Suasana Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini merupakan pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 sekaligus pemanasan kontestasi politik nasional berupa pemilu legislatif dan pemilihan presiden yang akan berlangsung pada 2019. Momen rutin lima tahunan ini menguras banyak energi masyarakat dan memunculkan kerawanan sosial akibat perbedaan dukungan.
Suasana saling serang mulai tampak dan masing-masing pihak mulai menampilkan jargon-jargon untuk mengunggulkan calon yang diusungnya dan di sisi lain, berusaha menjatuhkan calon lawan. Kampanye #2019GantiPresiden termasuk yang cukup masif digalang oleh pendukung partai oposisi yang ingin merebut kuasa. Sementara itu pendukung pemerintahan membanggakan capaian pembangunan infrastruktur yang berjalan di seluruh Indonesia berupa jalan tol, pelabuhan, bandar udara, dan sejumlah sarana dan prasarana dasar lainnya. Dengan sukses seperti ini, harapannya rakyat akan memilih kembali kandidat yang diusung partai berkuasa dalam pemilu mendatang.
Para politisi tahu benar bagaimana mereka memanfaatkan Ramadhan dan Idul Fitri ini untuk melakukan konsolidasi politik guna memantapkan kekuatannya. Setelah selama Ramadhan disibukkan dengan jadwal padat untuk buka puasa bersama, kini pada Lebaran Idul Fitri, halal bihalal menjadi kesibukan baru untuk memastikan dukungan, terutama oleh peserta pilkada serentak yang akan berlangsung pada 27 Juni ini.
Dalam sebuah kontestasi, wajar-wajar saja kita mengunggulkan calon yang kita dukung. Tak ada kecap nomor dua, semuanya mengaku nomor satu sekalipun publik belum tentu menganggapnya sebagai kecap yang bermutu. Dalam kode etik periklanan di Indonesia, kita boleh-boleh saja mengunggulkan produk kita setinggi langit, tetapi kita tidak boleh menjelek-jelekkan produk lawan, apalagi memfitnahnya. Prinsip ini seharusnya juga berlaku dalam etika persaingan politik. Sayangnya, dalam realitas, hal tersebut jauh panggang daripada api. Pengungkapan rekam jejak calon-calon pemimpin juga sangat penting, tetapi harus disampaikan dengan cara yang baik.
Para politisi merupakan orang-orang yang gemar berorasi. Mereka menggunakan panggung untuk menyampaikan ide atau gagasannya. Dalam momen tertentu mereka kesleo lidah yang kemudian secara sengaja menjadi bahan bullying oleh pihak lawan dengan mengerahkan pasukan buzzer media sosialnya. Suasana inilah yang menimbulkan kegaduhan publik yang mengganggu pikiran masyarakat yang terpaksa terpapar oleh hal-hal perdebatan yang tak mereka inginkan. Sebagian besar masyarakat ingin agar aktivitas mereka tidak terganggu oleh hiruk pikuk politik.
Hampir seluruh ruang publik kini telah “terkontaminasi” politik. Pohon-pohon dipasangi banner yang mengampanyekan dukungan terhadap salah satu calon. Ketika kita membuka media sosial untuk berinteraksi dengan teman, paparan terhadap tema-tema politik menghampiri tanpa diundang, yang seringkali membuat kita menjadi emosional atas perdebatan tidak penting atau perilaku yang tidak pantas.
Politik sesungguhnya merupakan seni untuk mengakomodasi kepentingan banyak pihak. Pada masyarakat yang plural, peran seperti ini sangat penting mengingat prioritas dan kepentingan masing-masing pihak berbeda. Para politisi menghubungkan dan berusaha mencari solusi terbaik bagi semua kelompok. Dalam konteks seperti itu politik berperan mencari titik temu kepentingan banyak pihak. Tetapi tak jarang, di balik jargon-jargon kepentingan publik ini, sesungguhnya terdapat agenda kepentingan pribadi yang kental.
Menjadi pertanyaan, mengapa profesi politik yang seharusnya sesuatu yang terhormat menjauh dari sisi idealnya? Bahkan politisi-politisi berbasis agama yang memiliki panduan moral berperilaku tak beda jauh dengan teman-teman mereka yang sekuler?
Jika kita mampu mengurai akar permasalahan ini dan mencari jawaban untuk memperbaiki persoalan, kondisinya akan lebih baik. Dengan membangun sebuah mekanisme bernegara yang baik, orang-orang baik tidak terseret menjadi orang buruk, dan orang yang berpotensi buruk bisa menjadi baik karena sistem memaksanya untuk mengikuti aturan yang baik. Sudah berapa banyak orang baik tertangkap menjadi koruptor karena sistem memaksa mereka untuk berbuat demikian.
Sudah menjadi kebenaran umum bahwa korupsi, kecurangan, atau penyebaran hoaks merupakan hal yang tidak baik. Sayangnya, sekalipun hal tersebut sudah menjadi kesadaran umum, tidak gampang untuk melakukan perubahan. Ada kelompok atau orang-orang tertentu yang mendapatkan keuntungan dari situasi seperti ini. Mereka ingin kondisi ini tetap bertahan agar posisi mereka tetap aman.
Orang-orang baik, tak bisa diam saja karena dengan kediamannya, maka mereka sama saja dengan melanggengkan situasi seperti ini. Kita tidak kekurangan orang baik yang memiliki dedikasi. Yang perlu kita lakukan adalah menciptakan kolaborasi di antara orang-orang baik ini untuk membentuk sebuah kekuatan bersama guna menghasilkan dunia yang lebih baik.
Kini saatnya dalam momen Idul Fitri ini kita tak sekadar bersilaturrahim, bersalam-salaman untuk meminta maaf kepada keluarga, kerabat, dan kolega. Kita harus bergerak memperjuangkan berlakunya nilai-nilai kebaikan untuk mewujudkan situasi yang lebih baik sehingga pada Idul Fitri tahun depan, kondisi lebih baik, dan begitu seterusnya. Kita percepat proses menuju tatanan masyarakat ideal sebagaimana kita cita-citakan bersama. Semakin banyak orang yang terlibat, semakin baik perencanaan yang kita lakukan, insyaallah apa yang kita idealkan akan lebih cepat tercapai. (Achmad Mukafi Niam)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
2
Keputusan Libur Ramadhan Menunggu Surat Edaran Lintas Kementerian
3
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
4
Khutbah Jumat: Mari Bangkitkan Semangat Mempelajari Ilmu Agama
5
Komnas Haji: Pengurangan Petugas Haji 2025 Jadi Tantangan dan Titik Krusial
6
Ketum PBNU: NU Berdiri untuk Bangun Peradaban melalui Pendidikan dan Keluarga
Terkini
Lihat Semua