Pustaka

Membongkar Kerancuan Teologi Salafi

Senin, 18 Mei 2009 | 02:39 WIB

Judul : Madzhab Al-Asy’ari, Benarkan Ahlussunnah wal Jama’ah? (Jawaban Terhadap Aliran Salafi)
Penulis : Muhammad Idrus Romli
Penerbit : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, April 2009
Teba l: (x + 301) halaman
Peresens i : Fathul Qodir *


Puritan, rigid, tidak toleran serta tidak menghargai perbedaan, kiranya tidak berlebihan jika Khaled Abou el-Fadl menyematkan stigma tersebut kepada aliran Wahabi. Sekte yang hingga saat ini menjadi aliran resmi negara Saudi Arabia. Dari awal kelahirannya hingga dewasa ini, golongan yang dinisbatkan kepada nama pendirinya, yakni Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahhab (1792 M) seakan tidak lepas dari kontroversi, baik dari sisi ajaran hingga metode penyebarannya. Bahkan as-Shawi (1825 M) seorang ulama ahli hukum bermadzhab Maliki menyebut golongan Wahabi sebagai “Khawarij Modern” karena sering mengkafirkan sesama muslim yang tidak sefaham.<>

Nahdhatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan berideologi Ahlussunnah wal Jamaah yang mengikuti pemikiran Al-Asy’ari seakan tiada henti menjadi sasaran takfir (pengkafiran) dan tuduhan bid’ah dari aliran reinkarnasi Wahabi, yakni aliran Salafi. Mereka mengklaim jika merekalah golongan Ahlussunnah wal Jamaah yang sebenarnya. Akidah Asy’ariyah NU dianggap tidak sesuai dengan ajaran salafus salih, bahkan dianggap sesat. Fenomena ini membuat gerah para ulama-ulama NU, sehingga berupaya menangkis tuduhan-tuduhan tidak berdasar tersebut.

Buku berjudul “Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Waljamaah? Jawaban Terhadap Aliran Salafi” adalah jawaban yang tepat bagi warga NU maupun pihak-pihak yang merasa gerah dengan statemen maupun gerakan Wahabi yang kian marak merongrong ideologi Ahlussunnah wal Jamaah. Buku ini ditulis oleh Muhammad Idrus Ramli, penulis buku “Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU Menggugat Solawat dan Dzikir Syirik”, salah satu anggota LBM PCNU Jember yang selama ini getol meng-counter pemikiran-pemikiran Wahabi.

Kelebihan buku ini tidak hanya berisi biografi, namun penulis berusaha merekam perjalanan intelektual Al-Asy’ari mulai kanak-kanak hingga dia menjadi tokoh Mu’tazilah. Di samping itu diulas pula latar belakang teolog besar ini merasa tidak menemukan kebenaran hakiki dalam ajaran Mu’tazilah, hingga akhirnya dia menemukan konsep teologi yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW (hal 12-39).

Dalam sejarah pemikiran intelektual Islam, nama Abu Hasan al-Asy’ari (873-947 M) tentu bukanlah nama yang asing. Sebab, ide-ide besar mantan murid Al-Juba’i al-Mu’tazili ini mendapat apresiasi luar biasa umat islam di masanya maupun kurun setelahnya, hingga pahlawan Perang Salib, Solahuddin al-Ayyubi termasuk ikut andil besar menyebarkan ajaran Asy’ariah.

Pemikiran Al-Asy’ari tentang teologi yang paling fenomenal yakni usaha mengompromikan dua aliran pemikiran besar yang saling bertentangan, yakni Islam ultra rasionalis yang diwakili oleh golongan Mu’tazilah, berhadapan dengan golongan Hasyawiyyah dan Hanabilah yang berusaha mendewakan teks dan mengabaikan rasio. Hasil kompromi dua kutub pemikiran ekstrim tersebut hingga saat ini terkenal dengan faham Ahlussunnah wal Jamaah

Wahabi, yang secara geneologis merupakan anak intelektual Hanabilah dan Hasyawiyah, selama ini memercayai jika Al-Asy’ari mengalami tiga fase intelektual, yakni fase Mu’tazilah, Khulabiyah dan yang terakhir Ahlussunnah. Mereka berkeyakinan bahwa akidah Asy’ariyah yang dianut NU saat ini merupakan akidah Asy’ariyah semasa masih berguru kepada Ibnu Khulab yang bukan Ahlussunnah. Logikanya, jika Al-Asy’ari tidak termasuk golongan Ahlussunnah, maka NU sebagai penganut ideologi Asy’ariyah juga tidak termasuk Ahlussunnah.

Walhasil, kaum wahabi mendapat legitimasi dalam membajak nama Ahlussunnah. Namun tuduhan tersebut terbantahkan dengan argumen-argumen penulis yang merujuk pada analisa para ulama-ulama pakar sejarah seperti al-Hafidz al-Dzahabi, Syamsuddin ibn Khalikan, Ibn Furak dan pakar sejarah Ibn Khaldun yang mengatakan jika Ibn Khulab guru Al-Asy’ari adalah termasuk golongan Ahlussunnah (hal 39-52).

Di samping itu, penulis secara panjang lebar memaparkan kerancuan konsep tauhid kontoversial Ibnu Taimiyah yang menjadi acuan dasar tauhid kaum Wahabi. Pembagian tauhid menjadi tiga, yakni tauhid uluhiyyah, tauhid rububiyyah dan tauhid asma wa sifat versi Ibnu Taimiyah tidak dikenal dalam diskursus tauhid ulama salaf. Tauhid inilah yang menggiring para pengagumnya menyirikkan amaliah golongan Ahlussunnah sebagaimana tahlil, maulid dan ziarah kubur. (hal 224-230)

Akhiron, isi buku ini mengetengahkan argumen-argumen yang melegitimasi keabsahan ajaran Asy’ariyah di mata al-qur’an dan al-hadis. Di samping juga berusaha mematahkan tuduhan-tuduhan golongan Salafi (Wahabi) yang selama ini membid’ahkan kalangan Ahlussunnah pengamal ajaran Al-Asy’ari bahkan berusaha membalikkkan tuduhan tersebut kepada mereka. Kecerdasan dan ketelitian penulis terekam dalam analisa yang dipaparkan dalam buku ini.

Buku ini diterbitkan oleh Khalista, penerbit yang selama ini konsen memperjuangkan penyebaran nilai-nilai Aswaja. Hemat kami, buku ini tidak hanya layak untuk dibaca, tapi wajib untuk semua orang yang mengaku sebagai pengikut Aswaja sebagai benteng akidah. Wallahu a’lam.


*Peresensi adalah staf pengajar di PP Mahasiswa Luhur al-Husna dan Ketua Formal (Forum Mahasiswa Alumni Lirboyo) Surabaya