Pustaka

NU dalam Imajinasi Politik Seorang Intelijen

Rabu, 21 Januari 2009 | 03:23 WIB

Judul Buku : Changes to the Heart of Tradition; The Nahdlatul Ulama I Observed
Penulis : As'ad Said Ali
Pengantar : KH Sahal Mahfudz
Tebal : 217 indeks
Tahun : 2008
Peresensi : M. Hendarto


Buku "Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati" karya As'ad Said Ali sukses dalam edisi bahasa Indonesia, yang ditandai dengan didiskusikannya buku ini di berbagai tempat dan sempat cetak ulang beberapa kali. Buku ini berhasil menghentak pembaca, terutama ketika menunjukkan adanya pengaruh yang sedemikian besar pemikiran neo-liberal dalam NU. Pengaruh itu masuk melalui berbagai funding agency yang beroperasi melalui LSM yang ada dalam NU.<>

Terbitnya buku ini tidak urung melahirkan friksi dalam NU dengan pilahan yang semakin jelas antara kelompok yang liberal dengan kelompok yang non liberal. Dengan pemilahan itu seolah orang NU harus menegaskan dirinya sebagai pengikut liberal atau bukan. Di sisi lain buku itu juga mengakibatkan terjadinya rekonsolidasi pemikiran NU dan kembali ke jalan tengah.

Lalu dengan terbitnya edisi bahasa Inggris yang cukup lancar dan berbagai istilah yang khas NU ini tentu akan melahirkan gejolak atau setidaknya melahirkan sensasi tersendiri bagi masyarakat dunia. Sebab buku ini langsung atau tidak langsung sedang menelanjangi gerakan internasional neoliberal yang menyebar melalui gelombang globalisme. Berbagai funding agency internasional yang ada di Indonesia seprti Ford Foundation, The Asia Foundation, Frederich Nauman Stiftung, Swiss Development Cooperation dan lain sebagainya adalah penyebar liberalisme, sementara orang cukup mafhum berbagai lembaga intelijen internasional cukup aktif menggerakkan lembaga dana tersebut. Tidak hanya dalam suplai dana tetapi juga dalam menentukan agenda pemikiran dan gerakan sosial lembaga atau LSM yang dibantu.

Maka tidak aneh kalau sementara orang melihat terbitnya buku ini sebagai sebuah bentuk operasi kontra inletijen. Memang ini tidak lazim seorang Intelijen menulis secara terbuka ketika sedang menjabat yakni sebagai seorang Wakil Ketua Badan Intelijen Negara (BIN). Posisi yang cukup sentral, padahal biasanya seorang inelijen menulis setelah dia pensiun, sehingga apa yang disampaikan tidak mengganggu apa yang sedang dimainkan. Apakah ini bukan kesemberonoan yang penuh risiko, baik bagi penulisnya sendiri maupun bagi lembaga yang ditulis? Memang secara tersirat, buku ini ditulis untuk menyelamatkan NU sebagai organisasi Islam terbesar tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Ini berarti menyelamatkan Indonesia dan menyelamatkan dunia, dari cengkeraman terorisme di satu sisi dan kapitalisme global di sisi lain.

Buku ini memang menawarkan berbagai sisi yang menarik untuk dikaji dan digali, mulai dari tema yang disuguhkan hingga posisi penulisnya sendiri. Di satu sisi ia mengaku sebagai warga NU bahkan dari lingkaran paling dalam dari pesantren bahkan dari keluarga inti kiai, sehingga bisa dipahami kalu orang ini begitu mudah menggali tradisi NU dan pesantren yang begitu unik dan rumit itu. Suatu langkah yang tidak mudah dilakukan oleh seorang sarjana sekalipun, tetapi dilakukan oleh As'ad dengan cukup teliti. Karena memang dia berasal dari komunitas itu sendiri, sehingga tidak perlu memulai dari dasar karena dia cukup mengenal dan menguasai tradisi keilmuan di lingkungannya.

Selama ini As'ad dikenal sebagai intelijen yang ahli dalam politik Timur tengah, karena selama belasan tahun berada di akwasan itu, oleh karena itu keahliannya dalam menelusuri jaringan terorisme yang berkembang di wilayah itu diakui cukup handal. Karena itu sangat aneh dia tidak menulis tentang kaitan gerakan Islam di Indonesia dengan jaringan Islam Timur tengah justeru dia melacak akar-akar Barat dalam jarngan pemikiran NU. Ini sebuah penyelidikan yang tidak cukup lazim, tetapi dengan bukti-bukti yang begitu kuat dan valid sehingga orang percaya bahwa ini sebuah kenyataan, bukan fiksi atau imajinasi.

Langkah zigzag yang dilakukan As'ad ini tentu menyalahi pakem seorang intelijen, memang nampaknya ia tidak lagi berjalan normative, melankan lebih dibimbing oleh imajinasinya, sehingga langkahnya tidak lagi normatif monoton, tetapi berusaha melakukan berbagai inovasi. Selama masa akhir Orde Baru terutama sejak Mutoyib menjadi kabakin, peran badan intelijen Negara seolah dipinggirkan, dan setelah itu memang Indonesia tidak memiliki intelijen yang berwibawa seperti sebelumnya. Langkahnya menjadi monoton, sehingga dinilai sering ketinggalan bahkan sering kecolongan.

Munculnya As'ad ini agak lain, langkahnya tidak lagi monoton tetapi penuh imajinasi, sehingga melihat wilayah permainan menjadi sedemikian luas, sehingga banyak hal bisa dimainkan, tetapi masih berpijak pada demokrasi atau HAM yang dicanangkan selam masa reformasi ini. Ini problem yang sulit bagi gerakan seorang intelijen, ketika informasi serba terbuka dan masyarakat menuntut keterbukaan tanpa batas, sehingga kerahasiaan negara pun mau ditiadakan. Dalam situasi begini intelejen kalaupun diperlukan perannya akan sangat sulit mengembangkan permaianan, kecuali intelijen yang memiliki imajinasi, yaitu imajinasi politik yang tinggi, sehingga mampu membuka perpektif-perspektif baru dalam menjalankan tugasnya.

Sejak awal intelijen Indonesai memang didominasi kelompok militer, sejak dari perintisnya Kol. Zulkifli Lubis, Sutopo Juwono, Yoga Sugama hingga sekarang ini, maka tampilnya As'ad sebagai seorang intelejen dari kalangan sipil dalam tradisi intelijen di Indonesia ini sebuah kelainan. Selama beberapa tahun ia menjadi Wakil ketua, walaupun beberapa kali ketuanya ganti, ia masih tetap pada posisinya, dan tidak bisa naik, karena stausnya sebagai seorang intelejen sipil. Walaupun memiliki prestasi dan cukup disegani di dalam kalangan intelijen internasional, tetapi Kepala Intelijen dari kalangan sipil belum ada pressedennya di Indonesia.

Kalau tahun 1950-an di masa demokrasi parlementer beberapa tokoh sipil seperti Amir Sjarifuddin dan Sultan hamengkubuwono bisa menjadi menteri pertahanan, Sehingga ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden masih bisa mengangkat orang sipil seperti Juwono Sudarsono, atau Mahfud MD sebagai menteri pertahanan. Mengikiuti keberanian Gus Dur mengangkat Panglima TNI dari luar angkatan darat, yaitu dara Angkatan Laut Laksamana Widodo. Tradisi yang pengangkatan Menhan dari sipil yang dirintis Gus Dur dengan penuh keberanian itu dilanjutkan oleh Presiden Megawati dan Susilo Bambang Yudoyono. Kelihatannya untuk menampilkan intelejin Sipil menjadi Kepala BIN memang dibutuhkan keberanian politik untuk mendobrak tradisi intelijen Indonesia, yang belum ada presedennya untuk menciptakan tradisi baru intelejen sipil seperti di negara maju lainnya.

NU adalah organisasi sosial keagamaan yang bersifat moderat dan toleran, tidak hanya toleran pada agama, lain tetapi juga toleran terhadap perbedaan pendapat. Sikap toleran ini memang telah tertanam secara luas dalam sistem pendidikan pesantren yang menghargai perbedaan pendapat. Kalau umumnya ormas Islam memiliki satu mazhab. Sementara NU merupakan satu satunya organisasi yang menyatakan memegang salah satu dari mazhab empat. Padahal masing-masing mazhab itu saling berbeda, apalagi di tangan pengikutnya perbedaan itu sedemikian tajam. Tetapi semuanya diakomodir oleh NU. Tidak hanya itu tarekat yang jumlahnya ratusan yang saling bertentangan, bahkan tidak jarang saling menyesatkan itu ditampung oleh NU setelah diberi status muktabaroh. Tampilnya NU dengan demikian mampu merukunkan, bukan membungkam tetapi mewadahi terjadinya berbagai perbedaan pendapat.

Dengan spectrum aliran dan pemikiran yang demikian beragam itu, maka yang terjadi adalah dinamika pemikiran, ketika masing masing kelompok berusaha meletakkan pemaduan ataupun pemilahan pemikiran. Seringkali orang melihat ini sebagai sebuah ketegangan atau perpecahan padahal merupakan sebuah dinamika dalam memberikan hujjah (argumen) dan bayyinah (klarifikasi). Demikian menurut KH Idham Cholid saat para pengemat melihat dinamika NU sebagai perpecahan. Dinamika pemikiran inilah yang menarik perhatian para pengamat sehingga banyak melakukan kajian pada NU.

Walaupun NU banyak dikaji, tetapi pada umumnya kajian dilakukan oleh para ilmuwan, tetapi baru kali ini NU dikaji oleh As'ad Ali Said seorang intelijen dari Badan Intelijen Negara (BIN). Dan anehnya yang dikaji bukan gerakan sosial atau politiknya tetapi justeru gerakan pemikirannya. Tidak mudah mengkaji gerakan pemikiran dalam NU, sebab NU memiliki tradisi keilmuan tersendiri yang tidak mudah dimengerti kelompok lain. Karena itu tidak ada sarjana yang mengkaji gerakan pemikiran ini karena tidak mampu menerobos. Tidak hanya kesulitan menghadapi bahasa terutama bahasa Arab klasik, atau melacak referensinya yang sudah sedemikian langka, tetapi penulis juga akan kesulitan dalam memahami berbagai tradisi yang melingkupinya, serta berbagai terminology yang khas, serta metode yang khas pula.

Buku ini terdiri dari tujuh bab, yang menguraikan masalah dasar-dasar tradisi keilmuan NU atau pesantren, kemudian membicarakan masalah reformasi pemikiran yang terjadi di NU, serta membuat pemetaan gerakan pemikiran yang berkembang di NU. Yang lebih menarik satu bab khusus dalam buku ini membicarakan perkembangan neoliberalisme di dunia. Termasuk pengaruhnya di kalangan LSM di Indonesia tidak terkecuali LSM yang berada dalam NU, sehingga NU menjadi agen neoliberal, sebagaimana dibahas panjang lebar dalam buku ini. Bahkan berbagai lembaga dana internasional yang mengucurkan dananya pada organisasi dan LSM di lingkungan NU seperti, The Asia Foundation, Ford Foundation (AS), AIDAB (Australia), Cordaid (Belanda) beserta seluruh lembaga NU yang menrima bantuannya (hal. 141-149). Padahal lebih luas dari itu misalnya lembaga yang juga masuk seperti USAID, Soros Foundation, Frederich Nauman Stiftung, AUSAID, Oxfam, Japan Foundatioan dan sebagainya. Ini dibuktikan dengan masuknya berbagai aliran dana dari kelompok neoliberal ke dalam lembaga-lembaga yang ada di NU masuk pula berbagai agenda neoliberal. Sebenarnya hal yang sama juga terjadi di organisasi Islam yang lain seperti Muhammadiyah dan lain sebagainya. Buku ini sengaja diberi pengantar oleh pimpinan tertinggi NU (Rais Aam) KH Sahal Mahfudz, seolah memberi legitimasi dan kekuatan moral bagi peredaran buku ini, sehingga layak dibaca, layak dipercaya di kalangan NU dan kaum santri.

Perkembangan NU yang dinamis ini menjadikan NU sebagai organisasi yang paling depan dalam pengembangan pemikiran, karena selain menguasai khazanah keilmuan klasik yang menjadi sumber keilmuan Islam, yang hal ini tidak lagi cukup dikuasai oleh komunitas Islam yang lain. Maka kalangan NU juga cukup menguasasi tradisi keilmuan Barat, baik filsafat ilmu sosial dan humaniora. Ini yang merupakan amunisi baru bagi gerakan NU. Sebenarnya tradisi ini juga pernah dikembangkan dalam gerakan NU awal, Kiai Wahid Hasyim, Saifuddin Zuhri, Muhammad Ilyas, sangat menguasasi bahasa-bahasa Barat dan menguasai filsafat barat terutama teori politiknya. Dan yang khas lagi mereka sangat memahami musik klasik Barat.

Kalau kalangan NU muda sekarang ini mengembangkan pemikiran yang dinamis dan terbuka, itu sebenarnya telah ada presedennya sebagaimana dilakukan para ulama terdahulu, sejak Wahid Hasyim itu, dan terus berkembang pada generasi selanjutnya seperti Subchan ZE, Mahbub Djunaidi, Cholid Mawardi hingga Abdurrahman Wahid. Di era 1980 hingga 1990-an diaspopra pemikiran dan kader NU telah sedemikian luas, sehingga cukup mewarnai pemikiran di negeri ini. Semua perkembangan ini cukup dijelaskan dalam buku ini, sehingga orang tidak melihat perkembangan pemikiran NU dan gerakan sosialnya itu sebagai suatu yang ahistoris. Sebaliknya telah melekat dalam sejarah pertumbuhan NU itu sendiri.

Pertualangan pemikiran NU baik ke Timur tengah maupun ke barat, tidak menjadikan komunitas ini menjadi kearab-araban atau kebarat-baratan, tetapi semakin mengukuhkan keindonesiaan mereka dan kerakyatan mereka. Dengan demikian maka bisa dimengerti kalau NU menjadi organisasi yang sangat Nasionalis. Paham kebangsaan ini bukan bertolak dari pengalaman Barat, tetapi lahir dari rasa kecintaan dan apresiasinya terhadap nilai-nilai budaya lokal, sehingga cara beragamanya, cara berpolitiknya penuh dengan warna lokal. Pertahanan pada orisinalitas dan lokalitas itu menjadikan NU sering dituduh konservatif bahkan tradisional, tetapi sejarah membuktikan ketika organisasi lain yang mengkalim diri modern, yang sama-sama lahir semasa zaman kebangkitan nasional di tahun 1920-an, hanya NU yang tetap berkembang dan semakin besar. Sementara organisasi seusia lainnya tidak sedikit yang sudah hilang dari peredaran sejarah. Ini potensi besar yang diabakan banyak orang.

Bagi sistem liberal apalagi sistem global sikap NU itu menjadi ancaman, atau sedikitnya penghambat bagi liberalisme dan globalisme. Tetapi bagi mereka yang peduli terhadap integritas dan keutuhan bangsa maka posisi NU menjadi sangat penting. Dalam sejarah hampir keseluruhan komunitas Islam pernah terlibat dalam pemberontakan, tetapi NU selalu setia membela Negara dan menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan. Posisi NU ketika terjadi pemilahan antara Islam dan nasionalis, NU bukan berada dalam posisi tengah yakni Islam sekaligus nasionalis, maka NU bisa menjadi mediator dalam mengatasi peredaman ketegangan semacam itu.

Kalau posisi politik NU semacam itu maka penulisan buku ini tidak hanya merupakan simpati penulis pada komunitasnya, tetapi sekaligus merupakan pemanfaatan NU sebagai faktor penting dalam bela Negara dan jaga Negara. Walaupun langkah ini tidak sedikit akan mengalami kesulitan. Karena intelijen tidak boleh berpolitik, ia harus menjadi aparat Negara yang netral, murni dan obyektif, negara. Sekali berpolitik ia akan terjebak pada sektarianisme kelompok, apalagi dalam suasana multi partai seperti sekarang ini, tarikan kelompok akan semakin kuat. Pimpinan intelejen yang tangguh dan memiliki integritas yang mampu mengatasi tarikan itu, sehingga kesetiaan pada Negara tidak diberikan pada kelompok atau bahkan Negara lain seperti dalam sistem liberal, tetapi benar-benar untuk keamanan rakyat dan negara sendiri.