Risalah Redaksi

Masa Penuh Cobaan

Jumat, 14 Oktober 2005 | 12:34 WIB

Beberapa tahun terakhir ini umat Islam menghadapi berbagai cobaan berupa malapetaka, baik yang diakibatkan oleh alam maupun oleh tangan manusia seperti kekerasan dan perang. Irak sebuah negeri yang aman damai, tiba-tiba diserbu oleh tentara sekutu pimpinan AS, kini berantakan, menjadi negeri paling kacau dan penuh kekerasan, sehingga umat Islam mengalami ketidakamanan.


Setahun yang lalu gelombang lautan menyapu bersih kota Aceh Darussalam di Nangroe Aceh Darussalam, yang menelan korban hingga 100 ribu orang lebih. Sebuah malapetaka terjadi di propinsi yang sedang gigih berusaha menegakkan syariat Islam, untuk memperoleh perlindungan Allah.Ketika syariat yang dicita-citakan itu belum berdiri malah daerah itu disapu bersih badai, maka sekarang wilayah itu menjadi jarahan berbagai kekuatan asing, dikapling sesuai dengan kepentingan sendiri dengan  mengobrak-abrik tradisi dan tatanan yang ada dengan alasan rekonstruksi. Kini ribuan warga asing dengan dalih menolong, tetapi mengkapling dan menjarah seluruh isi negeri.

<>

Tidak lama berselang beberapa hari yang lalu di tengah orang sedang berpuasa, umat Islam Pakistan dihentak gempa bumi yang menelan korban hingga puluhan ribu jiwa. Hampir tidak ada negeri Islam yang sekarang ini benar-benar aman. Iran misalnya yang kini masih aman, tetapi serbuan musuh dari luar masih terus mengancam negeri para filsuf itu.

Perlu kita renungkan, mengapa akhir-akhir ini negeri Islam menjadi sasaran amuk alam, dan amuk manusia. Ini barangkali ada yang tidak beres dalam diri umat Islam. Ternyata Islam yang menjanjikan kedamaian, malah menuai peperangan, umat Islam yang berharap mendapatkan ampunan malah mendapat murka melalui  bencana alam. Apakah selama ini umat Islam tidak memiliki keakraban dengan Tuhan, keramahan terhadap alam, atau terhadap sesama manusia.


Bagi umat beriman, pasti percaya tidak ada suatu bencana, baik yang berasal dari alam atau dari manusia yang lepas dari campur tangan Tuhan. Kalau memang demikian maka introspeksi merupakan keniscayaan yang harus dilakukan. Hal itu juga sangat mungkin dilakukan, sebab umat Islam memiliki pegangan kitab suci dan hadits Nabi yang penuh dengan petunjuk dan tuntunan, yang layak dijadikan ukuran.


Pasalnya sering musibah itu hanya dianggap sebagai cobaan, bukan siksaan, sehingga setelah itu mereka lengah. Bahkan di tengah bencana itu mereka membuat bencana yang lain, yaitu bertengkar memperebutkan bantuan dengan cara menilep dan memanpulasi. Bila sikap itu terus dijalankan bencana akan terus mengancam.

Mestinya dengan peringatan itu manusia sadar terhadap kekhilafannya, kemudian segera memperbaiki diri, agar malapetaka alam dan manusia tidak lagi terjadi. Melihat kenyataan terakhir ini memang sangat memprihatinkan, bagaimana para pemimpin dengan enaknya menggelapkan dana bantuan untuk orang yang lagi tertimpa musibah, sehingga mereka kekurangan pangan dan obat-obatan, padahal mereka bagian dari masyarakat yang kene musibah, dan mereka adalah orang yang beragama.

Agama akhir-akhir ini tidak lebih hanya sebagai simbol, yang hanya dijalankan di masjid, tetapi di kontor di jalan dan di pertokoan semuanya ditanggalkan. Bila perilaku umat Islam telah a moral seperti itu maka bencana akan selalu menimpanya, karena telah menjauhkan diri dari tuntunan agama dan merusak tuntunan alam. Akhirnya Tuhan dan alam pun murka pada manusia dalam bentuk terjadinya bencana.

Bulan puasa sebagai bulan suci, seyogyanya menjadi bulan renungan, kembali ke tuntunan Ilahi, kembali pada kodrat alami, kembali pada semangat manusiawi. Dari sini umat Islam bisa memulai paradigma hidup baru yang taat kepada agama dan bersahabat dengan alam dan umat manusia. (a. mun’im dz)