
Dalam usaha mengarang karya ini, Syekh Abdul Rauf Singkel merujuk pada kitab-kitab referensial dalam fiqih madzhab Syaf’i, seperti Fath al-Wahhâb karangan Syekh Zakariyâ al-Anshârî (w. 1520 M), Tuhfah al-Muhtâj dan Fath al-Jawwâd karangan Syekh Ibn Hajar al-Haitamî (w. 1565 M), Nihâyah al-Muhtâj karangan Syekh Syamsuddîn al-Ramlî (w. 1596 M), dan lain-lain.
“Mir’ât al-Thullâb” pun pada gilirannya menjadi kitab acuan dan rujukan utama undang-undang perdata dan pidana bagi Kesultanan Aceh, juga kesultanan-kesultanan Melayu di sekitarnya. Kitab ini bahkan juga dijadikan acuan bagi kitab undang-undang Kesultanan Mindanau (kini Filipina Selatan) yang dikenal dengan nama “Lumaran”. (A. Ginanjar Sya’ban)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
2
Cerita Rayhan, Anak 6 Tahun Juara 1 MHN Aqidatul Awam OSN Zona Jateng-DIY
3
Peran Generasi Muda NU Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045 di Tengah Konflik Global
4
Luhut Binsar Pandjaitan: NU Harus Memimpin Upaya Perdamaian Timur Tengah
5
OSN Jelang Peringatan 100 Tahun Al-Falah Ploso Digelar untuk Ingatkan Fondasi Pesantren dengan Tradisi Ngaji
6
Pengadilan Internasional Perintahkan Tangkap Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant atas Kejahatan Kemanusiaan
Terkini
Lihat Semua