Risalah Redaksi

Berharap Wakil Rakyat yang Aspiratif

Jumat, 4 Oktober 2019 | 14:30 WIB

Berharap Wakil Rakyat yang Aspiratif

Anggota DPR yang baru dilantik perlu berjuang untuk mengembalikan citra positifnya dalam menjalankan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan. (Ilustrasi: NU Online)

Anggota DPR RI dan DPRD seluruh Indonesia telah dilantik. Wajah-wajah ceria dalam pelantikan tersebut  muncul dalam berbagai platform media sosial. Tak gampang memang untuk bisa berhasil menduduki posisi terhormat sebagai wakil rakyat. Hanya ada 575 orang yang mewakili suara dari 265-an juta penduduk Indonesia. Tapi yang lebih sulit lagi adalah menjaga amanah yang telah dipercayakan  rakyat.
 
Sejumlah survei menunjukkan rendahnya kepuasan publik terhadap kinerja DPR. Salah satunya, yang dilakukan oleh Alvara Research Center pada awal 2018 lalu menunjukkan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja DPR hanya 56.8 persen. Lembaga negara dengan kinerja tertinggi menurut survei ini adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI dengan nilai 90,7 persen dan selanjutnya Komisi Pemberantasan Korupsi (81,9%). Sejumlah survei yang diselenggarakan selama bertahun-tahun menunjukkan tak adanya perubahan citra DPR.   
 
Publik bersikap kritis atas perilaku sejumlah anggota DPR yang tak pantas. Foto-foto anggota dewan yang tertidur saat sidang, tingkat kehadiran dan produktivitas pembuatan UU yang rendah, sejumlah UU kontroversial, UU atau pasal yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, termasuk di antaranya sejumlah anggota dewan yang tersangkut korupsi, ikut berkontribusi terhadap citra negatif lembaga ini.  
 
Masyarakat Indonesia semakin terdidik, dari sisi ekonomi kesejahteraannya semakin meningkat, dan saluran untuk mengekspresikan diri semakin terbuka. Kesadaran bahwa orang-orang yang duduk di parlemen merupakan wakil yang menyuarakan aspirasi mereka semakin meningkat. Jika para anggota dewan tidak mampu menangkap suara nurani rakyat, maka akan timbul kekecewaan yang besar. 
 
Fenomena pemilihan anggota DPR yang transaksional, yaitu rakyat hanya mau memilih orang-orang yang bersedia memberikan uang tertentu menunjukkan bahwa mereka tidak lagi percaya pada anggota dewan. “Daripada aspirasinya tidak bisa diperjuangkan, lebih baik mendapatkan uang ala kadarnya saat pemilihan.” Begitulah pikiran yang muncul di kalangan rakyat yang kecewa terhadap para wakilnya. Akhirnya biaya pemilihan menjadi mahal dan mereka yang terpilih berusaha dengan segala cara agar bisa balik modal. Lingkaran setan tercipta dari proses ini. 
 
Semangat baru setelah dilantik ini sudah seharusnya digunakan untuk merefleksikan apa-apa yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan kinerjanya selama lima tahun mendatang. Sikap pesimis yang ditunjukkan oleh sebagian anggota masyarakat dapat menjadi pemacu bahwa kali ini, kami lebih baik dari DPR yang sebelum-sebelumnya.
 
Dalam hal ini, para pimpinan DPR sangat menentukan langkah dan selanjutnya, kinerja yang akan dicapai oleh lembaga legislatif ini. Puan Maharani sebagai ketua DPR, yang merupakan kader dari partai dengan perolehan suara terbesar, sangat menentukan apa yang akan terjadi di masa mendatang, termasuk prioritas kerja-kerja yang akan dilakukan. 
 
Terdapat tiga fungsi DPR yaitu legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Produktivitas UU yang dihasilkan yang rendah menjadi persoalan. Dari sekian banyak RUU, hanya sedikit yang berhasil digolkan. Belum lagi jika berbicara terkait dengan kualitas UU seperti ketidaksinkronan antara UU yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini DPR RI periode 2014-2019 jauh lebih sedikit menghasilkan UU dibandingkan dengan periode 2009-2014. Data yang dirilis oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menunjukkan DPR 2014-2019 sedangkan DPR periode sebelumnya mengesahkan 125 RUU. 
 
Fungsi penganggaran penting terkait dengan prioritas alokasi anggaran negara. Apakah rakyat mayoritas menjadi perhatian utama atau anggaran hanya menguntungkan kelompok elit tertentu. Pengaturan subsidi bidang tertentu harus seizin DPR, besarnya anggaran layanan-layanan publik (public service obligation) juga tergantung politik anggaran dari DPR. Rencana kenaikan iuran BPJS atau barang-barang lain yang disubsidi pemerintah juga harus mendapat persetujuan DPR. Membabi buta menolak kenaikan juga tindakan kurang bijak karena biaya operasional berbagai macam hal naik setiap tahun, tetapi kenaikan yang tidak memperhitungkan kemampuan rakyat juga tidak tepat.
 
Pada fungsi pengawasan, DPR memastikan pelaksanaan UU, kebijakan pemerintah, dan APBN. Untuk menjalankan beragam fungsi ini, DPR memiliki tiga hak yang meliputi, hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat. Masih menurut Formappi, banyak temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tidak ditindaklanjuti oleh DPR. 
 
Tak mudah menjalankan semua fungsi dan peran tersebut. Sebagai lembaga politik, DPR harus mampu mengakomodasi berbagai kepentingan yang seringkali bertentangan. Mencari titik temu yang memuaskan banyak pihak merupakan seni yang harus mereka miliki. Tapi seharusnya bukan masalah karena mereka adalah orang-orang istimewa dengan kapasitas istimewa yang terpilih mewakili jutaan rakyat. Hanya orang dengan kapasitas tertentu yang layak duduk di dalamnya. Jika banyak orang yang tidak layak tetapi mendapatkan posisi istimewa ini, maka berarti perlu perbaikan dalam sistem rekrutmen para wakil rakyat. 
 
Bagi para anggota DPR berlatar belakang NU yang tersebar di berbagai partai politik, menjadi tugas mereka untuk memperjuangkan aspirasi warga NU. Dalam isu-isu tertentu, pihak di luar komunitas mungkin kurang memahami arti penting aspek tertentu, misalnya terkait dengan  pesantren. UU Pesantren telah berhasil digolkan agar sistem pendidikan ini mendapat pengakuan dan perhatian dari negara. Tanpa adanya anggota DPR yang memahami isu tersebut dengan baik dan memperjuangkannya, persoalan pesantren tak akan mendapatkan perhatian. 
 
Masih banyak persoalan lain yang perlu mendapatkan dukungan, yang menyangkut masyarakat yang menjadi basis NU yang sebenarnya juga menjadi persoalan bangsa Indonesia secara umum. Isu ketimpangan sosial yang lebar dengan sekelompok elit yang menguasai sebagian besar aset sementara sebagian besar rakyat hanya menguasai proporsi aset yang kecil, misalnya, perlu diperhatikan agar bagaimana regulasi-regulasi yang pro keadilan dan pro rakyat dimunculkan. (Achmad Mukafi Niam)