Risalah Redaksi

Israk-Mikraj sebagai Momentum Pembebasan

Kamis, 1 September 2005 | 14:31 WIB

Agama memang punya fungsi yang berbeda dengan ideologi, kalau ideologi hanya menyangkut soal duniawi, tetapi agama lebih menekankan pada bidang spiritual, walaupun agama juga mempunyai concern sosial, karena itu agama juga bisa diideologikan. Tetapi dimensi spiritual tetap paling khas dari misi agama. Manusia selalu disibukkan dengan urusan duniawi sehari hari, sejak urusan pribadi, keluarga, masyarakat,  dan urusan politik.  


Agama mengatur semua persoalan keseharian seperti itu, tetapi juga mampu mengatasi atau mentransendir diri dari rutinitas yang terjadi. Karena rutininitas semacam itu tidak akan ada selesainya, maka agama memberikan ruang untuk transendensi. Dengan sendensi bisa melakukan perenungan, penyadaran diri dan hal itu dalam Islam dilakukan dalam bentuk sembahyang, dzikir dan sebagainya. Semua prosesi itu dikukuhkan melalui Israk mikraj yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.
Ketika Nabi israk kondisi masyarakat Arab sangatlah tidak beradab, pelanggaran tata krama, etika dan kemusiaan sangat lazim terjadi secara meluas, seolah tak ada jalan untuk menyirnakannya. Dalam suasana penuh hambatan, serba mengalami jalan buntu itu Nabi diisrakkan  dan kemudian dimikrajkan oleh Allah SWT, agar Nabi Muhammad bisa melihat seluruh persoalan secara utuh dan jernih, melihat sebab dari semua akibat, akhirnya Nabi memiliki optmisme bahwa segala kerusakan bisa diatasi asal dijalankan dengan ketekunan, kesabaran dan ketawakallan kepada sang Maha Pencipta.

<>


Dengan terjadinya Israk-Mikraj itu segala keputusasaan bisa dioptimiskan, segala  kebuntuan dapat ditemukan  terobosan, segala kegelapan menemukan jalan terang. Semuanya itu kemudian  menjadi bekal Nabi dalam menegakkan peradaban menghadapi kejahiliyaan yang biadab. Karena itu selanjutnya perjuangan Nabi semakin gigih, dan semakin banyak menmperoleh kemajuan dan semakin menarik simpati orang, terutama kalangan miskin tertindas dan para budak terperas.


Memang pada mulanya agama Islam hanya dipeluk kalangan terbatas, yang terdiri dari kelompok miskin tertindas. Sementara kalangan elite masih sangat menikmati segala hak istimewanya, karena itu mereka mengabaikan seruan Islam, dan masih jauh dari kebenaran dan peradaban. Baru pada akhirnya mereka terpaksa menyesuaikan diri dengan tradisi Islam.
Bagaimanapun Islam sangat peduli pada kelompok dhuafa, sebab agama ini bukan agama Negara atau agama kerajaan, melainkan agama umat kebanyakan, yang tidak mengandalkan kemegahan, tidak mengenal kasta, tetapi lebih mengandalkan kesejahteraan baik pada individu dan masyarakat. Karena itu walaupun agama ini juga dipeluk para elite, tetapi perhatian dan kepeduliannya pada rakyat kecil masih sangat kuat, apalagi seluruh system tersebut dibakukan dalam rukun Islam dan rukun iman.


Tetapi keadaan kita sekarang sangat berbeda, agama Islam yang dulu menawarkan banyak pembebasan baik dari kejahiliahan, dari ketertindasan dari penguasa dan keterperasan dari kaum kaya. Islam saat ini banyak dipeluk kalangan elite tanpa kepedulian sosial, akhirnya mereka menjadi manusia soliter yang hanya mengabdi pada kepentingan sendiri dan keluarganya. Hal itu semua yang mengakibatkan terjadinya kekacauan di negeri ini, di mana hukum tidak bisa ditegakkan, peraturan tidak bisa dilaksanakan, sebab hal; itu dianggap merugikan kepentingan perorangan. Maka kekacauan sangat mewarnai kehidupan kita saat ini dan kalanagan miskin menjadi korbannya.


Dengan semangat dan pelajaran dari Israk-Mikraj seyogyanya kita bisa mengembalikan makna dan fungsi agama, agar mampu mentransedensi keadaan sosial yang kita alami bersama, agar selanjutnya mampu mencarikan jalan keluar dan pemecahan dari kesulitan. Sayangnya kita sering lupa dengan tradisi agama ini, akhirnya kita banyak mencari jalan dan metode ke tempat lain, yang kemudian terbukti gagal menyelesaikan masalah, sebab inti masalahnya tidak dicari di masyarakat sendiri, dan cara penyelesaiannya pun tidak dicari dalam agama sendiri yang sudah diyakini kebenarannya. Sementara resep yang didatangkan dari tradisi lain, selain sering tidak tepat, tetapi bahkan selalu merusak keadaan. Maka dengan Israk Mikraj itulah kita mestinya belajar untuk menyelesaikan beberbagai persoalan yang kita hadapi saat ini. Tidak hanya dengan usaha, tetapi harus tetap disertai doa. (Munim DZ)