Risalah Redaksi

Berikhtiar Memilih Pemimpin Terbaik untuk Kejayaan Indonesia

Ahad, 14 April 2019 | 08:30 WIB

Pada Rabu, 17 April 2019, Indonesia akan menyelenggarakan pemilu presiden dan pemilu legislatif. Ini merupakan titik akhir dari kampanye yang telah berlangsung selama beberapa waktu, yang berlangsung dengan ketat dan suasana yang panas dengan beragam retorika yang dilakukan oleh para kandidat atau tim pendukungnya. Pilpres kali ini mengulang pertarungan pada 2014 antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang kali ini didampingi oleh KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno. 

Setiap orang tentu sudah memiliki preferensi calon terbaik yang akan dipilih berdasarkan rekam jejak atau visi misi yang mereka sampaikan dalam kampanye. Perbedaan dukungan menyebabkan hubungan keluarga atau pertemanan menjadi renggang ketika kampanye menyentuh hal-hal yang sensitif seperti persoalan agama. Jangan sampai persaudaraan dan pertemanan yang kita bangun rusak gara-gara urusan pilpres.  

Ketika kita membuka grup atau akun media sosial, dengan mudah dapat kita temui unggahan yang mendiskreditkan kandidat lain. Tak jarang, debat kusir antarpendukung militan menyebabkan seluruh anggota grup tidak nyaman dengan perilaku beberapa orang tersebut. Banyak yang berharap pemilu segera berlangsung sehingga ketenangan kembali sebagaimana semula.

Di sisi lain, ada pula orang-orang yang cuek dengan pemilu. Tak peduli siapa yang terpilih karena selama ini gonta-ganti presiden, tetapi nasibnya tetap sama. Sebagian lagi mengamati situasi tetapi merasa calon-calon yang ada kurang memenuhi kriteria idealnya dan akhirnya lebih memilih golput. 

Yang menjadi keprihatinan bersama adalah maraknya politik uang. Praktik ini sudah berlangsung lama dan sejauh ini masih saja berjalan tanpa ada solusi yang memadai untuk menghindarinya. Baru-baru ini KPK bahkan menangkap salah seorang anggota DPR RI yang ternyata sudah menyiapkan sejumlah uang dalam amplop agar orang memilihnya menjadi anggota DPR periode selanjutnya. Kesadaran bahwa pemimpin yang membeli suara kemudian akan berusaha mengembalikan modal politiknya dengan melakukan beragam cara, termasuk melalui korupsi belum tumbuh secara baik di masyarakat. Toh, rakyat juga yang akhirnya menanggung akibatnya dari terpilihnya pemimpin yang tidak berkualitas, yang terpilih bukan karena kapasitasnya, tetapi karena membeli suara. 

Lembaga-lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP dipertaruhkan kredibilitasnya dengan memastikan bahwa proses pemilu berlangsung dengan jujur dan adil. Sayangnya, ada sejumlah upaya untuk mendelegitimasi kerja-kerja yang mereka lakukan. Sejumlah hoaks seperti tujuh kontainer surat sudah tercoblos, server KPU sudah diatur untuk memenangkan kandidat tertentu, 17.5 juta data bermasalah, dan lainnya. Ini merupakan upaya untuk meruntuhkan kepercayaan kepada mereka sehingga rakyat akan turun ke jalan. Akibatnya, timbul kekacauan. Masyarakat dapat membantu melakukan proses pengawalan pemilu dengan sejumlah cara, seperti membantu mengunggah data di kanal kawalpemilu.org atau partisipasi Ansor yang akan menjaga semua TPS agar pemilu berlangsung dengan baik. 

Kita meyakini bahwa sebagian besar warga negara Indonesia adalah orang baik-baik yang menginginkan kedamaian. Namun demikian, segala kemungkinan harus diantisipasi. Satu-dua orang yang melakukan segala cara untuk meraih kemenangan dapat menimbulkan masalah besar terhadap kredibilitas hasil pemilu dan keberlangsungan penyelenggaraan negara di masa mendatang.

Kemenangan dan kekalahan merupakan hal yang normal dalam sebuah kontestasi. Yang nantinya menang, tentunya tidak boleh jumawa sedangkan yang kalah, harus mengevaluasi diri atas penyebab kekalahannya. Pemilu berputar setiap lima tahun. Mereka yang menang dalam satu periode belum tentu menang lagi pada periode selanjutnya. Masyarakat memiliki kearifan dalam hal ini dengan mengatakan bahwa dunia berputar. Kadang roda di bawah, kadang di atas.

Rakyat Indonesia sudah semakin matang dalam berdemokrasi. Ini tentu buah dari pengalaman panjang pemilu yang sudah beberapa kali dijalani. Pascareformasi, Indonesia sudah menyelenggarakan pemilu nasional selama empat kali yang dimulai pada 1999. Kontestasi 2019 adalah yang ke-5. Belum lagi jika dihitung dengan pilkada di tingkat provinsi dan kabupaten kota.  Ada banyak sekali pelajaran yang kita peroleh dari setiap penyelenggaraan pemilu yang kemudian terakumulasi menjadi pengetahuan bersama yang membuat kita semakin matang menghadapi peristiwa lima tahunan ini.

Pemilu dilaksanakan untuk menghasilkan pemimpin bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk melayani kelompok yang menang saja. Mereka yang mendapatkan kemenangan tentunya harus merangkul semua kelompok untuk bersama-sama membangun bangsa. Untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Sebagai Muslim, selain usaha-usaha lahiriah, kita harus berdoa dan melakukan upaya-upaya batinian lain agar kita mendapatkan pilihan terbaik dan agar hajatan besar bangsa Indonesia ini berlangsung dengan aman dan damai. Kita sudah berijtihad bahwa pilihan kita adalah yang terbaik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi apa yang terlihat baik di mata kita belum tentu baik di mata Allah. Tugas kita sebagai manusia adalah mengupayakan yang terbaik. Setelah itu, kita serahkan kepada Allah. Dengan demikian, kita memiliki kerendahan hati untuk menerima hasil yang ada. (Achmad Mukafi Niam)