Risalah Redaksi

Islam Kekanak-kanakan

Senin, 19 September 2005 | 08:56 WIB

Citra Islam sebagai agama perdamaian dipertaruhkan belakangan ini, baik dengan adanya isu kekerasan maupun berbagai sabotase yang dilakukan. Adakalanya dikerjakan atas dorongan keyakinan dan adapula yang dilakukan atas dorongan bahkan provokasi kelompok lain, sebagai umpan untuk ditumpas. Berbagai peristiwa berdarah telah muncul dari provokasi seperti itu, tetapi kelompok Islam itu terus bergerak dengan tradisi kekerasanya.<>

Sementara itu  di sisi lain juga muncul kelompok yang seolah memperjuangkan Islam sebagai agama demokrat, humanis, tetapi kemudian agenda tersebut dijalankan dengan melakukan berbagai serangan, tidak hanya terhadap kelompok Islam garis keras, tetapi serangan juga diarahkan pada doktrin agama seperti Qur'an dan Sunnah serta ajaran para ulama, dengan alasan tidak demokratis tidak sesuai dengan hak asasi manusia.

Kalau kelompok pertama tampil sebagai pembela Islam lalu melakukan serangan kepada siapa saja yanag dianggap keislamannya berbeda dengan yang mereka pahami. Karena merek a menganggap hanya keislamannya yang benar, sementara yang lain salah, karena itu boleh disirnakan. Dan dalam mengahadapi susuatu yang dianggap menyimpang atau maksiat, mereka memilih menggunakan jalan kekerasan, seperti penggerebekan dan penyerbuan. Tidak peduli yang diserbu itu tempat maksiat atau tempat ibadah agama atau mazhaab lain. Dengan sikapnya itu mereka dicap sebagai Islam fundamentalis.

Sementara kelompok yang berusaha melakukan demokratisasi dan demokratisasi dalam beragama, yang dikelan dengan Islam liberal itu melakukan berbagai tindakan yang berusaha melakukan demokratisasi dan bahkan privatisasi agama, sambil menyerang kelompok Islam yang lain, terutama kelompok Islam fundamentalis, yang dianggap sebagai biang kerusuhan.


Konflik antara antar keduanya semakin memanas, sebab kedua kelompok kanan dan sama-sama ekstrem itu memiliki backing yang sama sama kuat. Kelompok liberal didukung berbagai lembaga dana dari Barat, sementara kelompok garis keras mendapatkan dukungan baik dari timur tengah maupun dari kelompok bersenjata setempat. Sesat menyesatkan antara keduanya terjadi dengan gencar, bahkan belakangan dilanjutkan dengan penyerbuan.


Sikap ekstrem yang diambil keduanya memang mencerminkan sikap kekanak-kanakan, yang satu terlalu sensitive dan emosional membela keyakinan keaagamaannya,  semantara yang lain terlalu emosional dan kekanak-kanakan membela demokrasi yang mereka yakini, sehingga semua aspek, termasuk syariat harus dirasionalisasi, didemokratisasi dan diprivatisasi, tanpa harus ada batas tanpa ada pelanggaran atau tatanan. Sementara kelompok fundamentalis berusaha menerapkan peraturan agama seketat mungkin. Sikap ekstrem keduanya itu muncul tidak lain karena pemahaman keagamaan dan kebudayaan mereka yang relative dangkal, sehingga mereka juga mudah dibombong oleh botoh masing-masing, mereka terbiasa saling menghujat dan memojokkan.

Para ulama dan aktivis NU yang mengutamakan tradisi keberagamaan yang mendalam yang bernuansa sufistik tentu tidak memiliki tradisi ekstrem tersebut. Pandangan tersebut kemudian dikukuhkan kembali dalam Pleno PBNU yang baru lala bahwa NU akat tetap menggunakan pendekatan dakwah dan toleransi dalam menjalankan aktivitas sosial dan keagamaan.  Dan NU tidak akan melepaskan garis moderat tersebut, karena itu memang merupakan misi dasar kelahiran NU.

Langkah itu dimaaksudkan agar kehidupan berbangsa tetap harmonis, sebab konflik yang diakibatkan oleh agama akan sulit dipadamkan, dan NU sejak dini berusaha munculnya konflik tersebut, karena itu NU bersedia mengayomi dan membela pihak-pihak yang tertidas, baik karena alasan agama, ideology ataupun etnis. Dengan demikian NU akan bisa menjaga kehidupan berbangsa ini dengan  saling berdialog secara damai, sehingga masyarakat bangsa dan Negara bisa beraktivitas secara kreatif dan produktif, tidak digangu oleh konflik yang tidak berguna semacam itu. (Abdul Munim DZ)