Pustaka

Menyingkap Hakikat Makna Haji

Ahad, 3 Februari 2008 | 23:00 WIB

Judul: Makna Haji
Penulis: Dr. Ali Syariati
Penerbit: Zahra, Jakarta
Edisi: Pertama, 2007
Tebal: 260 halaman
Peresensi: Lukman Santoso Az*

Ibadah haji, dalam rukun Islam, merupakan ibadah kelima setelah syahadat, salat, puasa dan zakat. Ibadah ini dilakukan pada hari-hari tertentu di bulan Dzulhijjah dengan urutan amalan-amalan tertentu. Setiap pelaku haji melakukan amalan-amalan tersebut pada tempat-tempat yang tertentu pula. Di antaranya adalah Mekah, tempat para jamaah haji melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah), sa’i (lari-lari kecil), dan tahallul (memotong rambut). Kemudian, Arafah, suatu padang tandus tempat para jamaah haji melakukan perenungan dan berdoa sebanyak-banyaknya. Lalu, Mina, tempat para jamaah haji melontar tiga macam jumrah, dan seterusnya hingga ritual haji selesai. Pertanyaannya, apa rahasia yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah haji itu, apakah ia hanya sekadar ritual belaka, atau ada makna luhur di balik semua ritual tersebut?<>

Berdasarkan pemahaman itulah, Dr Ali Syariati, melalui buku ini, mengajak kita untuk menyelami ritual haji menuju makna sesungguhnya. Ia juga menggiring kita ke dalam lorong-lorong haji yang penuh hikmah. Karena, haji, dalam pemahamannya bukan sekadar ritual wisata yang hampa makna, haji merupakan sebuah langkah maju menuju ‘pembebasan diri’, bebas dari penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati. Melalui buku ini, Dr Ali Syari’ati juga akan memberitahu kita tentang siapa saja kepalsuan yang ternyata menjadi sahabat, kekasih dan pembela kita, yang harus kita waspadai dan kita bongkar topeng-topeng kemunafikannya. Mulai dari penafsiran makna ritual miqat, Ka’bah, tawaf, sa’i, Arafah, Mina, hingga makna ritual kurban, Idul Adha, Ali Syari’ati, dengan bahasa yang khas memberikan pemahaman yang begitu komprehensif bagi kita tentang makna haji.

Memahami makna haji, dalam konteks ini membutuhkan pemahaman secara khusus dengan sejarah Nabi Ibrahim dan ajarannya, karena praktik-praktik ritual ibadah ini memiliki keterkaitan dengan pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim bersama keluarganya. Para ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan manusia yang memengaruhi atau bahkan merubah jalannya sejarah kemanusiaan. Tapi, seperti ditulis al-Akkad, penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim merupakan penemuan manusia terbesar dan yang tak dapat diabaikan para ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom betapa pun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut.

Haji, dalam pemahaman Syari’ati, merupakan kepulangan manusia kepada Allah yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai dan fakta-fakta. Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk binasa, tetapi untuk 'berkembang'. Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non-ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan semuanya, pada akhirnya mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.

Semisal, dalam konteks niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram, haji memiliki makna yang lebih universal dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pakaian ihram melambangkan pola, preferensi, status dan perbedaan-perbedaan tertentu. Tak dapat disangkal bahwa pakaian, pada kenyataannya dan juga menurut Al-Quran berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di Miqat Makany, di tempat di mana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.

Di Miqat ini, apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus di tinggalkan. Semua ditinggalkan ketika Miqat dan seorang haji berperan sebagai manusia yang sesungguhnya. Di Miqat, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. Ia akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Ka'bah yang dikunjungi, dalam pemahaman Syari'ati, mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana, misalnya, ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Ka'bah ini pernah berada dalan pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang perempuan hitam, miskin, bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu. Namun demikian, budak perempuan ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah dan usahanya untuk menjadi Hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.

Selain itu, melalui buku setebal 260 halaman ini, Syari’ati juga mengupas makna pengorbanan Ismail yang hingga kini diabadikan umat muslim di seluruh penjuru dunia, makna Idul Adha, makna bermalam di Mina serta makna beberapa ritual lainnya. Syari'ati, melalui buku ini, hendak menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Dengan kata lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang 'tampil beda' (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya, dan ini adalah kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya kita hanyalah wisatawan yang berlibur ke Tanah Suci di musim haji, tidak lebih. Buku ini amat penting untuk dibaca oleh siapapun, sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran baru akan makna haji yang hakiki.

Peresensi Pustakawan Hasyim Asy'ari Institute, Yogyakarta