Risalah Redaksi

Beban Rakyat Semakin Berat

Jumat, 20 Januari 2006 | 08:16 WIB

Meskipun rencana pemerintah mengimpor beras diveto oleh DPR, tetapi impor masih terus berlangsung, sehingga akan sangat merugikan petani Indonesia. Tetapi pemerintah lebih memihak para eksportir dan mafia beras, soalnya kalau Indonesia tidak mengimpor beras maka cadangan beras dunia akan menumpuk. Maka harus dijual baik secara legal maupun ilegal. Maka di situlah mafia beras bermain dengan segala cara dan hasilnya impor beras tersebut dan kalau tidak bisa lalu menyelundupkan ke negara kaya penduduk.

Dengan banjirnya beras impor, petani tidak mampu bersaing, sehingga mereka merugi dan jatuh miskin. Tampaknya pemerintah juga tidak mau kehilangan keuntungan, setelah rakyat ditekan dengan menaikkan harga BBM, yang mengakibatkan lumpuhnya produktivitas, dan merosotnya daya beli. Dalam kondisi demikian masih akan dihantam lagi dengan kenaikan tarif listrik yang besarannya 80 hingga 100 persen.

<>

Inilah merkantilisme. Negara berdagang pada rakyatnya. Rakyat bukan warga negara yang memiliki hak dan martabat, tetapi segerombolan konsumen. Ini bisa dimengerti sebab pada dasarnya pemerintah bukan milik rakyat, melainkan telah menjadi wakil kepentingan negara asing yang dikomando oleh IMF atau Bank Dunia dan lembaga sejenis lainnya.

Pada zaman VOC, Belanda berhasil mengsisap perekonomian rakyat, sehingga seluruh sektor ekonomi, baik ekspor, impor dan pedagang eceran dikuasai Belanda. Semuanya berjalan efektif karena VOC yang hanya beberapa gelintir itu ditopang oleh seluruh birokrasi pribumi, baik para raja, maupun para pamong praja. Mereka bergandengan tangan dengan pemerintah menghisap kekayaan rakyat dan bangsanya sendiri, dengan mendapat keuntungan dan berbagai macam gelar.

Maka, sekarang situasinya tidak jauh berbeda dengan zaman VOC. Sekarang ini para pejabat menindas dan menghisap habis-habisan dana rakyat, dengan cara menaikkan tarif semua perusahaan publik yang menjadi hajat hidup orang banyak, maka pengelola menjadi sangat kaya dengan penghiapan tersebut. Hak rakyat untuk mendapatkan kekayaan negara disebut sebagai subsidi, sementara IMF dan lembaga internasional yang tidak lebih merupakan neo-VOC terus menerus menekankaan agar liberalisasi di semua sektor kehidupan diberlakukan agar para kapitalis lebih bebas lagi menghisap rakyat.

Dan pemerintah sangat taat pada anjuran neo-VOC itu, atas nama kemajuan dan pergaulan internasional, tidak peduli rakyat sendiri tenggelam dalam kemiskinan. Karena perusahaan negara telah dikuasi VOC baru yang datang hanya untuk mencari keuntungan, yang tidak ada rasa pengabdian atau layanan, maka bila terjadi kesalahan pada rakyat, misalnya terlambat membayar, dia akan segera diputus. Dieksekusi. Sementara ketika perusahaann itu ketika masih dikuasai bangsa sendiri, selalu ada toleransi, agar warga negara bisa melunasi utangnya, barang satu sampai tiga bulan. Neo-VOC tidak mengenal kasihan. Sehari terlambat. Dieksekusi.

Demokrasi yang dianggap sebagai senjata rakyat melawan ketidakadilan dan monopoli hanya isapan jempol. Namun demikian Demokrasi terus dinyanyikan di berbagai kesempatan dengan suara merdu. Sementara seluruh hasil proses demokrasi, baik itu pemilihan esksekutif atau legislatif. Bekerjasama memperkaya diri dan menindas rakyat. Sekali lagi atas nama memenuhi kemajuan sesuai pergaulan global, pasar bebas. Entoh demikian demokrasi yang terlanjur menjadi agama baru itu terus disenandungkan sebagai sebuah harapan. Sementara kelompok penghisap membangun panggung di mana-mana untuk menyenandungkan demokrasi. Sebab dengan demokrasi itulah kepentingan imperialis bisa dimasukkan. Sementara rakyat hanya akan menerima limbah demokrasi itu.

Para elit politik maupun elit intelektual masih terpaku pada doktrin demokrasi, sehingga juga mengalami kebuntuan. Demokrasi sebagai konsep telah buntu.Sementara mereka menjadi buta terhadap kemungkinan lain yang terbuka lebar. Kepentingan diri sendiri yang terlalu besar. Pengabaian kepentingan rakyat sudah terlalu jauh. Kehilangan nurani. Kehilangan kreativitas adalah salah satu produknya. Maka mengikuti agenda bangsa lain lebih menguntungkan secara materi. Di sini rakyat mesti mencari jalannya sendiri. Sebab tidak ada lembaga baik politik, sosial dan lainnya yang peduli pada nasib rakyat.

Sementara dalam pemilu nanti, rakyat dengan mudah dibujuk dan disuap dengan sedikit uang, lalu memilih pimpinan yang sama karakter dan kualitasnya. Sementara wakil dan pimpinannya kembali tidak akan peduli lagi terhadapnya, terbukti seluruh produk hukum perundang-undangan yang mereka rumuskan tidak peduli terhadap keprihatinan rakyat. Maka hasilnya adalah keruntuhan sebuah negara. Hal itu terbukti seluruh aset negara telah dikeruk para pengusaha, pejabat dan politisi. Demikian juga kekayaan negara dalam bentuk alam seperti tambang lautan dan hutan semua dijarah, sehingga mengakibatkan bencana sosial dan bencana alam yang parah. Semuanya ini perlu dijadikan bahan refleksi untuk menyusul agenda