Dalam kehidupan, selalu terdapat dua kutub berlawanan yang senyatanya saling melengkapi satu sama lain, seperti kuat dan lemah, superior dan inferior, kaya dan miskin, baik dan buruk. Nabi Muhammad meneladankan konsep hidup yang sangat revolusioner. Jika sebelumnya kuat dan lemah adalah persoalan dominasi kekuatan, maka bagi Nabi, keduanya adalah dua hal yang kudu berelasi positif dan saling mengisi. Yang kuat melindungi yang lemah, yang kaya membantu yang papa dan yang mayor melindungi yang minor.
Prof Dr Raghib al-Sirjani sebenarnya telah mengemas sikap hidup Rasulullah ini dalam teori the Harmony of Humanity-nya. Teori yang menyadarkan semua orang bahwa kesamaan mereka sebagai manusia jauh lebih banyak daripada perbedaan di antara mereka. Sehingga atribut personal seperti Suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA tidak menjadi sekat untuk saling melindungi dan membantu sama lain.
Dalam Nabi Kaum Mustad’afin , penulis mengurai sekelumit narasi hidup Nabi yang mengejawantahkan pembelaan dan kepedulian kepada kaum lemah, di saat zaman memandang mereka sebelah mata dan pantas dimarginalkan.
Sebagai seorang pemimpin, kesejahteraan umat adalah perkara krusial yang sangat diperhatikan. Kendati hidup dalam kesederhanaan, Muhammad tidak membiarkan orang fakir begitu saja. Beliau berupaya mengatasi ketidakmampuannya, seperti menyerahkan masalah tersebut kepada sahabatnya yang mampu. Lebih-lebih ketika dalam keadaan mampu, tidak segan-segan harta yang beliau miliki digunakan untuk membantu mereka.
Saat hendak memerdekakan Salman al-Farisi dari status budak, Muhammad memerlukan 300 pokok kurma dan 4 awqiyah emas (satu awqiyah=40 dirham) sebagai tebusan. Selanjutnya, Nabi memerintah para sahabat menolong nasib Salman. 300 bibit pohon kurma berhasil dikumpulkan dari hasil bahu-membahu para sahabat, sedang Nabi sendiri menyumbang tebusan emas yang dibutuhkan. (hlm. 114)
Nabi sangat melindungi prempuan. Pada masa praislam, martabat kaum Hawa sangat rendah dibanding laki-laki sehingga acap diperlakukan semena-mena. Dengan risalah yang dibawanya, Nabi SAW mengangkat kedudukan perempuan menjadi sedemikian mulia dan terhormat. Dalam kesehariannya pun, Nabi meneladankan untuk menjauhkan perempuan dari beragam kekerasan, baik fisik mau pun psikis. Suatu ketika, Abu Bakar mendengar suara tinggi Aisyah membentak Nabi. Abu Bakar kemudian meraih Aisyah dan hendak menamparnya gara-gara ketidaksopanannya. Namun Nabi segera menghalangi niat tersebut.
Seringkali istri Nabi melakukan kesalahan di hadapan banyak orang hingga menyulitkannya. Namun Nabi tetap menghargai sikap para istrinya, menyangi kelemahan dan memaafkan kesalahan mereka, serta tidak mudah tersinggung karenanya.
Anas ibn Malik ra meriwayatkan bahwa suatu hari, Nabi tengah berada di rumah salah seorang istrinya. Lalu datang seorang utusan dari istri yang lain untuk mengirim makanan kepada Nabi. Lantaran cemburu, istri Nabi memukul tangan sang utusan hingga nampan yang dibawanya pecah. Namun Nabi memungut kedua pecahan wadah itu lalu menggabungkannya dan menaruh kembali makanan di atasnya.
Nabi Muhammad bersabda: “Ibu kalian tengah cemburu, silakan nikmati makanannya.” Mereka pun menyantapnya, sementara beliau tetap memegangi wadah pecah tersebut sampai diganti dengan wadah baru dari rumah istrinya. Nabi kemudian menyerahkan wadah baru kepada sang utusan dan membiarkan wadah yang pecah di rumah istri yang memecahkannya. (hlm. 56-57)
Kaum minoritas merupakan golongan lemah yang juga dilindungi. Piagam Madinah dan peristiwa Fathu Makkah adalah sekelumit peristiwa yang merepresentasikan sikap bijaksana Rasul pada mereka. Kita tahu, di Madinah terdapat ragam suku yang juga berlatar ragam agama. Di bawah panji Islam, Nabi senantiasa menjunjung keadilan dan memperlakukan mereka dengan baik tanpa diskriminasi sedikit pun. Bahkan dalam sutu riwayat, Nabi pernah memiliki dua orang khadam dari kaum Yahudi.
Barangkali kisah-kisah di atas sudah klise didengar. Pengutaraan segenap narasi hidup nabi dalam buku ini lebih serasa satire bagi umat kekinian. Pasalnya, hari ini prinsip-prinsip luhung yang telah dipancangkan Nabi serasa miskin aplikasi.
Sebagai amsal, mari kita tengok figur pemimpin saat ini. Masihkah di antara mereka ada yang rela hidup sederhana dengan sedikit harta macam Rasulullah? Pertanyaan ini terasa sangat tidak relevan. Karena potret pemimpin saat ini tidak akan jauh dari gelimang duniawi. Beberapa bahkan dengan tega menikung hak-hak rakyat untuk mengisi kantong pribadinya.
Pun kita tahu, negeri laiknya tanah Madinah dengan rupa-rupa suku dan agamanya, bahkan barangkali lebih majemuk. Pemetakan kubu mayoritas dan minoritas menjadi tak terhindarkan. Sekalipun bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, namun masih saja muncul beberapa kasus diskriminasi terhadap golongan minoritas.
Demikianlah, buku ini lebih berposisi sebagai instrumen untuk menginstrospeksi keislaman kita. Jika benar mengimani Rasulullah, maka sudah selayaknya apa yang beliau lakukan musti teladani sebaik mungkin. Selamat membaca!
Peresensi adalah Muhammad Faiz As (Pengurus Perpustakaan PP Annuqayah Lubangsa Selatan, Sumenep, Jawa Timur).
Identitas Buku
Judul Buku: Nabi Kaum Mustad’afin
Penulis: Raghib al-Sirjani
Penerjemah: Tatam Wijaya
Cetakan: I, 2018
Penerbit: Zaman
Tebal: 272 Halaman
ISBN: 978-602-6273-03-1