Buku berjudul Menjerat Gus Dur membuka tabir tentang proses penjatuhan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari kursi presiden pada tahun 2001 oleh sekelompok aktor politik ambisius yang ingin berkuasa dengan segala cara. Buku ini penting untuk meluruskan sejarah bahwa Gus Dur sengaja dijatuhkan, bukan karena beliau tidak kompeten dalam menjalankan perannya sebagai presiden. Terdapat upaya-upaya yang sistematis mulai dari mengganggu kerja-kerja pemerintah, membuat situasi keamanan tidak stabil, menggerakkan demonstrasi, hingga menyebarkan opini publik di media dengan pesan yang negatif tentang Gus Dur. Semuanya dilakukan untuk meruntuhkan legitimasinya sebagai presiden.
Terdapat dua motif yang dilakukan, yaitu untuk mengembalikan pundi-pundi kekayaan yang mereka nikmati selama kekuasaan Orde Baru, tetapi kemudian terlepas setelah reformasi; dan ini hanya dapat dilakukan jika mereka kembali memegang tampuk kekuasaan. Para aktor ini menggunakan pengalamannya melengserkan Soeharto dari kekuasaannya untuk menjatuhkan Gus Dur.
Gus Dur akhirnya harus turun dari kekuasaannya, tetapi tidak semua agenda mereka berhasil. Kini para pelaku sudah turun dari panggung kekuasaannya. Tinggal beberapa orang, sekalipun sudah berusia senja, tetap memiliki ambisi politik tinggi dengan terlibat dalam kontestasi pilpres, yang itu pun mengalami kegagalan. Pengaruh yang mereka miliki pun sudah hilang. Namun sejarah kini mencatat mereka dengan daftar hitam sebagai orang-orang ambisius yang ingin merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Pelajaran paling penting dari penjatuhan Gus Dur adalah jangan sampai hal tersebut terulang kembali pada pemimpin Indonesia sesudahnya. Salah satunya dengan memperbaiki sistem pemerintahan agar tidak mudah dibajak oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Risiko yang harus ditanggung oleh 270 juta rakyat Indonesia terlalu besar dibandingkan dengan pertarungan para elite politik yang berebut kuasa. Perbaikan ini harus terus dilakukan sesuai dengan perkembangan masyarakat yang terus berubah seiring dengan peralihan zaman.
Perjalanan pemerintahan di Indonesia yang dimulai sejak kemerdekaannya pada 1945 tidak sepenuhnya berjalan mulus. Model demokrasi parlementer yang diadopsi di awal kemerdekaan menyebabkan umur pemerintahan yang berumur pendek karena seringnya mosi tidak percaya yang dilakukan oleh anggota parlemen. Lalu muncul sistem presidensial dengan posisi presiden yang kuat serta kekuasaan yang besar. Namun ini menyebabkan presiden berkuasa terlalu lama dari yang seharusnya karena tidak ada aturan pembatasan kekuasaan. Soekarno berkuasa selama 22 tahun sedangkan Soeharto berkuasa selama 32 tahun.
Dari pengalaman tersebut, bangsa Indonesia belajar dari negara-negara yang telah memiliki sistem pemerintahan yang mapan, yang pergantian kekuasaannya berlangsung dengan mulus, yang pemerintahannya dikelola dengan mengedepankan asas transparansi dan akuntabilitas. Kini presiden tidak lagi dapat diturunkan oleh MPR hanya dengan menggelar Sidang Istimewa sebagaimana terjadi pada Gus Dur. Tuduhan atas kesalahan harus dapat dibuktikan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Hal ini mengurangi potensi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh parlemen. Harus terdapat mekanisme hukum terlebih dahulu sebelum keputusan politik.
UUD 1945 hasil amandemen juga membatasi kekuasaan presiden maksimal selama dua periode. Hal ini membuat proses pergantian kekuasaan berlangsung secara teratur. Sistem memaksa mereka untuk turun dari kekuasaan maksimal selama dua periode. Dengan demikian, aturan ini memberi kesempatan kepada siapa pun yang berminat untuk berkuasa melalui proses pemilu yang diselenggarakan secara periodik setiap lima tahun sekali.
Namun, potensi penyalahgunaan kekuasaan tetap saja terbuka. Persekutuan antara eksekutif dan legislatif untuk menggolkan UU atau kebijakan tertentu yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat bisa saja muncul. Presiden, anggota parlemen, partai politik atau aktor-aktor politik lainnya tetaplah individu yang memiliki agenda pribadi yang tidak selalu selaras dengan kepentingan rakyat. Peristiwa demo besar-besaran yang terjadi pada masa akhir persidangan DPR periode 2014-2019 untuk mencegah supaya sejumlah UU yang tidak dikehendaki rakyat tidak jadi disahkan menjadi cerminan bahwa pengawasan harus tetap dilakukan kepada para wakil rakyat.
Masyarakat sipil yang kuat menjadi modal bahwa penyelenggaraan negara dikontrol dengan baik. Organisasi kemasyarakatan seperti NU dapat menjadi pengontrol pemerintahan karena ormas bukanlah partai politik yang menempatkan diri dalam posisi koalisi, yang selalu mendukung kebijakan pemerintah atau oposisi yang biasanya selalu mengkritik kebijakan pemerintah. NU akan mendukung kebijakan pemerintah jika dirasa hal tersebut baik untuk rakyat, dan di sisi lain, akan menentangnya jika merugikan rakyat. NU tidak memiliki beban untuk menyatakan dukungan atau kritikan.
Islam mengajarkan bahwa kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus dijaga dengan baik. Kekuasaan hanya sementara yang akan digantikan oleh orang lain di masa mendatang. Mereka yang menyalahgunakan kekuasaan, seolah-olah menjadi milik pribadi selamanya atau melakukan perebutan kekuasaan dengan cara yang tidak benar, akan dicatat oleh sejarah sebagai para pecundang. Orang-orang yang mengudeta Gus Dur akan dicatat sejarah sebagai figur bereputasi buruk. Ini akan menjadi pelajaran kita bersama untuk tidak melakukan kesalahan yang sama di masa mendatang. (Achmad Mukafi Niam)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
2
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
3
Khutbah Jumat: Mari Bangkitkan Semangat Mempelajari Ilmu Agama
4
Komnas Haji: Pengurangan Petugas Haji 2025 Jadi Tantangan dan Titik Krusial
5
Keputusan Libur Ramadhan Menunggu Surat Edaran Lintas Kementerian
6
Ketum PBNU: NU Berdiri untuk Bangun Peradaban melalui Pendidikan dan Keluarga
Terkini
Lihat Semua