Risalah Redaksi

Arab Saudi, Iran, dan Perebutan Pengaruh Kawasan

Jumat, 8 Januari 2016 | 14:31 WIB

Dunia Muslim kembali menerima kabar buruk dengan meningkatnya ketegangan antara Saudi Arabia dan Iran setelah insiden hukuman mati atas ulama Syiah Al-Nimri yang kemudian direspon dengan pengrusakan kedutaan besar Saudi Arabia di Teheran. Selanjutnya, kedua kedua negara dan sekutu pendukungnya saling bereaksi atas tindakan tersebut. <>

Tentu saja, persoalan ini semakin menambah deretan persoalan yang sudah membelit Timur Tengah. Penderitaan rakyat seolah-olah tiada habisnya. Upaya penyelesaian persoalan juga masih menggunakan cara yang sama, yaitu dengan kekuatan bersenjata dan kekerasan. Satu cara kuno yang tampaknya kini sudah semakin tidak relevan. Apalagi, semakin canggihnya senjata membuat daya rusak yang ditimbulkan dari kekerasan tersebut semakin besar. Peradaban yang dibangun berabad-abad bisa hancur dalam waktu singkat. 

Arab Saudi dan Iran merupakan dua negera berpengaruh. Arab Saudi tentu menjadi pusat kegiatan ritual Islam karena disitulah sejarah Islam dimulai dan berkembang di sana. Setiap tahun, jutaan umat Islam menuju dua masjid suci, yaitu Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah untuk menjalankan haji dan umrah. Dengan sumber minyaknya, Saudi Arabia juga menjadi kekuatan energi yang menentukan maju mundurnya perekonomian dunia. 

Iran adalah kelanjutan dari kerajaan kuno Persia yang menjadi bagian dari sejarah perkembangan peradaban manusia. Banyak intelektual Muslim lahir dari sini sejak zaman awal Islam sampai dengan era kini. Negara ini sedikit dari di Timur Tengah yang sudah menganut sistem demokrasi yang sudah berjalan dengan baik disamping Turki. Demokrasi ini pula yang tampaknya menimbulkan kekhawatiran di Timur Tengah yang sebagian masih berbentuk kerajaan yang takut digulingkan atau turun pengaruhnya. 

Dengan menegaskan diri sebagai Muslim Syiah, Iran berusaha mengembangkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah, terutama di daerah-daerah dengan mayoritas penduduk penganut Syiah. Upaya ini mendapat perlawanan dari kelompok Sunni yang juga memiliki dominasi di beberapa negara di Timur Tengah. Bisa dikatakan, konflik yang terjadi di kawasan merupakan bagian dari proxy war antara dua negara besar tersebut. Di belakangnya, masih ada kekuatan lebih besar yang terlibat, yaitu Amerika Serikat dan Rusia. Konflik di Irak dan Suriah yang melibatkan ISIS merupakan bagian dari pertarungan kelompok besar tersebut. Demikian pula, konflik yang baru-baru ini terjadi di Yaman. Hukuman mati dan respon balik yang diberikan tak lepas dari perebutan pengaruh Saudi Arabia dan Iran. 

Sayangnya, bukan berusaha mendamaikan, beberapa negara tetangga cenderung merapat ke salah satu kelompok yang sedang bersitegang ini karena ketergantungan atas berbagai sumber daya. Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebagai wadah bersatunya negara Muslim seolah tak berdaya. Pendekatan diplomatik seharusnya menjadi solusi atas berbagai permasalahan. Dan sebaiknya mereka tidak melibatkan negara non-Muslim untuk terlibat dalam masalah ini karena mereka juga memiliki kepentingan lain. Indonesia dan negara-negara Muslim di Asia bisa mengambil peran sebagai mediator. Bisa juga melibatkan diplomasi people to people atas persoalan politik tersebut. 

Nahdlatul Ulama dalam beberapa tahun terakhir telah ikut berperan aktif mengundang ulama dari berbagai aliran keagamaan. Jika diantara para ulama sudah dekat dan saling memahami, mereka bisa menjadi jembatan bagi umat atas berbagai persoalan yang dihadapi. Mereka bisa menyampaikan pesan akan pentingnya toleransi dan sikap moderat sehingga diantara para penganut aliran tidak dengan mudah diadu domba untuk kepentingan tertentu. Pendekatan politik seringkali sarat dengan berbagai kepentingan, yang kadang malah tidak menyelesaikan masalah.

Persaingan untuk membangun pengaruh merupakan sesuatu yang alamiah sehingga wajar jika Saudi dan Iran ingin menjadi yang paling berpengaruh, tetapi perlu ada perubahan bentuk persaingan. Sudah saatnya persaingan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia di masing-masing negara Muslim, bukan dengan menghancurkan dan membuat penderitaan. Berapa banyak uang yang sudah dihabiskan untuk membeli senjata oleh kedua belah pihak dan berapa banyak bangunan yang hancur karena senjata tersebut. Bersaing secara sehat akan membuat Muslim maju dan memberi kontribusi pula terhadap peradaban manusia di dunia secara umum.

Kita bisa mencontoh pengalaman Jepang yang luluh lantak setelah kalah dalam Perang Dunia II, tetapi kemudian bangkit melalui kerja keras. Produk-produk teknologinya menguasai dunia. Hal yang sama dilakukan oleh Korea Selatan yang tak henti-hentinya menimba ilmu dan bekerja keras untuk mengalahkan rival sekaligus tetangganya, Jepang yang sempat menjajahnya. Kini, gelombang Korea (Korean Wave) telah menguasai dunia. Pola inilah yang seharusnya dilakukan oleh negara-negara Muslim, bukan unjuk gigi hanya dengan senjata. Ini akan menjadi solusi menang-menang (win-win solusion) bagi semua pihak. (Mukafi Niam)