Risalah Redaksi

Catatan Kongres Kebudayan ke-V

Senin, 27 Oktober 2003 | 07:46 WIB

Orang berpandangan bahwa setelah gagalnya pendekatan politik untuk menyelesaikan persoalan bangsa dewasa ini, akhirnya orang berharap bahwa persoalan besar ini hanya bisa dikaji dan dicari jalan keluarnya melalui pendekatan kebudayaan. Karena itu orang sangat berharap pada Kongres Kebudayaan 2003 di Bukit Tinggi itu, sebagai jawaban.

Dalam kenyataannya banyak pihak mulai ragu terhadap kompetensi kongres tersebut dalam menggarap tema-tema besar itu. Soalnya sejak persiapan tidak pernah dilalui gagasan apa yang hendak digarap dalam kongres yang berharga 4 Milyar itu. Masyarakat dan media menyambut dingin perhelatan itu, tidak ada masalah yang di perbincangkan publik mengenai kebudayaan

<>

Ditengah bangsa yang sedang mengalami disorientasi pemikiran, disintegrasi sosial, dan degradasi moral ini, semestinya para budayawan bisa mendiagnosis persoalan besar yang sedang dekaden itu, apa penyebabnya, sehingga kemudian dicari solusinya. Akibat dari disorientasi dan degradasi moral itu bangsa ini merosot dari bangsa yang terhormat menjadi bangsa yang tidak dihormati.

Hal itu terjadi memang karena ketika mengalami dissorientasi, maka semua penyimpangan, baik yang bersifat intelektual dan moral bisa terjadi, akibatnya bangsa kita tidak memiliki daya cipta yang tinggi, hanya mampu meniru tidak mampu menciptakan sendiri sehingga mulai kelembagaan dan tata kebudayaannya ditopang oleh gelombang globalisasi.

Persoalan yang diakibatkan globalisasi dan tuntutan keras terhadap aspirasi lokalisme juga belum dijawab oleh para budayawan kita. Itu penting karena dari situ akan terumuskan sosok budaya nasional yang sesungguhnya. Sebaliknya masyarakat begitu mudahnya terkecoh oleh propaganda globalisme, bahwa prinsip nasionalisme atau kebangsaan harus dilenyapkan karena batasan itu akan menghambat gerak masyarakat.

Akhirnya masyarakat mulai memudarkan nilai kebudayaannya dan menjadi epigon budaya penjajah, akhirnya tidak ada lagi kepedulian terhadap rakyat senasib dan sebangsa. Justeru yang berkembang hanya egoisme. Maka sekarang ini apa yang disebut kepentingan bersama atau national interest itu tidak ada, yang ada tinggal private interest, karena itu tidak ada lagi platform bersama, sehingga masyarakat terus cekcok memperebutkan aset negara untuk kepentingan pribadi bukan negara.

Semua problem ini tidak digarap oleh kongres Kebudayaan ke-V, hal itu terjadi karena tampaknya para budayawan yang terlibat bukan sebagai solusi malahan part of problem (bagian dari pesoalan) itu sendiri. Mereka tidak bisa keluar dari situasi ini, karena itu sangat aneh sebuah kongres tidak merumuskan persoalan dasar bangsa.

Maka yang muncul persoalan bangsa yang besar dijawab dengan mendirikan lembaga kebudayaan, tentu itu bukan solusi, bahkan bisa menjadi masalah. karena nanti akan mengurus kepengurusan pembangunan gedung dan pengadaan peralatan. Padahal seharusnya bisa langsung ke action, misalnya dengan mengadakan program pengkajian dan pemberdayaan.

Rupanya pandangan kebudayaan para budayawan belum berubah, yakni hanya mereka yang menjadi pemikir kebudayaan. Sementara para praktisi kebudayaan, seperti aktivis sosial, aktivis ormas tidak dilibatkan, termasuk kaum intelektual, akhirnya hanya didominasi oleh kaum sekuler.

Dengan cara pandang dan sikap semacam itu, kebudayaan tercerabut dari basis sosial, basis ekonomi dan basis lingkungan padahal hancurnya basis-basis itulah yang mengakibatkan hancurnya kebuadayaan kita.(Abdul Muni'm DZ)