Jakarta, NU.Online
Seluruh aktivitas pendidikan digerakkan untuk menjadikan manusia lebih beradab, dengan istilah budi luhur, budi pakerti, atau akhlakul karimah. Nilai-nilai itu tidak hanya diwariskan, tapi diajarkan melalui berbagai lembaga pendidikan dari yang non formal seperti keluarga dan lingkungan social, sampai pada yang formal seperti sekolahan, sejak dari TK hingga perguruan tinggi. Maka sekolah ditempatkan sebagai tempat pewarisan dan pengembangan budaya serta peradaban baru.
Dengan status semacam itu, maka orang berpendidikan atau kaum terpelajar mendapat posisi social yang tinggi di masyarakat, karena itu pula mendapatkan posisi yang tinggi di birokrasi kekuasaan, karena disamping memiliki kemampuan teknis, mereka juga diduga memiliki peradaban lebih tinggi, atau lebih beradab, dibanding dengan kaum tidak terpelajar yang dianggap sebagai pekerja kasar, juga dianggap berbudi kasar, berwatak kasar dan sebagainya yang dinilai kurang beradab.
<>Itulah sebabnya seseorang yang berhasil masuk ke sebuah perguruan tinggi lalu ditimang-timang oleh civitas akademika di kampung bahwa mereka sebagai generasi terpilih, atau makhluk istimewa, karena hanya sekian persen warga bangsa ini yang bisa masuk perguruan tinggi tertentu, karena itu mereka kemudian dibiasakan dengan tradisi baru yang lain dengan masyarakat pada umumnya. Saat itulah berbagai inisiasi pengukuhan mahasiswa dilakukan dengan dalih pengenalan kampus, pembentukan mental, pembinaan wawasan dan sebagainya, yang dijalankan dengan sangat disiplin bahkan diwarnai kekerasan, atas nama kemegahan kampus dan keagungan (kemahaan) seorang siswa.
Tradisi itu hanya tepat dilakukan di masa lalau, ketika mahasiswa masih terbatas, dan mereka akan terserap ke dalam lembaga social dan negara yang ada, dan kebetulan mereka berhasil mempertahankan identitas serta nilai-ilai yang ditanamkan, tetapi sekarang ini masuk perguruan tinggi bukan keistimewaan, bukan karena banyak jumlahnya, tetapi juga tidak memberikan nilai lebih yang berarti dibanding yang tidak berpendidikan tingi. Karena itu sudah tidak cocok meminang mahasiswa sebagai warga istimewa, kemudian mendisiplinkan secara khusus, seolah bukan warga masyarakat lagi. Apalagi masyarakat tahu mau menjadi apa mereka setelah selesai, terbukti mereka juga menjadi manusia biasa, berperilaku seperti masyarakat pada umumnya baik secara moral maupun intelektual, juga secara ekonomi mereka juga bukan yang paling beruntung.
Pengistimewaan status, yang diekspresikan melalui pendisiplinan yang penuh kekerasan itu, menjadikan lembaga pendidikan bukannya beradab tetapi menjadi biadab, karena itu masyarakat protes keras ketika sebuah perguruan tinggi melakukan pembantaian terhadap mahasiswanya, atas nama kedisiplinan palsu, yang sebenarnya merupakan ekspresi dari nafsu ingin berkuasa.
Perilaku semacam itu yang harus dihapus dari system pendidikan kita, dengan dalih apapun, prestasi, akreditasi, semuanya tidak boleh dijalankan secara paksa, bentuk partisipatori dalam mengkelola pendidikan mesti diterapkan, agar semua pihak bisa menentukan apa yang layak dan pantas dikembangkan di sebuah lembaga pendidikan. Sering kali kelihatan bahwa system pendidikan termasuk yang tetinggi sekalipun, masih sangat tertinggal dengan perkembangan di luar kampus, tidak hanya bidang budaya, ekonomi maupun politik, tetapi perkembangan bidang akademikpun sedah sangat tertinggal, sehingga tidak ada yang istimewa dari perguruan tinggi, sehingga tidak pantas lagi mengklaim paling rasional dan paling responsive serta paling mengerti persoalan.
Kekerasan yang muncul dalam proses pendidikan di STPDN maupun di UI, sebenarnya hanya merupakan puncak kecil dari sebuah gunung es. Maka sebelum meledak menjadi sumber kriminalitas, tradisi perguruan tinggi yang sangat tidak beradab itu perlu dimusnahkan, karena itu sisa-sisa feodalisme lama, yang sangat tidak relevan, yang hanya bermimpi dengan kebesaran palsu tentang kehebatan seorang anggota civitas academika, yang direproduksi secara terus-menerus untuk mengelabui masyarakat, sementara secara akademik mereka tidak pernah membuat kreativitas apapun.
Selain itu tradisi akademik dalam pengukuhan seorang sarjana sangatlah diwarnai dengan sikap megalomania, bagaimana prosesi akademik yang dilakukan oleh para senat perguruan tinggi, dengan jubah almamater yang disertai dengan upacara protokoler yang berlebihan itu, yang digunakan untuk menggambarkan kebesaran dan kehebatan seorang sarjana prosesi itu, saat ini terlihat sangat menggelikan. Ini kelihatannya hanya sebagai kompensasi atas ketidakberdayaannya menghadapi dunia luar, lalu tetap mempertahankan seremoni kuno, yang menyimbolkan sisa-sisa kekuasaan akademis kaum literati.
Sementara mereka gagal menciptakan tatanan beradab karena mereka juga gagal menjadikan dirinya sebagai manusia beradab. Karena itu diperlukan koreksi total keseluruhan penyelenggaraan pendikan, sejak dari pra TK hingga pasca sarjana, agar lembaga pendidikan tidak terbuai dal
Terpopuler
1
Ini Amalan Jumat Terakhir Bulan Rajab, Bisa Jaga Keberkahan Rezeki Sepanjang Tahun
2
Khutbah Jumat: Jagalah Shalat, Maka Allah Akan Menjagamu
3
Khutbah Jumat: Mengenal Baitul Ma’mur dan Hikmah Terbesar Isra’ dan Mi’raj
4
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
5
7 Penerima Penghargaan Pesantren dalam Malam Anugerah Pendidikan NU
6
Khutbah Jumat: 4 Hikmah Pemilihan Baitul Maqdis sebagai Tempat Isra Nabi Muhammad SAW
Terkini
Lihat Semua