Risalah Redaksi

Cerdaslah dalam Bermedia Sosial!

Jumat, 9 Desember 2016 | 02:30 WIB

Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid baru-baru ini harus melakukan klarifikasi ke publik terkait dengan pernyataannya perihal kontroversi shalat Jumat di jalanan yang diplintir kemudian menjadi viral dan disebarluaskan oleh media-media pendukung aksi jumatan di jalanan. Gus Sholah menjelaskan, shalat Jumat di jalanan hukumnya “boleh jika masjid sudah tidak bisa menampung jamaah”. Dalam berita pertama, dibuat seolah-olah Gus Sholah setuju dengan shalat Jumat di jalanan tanpa adanya prasyarat lainnya.

Selanjutnya sejumlah orang harus menyampaikan permintaan maaf kepada KH Musthofa Bisri atas kata-kata tidak sopan menanggapi penyataan Gus Mus yang berpendapat bahwa shalat Jumat di jalanan merupakan bid’ah besar. Orang-orang tersebut, menyampaikan ketidaksetujuannya dengan kata-kata yang kasar atau bahkan dengan cacian. Berbeda pendapat merupakan hal yang biasa, tetapi hal tersebut harus disampaikan dengan argumen yang santun, kepada siapa pun, bukan hanya kepada seorang kiai yang dihormati.

Dua hal tersebut menjadi contoh dari hiruk-pikuk dunia media sosial. Kini tiada hari tanpa terkoneksi media sosial seiring dengan semakin canggihnya teknologi dan semakin mudahnya akses internet. Bagi generasi millenial, yaitu anak muda yang lahir antara tahun 1980-2000, media sosial menjadi ajang untuk menunjukkan eksistensi dan aktualisasi dirinya. Sayangnya, generasi ini juga kurang memiliki sifat kritis. Melihat sesuatu hanya dari permukaan  sehingga gampang termakan oleh pernyataan-pernyataan provokatif yang belum tentu kebenarannya. Jika ada informasi yang mereka sesuai dengan keyakinan mereka, dengan secepat kilat, dibagikan di grup-grup yang mereka ikuti dan dari satu grup, disebarkan ke grup lainnya sehingga menjadi viral. Tetapi jika ada pernyataan yang tidak sesuai, dengan cepat pula mereka memberi komentar pedas atau bahkan cacian tanpa berpikir panjang.

Sifat media sosial yang impersonal membuat para pelakunya dengan gampang terprovokasi mengeluarkan penyataan-pernyataan bernada kebencian ketika ada pihak lain yang tidak sependapat dengannya. Seorang kiai terhormat atau intelektual kawakan dengan mudahnya dibantah oleh remaja tanggung yang belum memiliki kapasitas keilmuan memadai, tetapi merasa perlu berkomentar demi alasan membela agama atau keyakinannya.

Sejatinya, media sosial sangat bermanfaat sebagai ajang silaturahim di dunia maya. Kita tahu kabar kerabat, teman, atau sekadar kenalan melalui status yang mereka bikin di media sosial. Grup-grup yang dibentuk juga menjadi sarana yang sangat mudah untuk melakukan koordinasi, entah itu urusan pekerjaan, komunitas, atau sekedar menjaga komunikasi antar teman yang sudah berjauhan secara fisik. Media sosial juga memudahkan kita membagi tautan yang kita anggap penting diketahui oleh pihak lain. Hal ini berbeda dengan media cetak tradisional yang memiliki jangkauan sirkulasi terbatas dan lebih lambat dalam merespon sebuah isu.

Di samping sisi positif tersebut, juga harus diperhatikan orang-orang yang ingin memanfaatkan sosial media sebagai ajang untuk menyebarkan berita palsu (hoax), menyebarkan kebencian, atau melakukan provokasi. Di sinilah pentingnya kita untuk cerdas dalam menggunakan media sosial. Para penyebar berita bohong sangat paham bahwa pengguna medsos akan membagi kiriman yang disukainya, meskipun hal tersebut belum tentu benar. Apalagi jika status yang dibuat terkait dengan keyakinan agama yang memiliki tingkat emosional yang sangat tinggi. Jika agama dinodai, maka sisi emosional dari banyak orang akan muncul untuk melakukan pembelaan, salah satunya dengan membagi kiriman yang mendukung atau mengapresiasi penggalangan dukungan atau opini untuk membela agama.

Di sinilah pentingnya kita melakukan tabayyun atau konfirmasi terhadap berita-berita tersebut. Belum tentu semua berita yang dikirimkan benar dan sekalipun benar, harus dilihat dulu apakah ada manfaatnya untuk membagi berita tersebut atau bahkan menimbulkan masalah bagi publik. Kelompok-kelompok garis keras, berusaha memanfaatkan keberadaan medsos ini untuk mengkampanyekan eksistensi dirinya. Hal ini terbukti dengan keberhasilan ISIS dalam merekrut militan-militan muda untuk bersedia bertempur di medan perang. Banyak diantaranya direkrut melalui medsos.

Banyak pula berita-berita palsu yang ingin mendiskreditkan NU secara institusional, terkait dengan posisi NU sebagai Islam moderat yang menentang kelompok radikal, ketika NU menjaga kebinekaan, ketika NU menjaga NKRI, dan saat kepentingan-kepentingan kelompok tertentu bertentangan dengan kepentingan NU. Kelompok yang tidak suka dengan NU ini, berusaha membuat kebingungan atau memecah belah umat. Kelompok tersebut, meskipun merasa dirinya paling islami atau merasa paling membela Islam tetapi akhlaknya dalam dunia maya sangat buruk. Pada hal-hal yang sifatnya khilafiyah berteriak dengan keras dengan penghakiman bid’ah atas amalan agama yang tidak mereka setujui, tapi di sisi lain, mereka menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai.  

Kewaspadaan tersebut harus ditingkatkan mengingat adanya analisis bahwa kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat belakangan ini salah satunya karena faktor tersebarnya berita-berita palsu sehingga banyak orang mendukungnya. Dalam hal seperti ini, strategi ini mungkin dengan sengaja akan dipakai di seluruh dunia untuk memenangkan pertarungan politik atau hal-hal lain. Jika hal tersebut tidak diatur lebih lanjut, maka masyarakat secara umum akan menjadi korban. Bagi publik sendiri, pengajaran soal literasi digital merupakan hal yang mutlak dilakukan.   

Media sosial merupakan cara baru bersosialisasi dan berkomunikasi melalui dunia digital. Sebagai sebuah hal baru, tentu banyak hal yang harus ditata aturannya dan disempurnakan. Dan ini menjadi tugas bersama agar dunia maya bisa menjadi ruang interaksi yang nyaman dan bermartabat bagi semua pihak. Pemerintah telah membuat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai panduan hukum. Kalangan agamawan harus terus mengingatkan prinsip tabayyun, penghormatan kepada orang lain atau keyakinan lain. Orangtua, harus memandu anaknya untuk berinternet sehat. Semua pemangku kepentingan memiliki kontribusi atas terciptanya dunia maya  yang semakin beradab. (Mukafi Niam)