Ini adalah halaman sampul dan halaman pertama dari naskah kitab “Kasyf al-Muntazhir li mâ Yarâhu al-Muhtadhir” karangan seorang ulama besar Madinah, Syaikh Burhân al-Dîn Ibrâhîm ibn Hasan al-Kûrânî al-Madanî (Ibrahim al-Kurani, w. 1101 H/ 1690 M), yang juga maha guru ulama Nusantara generasi abad ke-17 M.
Kitab ini termasuk langka, karena tidak terlacak dalam daftar karya-karya Syaikh Ibrahim al-Kurani di beberapa sumber bibliografi berbahasa Arab tentang karya-karya al-Kurani. Saya sendiri mengetahui keberadaan kitab ini di sela-sela diskusi dengan sahabat yang budiman dari Aceh,
Masykur Syafruddin.
Saya menemukan kopian naskah ini dalam kajian dan suntingan yang dilakukan oleh Abdullah Maulani, yang juga menjadi skripsinya pada Program Studi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayataullah Jakarta, dan diajukan pada 28-06-2016. Maulani mendapatkan naskah “Kasyf al-Muntazhir” dari koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dengan nomor kode 135/A/19/75, rol. 2.
Naskah koleksi ANRI di atas merupakan naskah salinan, terdiri dari 10 lembar. Dari ke-10 lembar itu, yang berisi teks hanya 7 halaman saja. Tidak disebutkan sosok identitas penyalinnya. Dalam kolofon, hanya disebutkan tahun penyalinan pada 1250 Hijri (1834 M). Di sana terdapat juga identitas pemilik naskah, yaitu Muhammad ‘Idrûs ibn Badruddîn al-Buthûnî, yang merupakan Sultan Buton ke-29 (memerintah sepanjang tahun 1824-1851).
Tertulis di sana;
تم تسويده سنة 1250. كتاب كشف المنتظر لما يراه المحتضر تأليف سيدي العارف بالله العامل الكامل أبي عبد الله إبراهيم بن حسين الكوراني الشهرزوري قدس الله سره العزيز ونفعنا به أمين. تم. ملك الفقير الحقير محمد عيدروس بن الفقير بدر الدين البطوني.
“Kasyf al-Muntazhir” ditulis oleh al-Kurani untuk merespon sebuah pertanyaan yang datang dari Nusantara. Pertanyaan tersebut meminta fatwa dan pandangan al-Kurani tentang sebuah tradisi menjemput kematian dan meregang nyawa (sakaratul maut) yang lumrah berlaku di Nusantara kala itu.
Dalam kata pengantarnya, Syaikh Ibrahim al-Kurani menulis;
أما بعد. فقد سئلت: أيها الأخ المحاط بحفظ الله المحيط بكل باد ومستور صاعد أو نازل أو مستقر في بسائط البسيط من شر كل ذي شر في الجو والأرض في الطول والعرض آمين، عن كلام قلت انه اعتمده أكثر أهل الجاوة وعظموا أمره حتى كأنه لا يصح ولا تتم معرفة الله عندهم إلا بمعرفته، وهو أن المريض إذا اشتد مرضه وأشرف فيه الى الموت فليمد نفسه الى الرأس ثم ينظر ماذا يبدو اليه من الصور والأشخاص.
“Ammâ ba’du. Saya telah ditanya. Wahai saudara yang dijaga oleh penjagaan Allah yang maha luas [pengetahuan-Nya] atas segara sesuatu yang tampak dan samar, naik dan turun, atau pun tetap. Bahwa aku telah ditanya tentang sebuah pendapat yang banyak dijadikan bahan acuan oleh kebanyakan orang Negeri Jawi [Nusantara], yang mana mereka mengagungkan hal tersebut, sehingga seolah-olah tidaklah benar dan sempurna pengetahuan mereka akan Allah kecuali jika mereka sudah mengetahui hal tersebut. Yaitu; ketika seorang yang sakit parah yang mendekati ajalnya, maka ia harus meletakkan tangannya di kepalanya, lalu ia akan melihat berbagai macam bentuk dan rupa).
فإن نظر بعينه أسود فهو إبليس فليقل لا إله إلا الله هو هو. وإن نظر أصفر فهو يهودي فليقل لا إله إلا الله هو هو هو. وإن نظر أخضر فهو جبريل فليقل قل هو الله أحد يا محمد أنت الله هو هو. وإن نظر أبيض فهو محمد صلى الله عليه وسلم فليقل ما شاء الله كان للمؤمنين يا هو هو.
(Jika ia melihat sinar berwarna hitam, maka itu adalah Iblis. Hendaklah ia mengucap Lâ Ilâha Illallâh Huwa Huwa. Jika ia melihat sinar berwarna kuning, maka itu adalah Yahudi. Hendaklah ia mengucap Lâ Ilâha Illallâh Huwa Huwa. Jika ia melihat sinar berwarna hijau, maka itu adalah Malaikat Jibril. Hendaklah ia mengucap Qul Huwallâhu Ahad, yâ Muhammad, Antallâhu Huwa Huwa. Jika ia melihat sinar berwarna putih, maka ia adalah Nabi Muhammad. Hendaklah ia mengucap Mâ SyâAllahu Kâna lil Mu’minîn Yâ Hâ Huwa).
Pertanyaan tersebut kemudian dilanjutkan dengan soalan apakah hal di atas benar adanya menurut ajaran agama Islam dan termaktub dalam kitab-kitab hadits ataukah tidak? Pertanyaan tersebut kemudian dilanjutkan dengan bacaan dan amalan apa saja yang hendaknya dibacakan dan dilakukan seseorang ketika kematian datang menjemputnya agar mendapatkan husnul khatimah.
Tentu saja, al-Kurani dibuat terkejut dengan pertanyaan yang cukup aneh dan asing itu. Hal ini ditambah lagi dengan redaksi pertanyaan yang, menurut keterangan al-Kurani, datang dalam bahasa Arab yang kurang bagus (al-rakîkah).
Menjawab pertanyaan di atas, al-Kurani pun dengan tegas mengatakan jika hal di atas sama sekali tidak ada sandarannya dalam ajaran agama Islam, tidak juga terdapat dalam kitab-kitab hadits dan kitab-kitab rujukan yang otoritatif. Al-Kurani menulis;
والجواب الإجمالي إن هذا التفصيل لا أصل له في شيئ من كتب الأحاديث فيما وقفت عليه، ولا في شيئ من كتب القوم.
Lalu, dari manakah kira-kiranya bersumbernya keyakinan dan pandangan menjemput kematian orang-orang Muslim Nusantara pada abad ke-17 M seperti yang diungkapkan di atas?
Terlepas dari itu semua, yang jelas keberadaan naskah “Kasyf al-Muntazhir li mâ Yarâhu al-Muhtadhir” ini sangat penting, baik dalam kajian khazanah keislaman di Nusantara, ataupun di Timur Tengah. Naskah ini menarik karena ia terhitung naskah langka karangan Syaikh Ibrahim al-Kurani yang tak terlacak dalam sumber-sumber berbahasa Arab, selain karena naskah ini ditulis oleh seorang ulama sentral Madinah pada zamannya guna merespon soalan yang datang dari “Ahlu Jâwah” (Nusantara).
Keberadaan kitab ini juga melengkapi karangan al-Kurani lainnya yang khusus ditulis untuk merespon soalan-soalan Islam Nusantara pada abad ke-17 M, yaitu “Ithâf al-Dzakî bi Syarh al-Tuhfah al-Mursalah ilâ Rûh al-Nabî”, dan “al-Jawâbât al-Gharâwiyyah li As’ilah al-Jâwiyyah al-Juhriyyah”. (A. Ginanjar Sya’ban)