Risalah Redaksi

Membangun Solidaritas dalam Menghadapi Bencana

Jumat, 30 Desember 2016 | 07:30 WIB

Membangun Solidaritas dalam Menghadapi Bencana

Para relawan Banser yang tengah puasa Ramadhan membantu evakuasi korban longsor di Purworejo, Juni 2016

Aceh pada awal Desember lalu dilanda gempa, yang menewaskan lebih dari 100 penduduk dan kerusakan harta benda yang sangat besar. Ini untuk kedua kalinya dalam rentang tak terlalu lama Aceh mengelami bencana setelah sebelumnya terkena Tsunami pada Desember 2004. Tak berapa lama kemudian Bima terjadi bencana banjir di Bima. Di tempat yang berbeda, berbagai macam jenis bencana juga terjadi, meskipun dalam skala yang tidak sebesar sebagaimana yang terjadi di Aceh atau di Bima, tetapi perhatian harus tetap diberikan.

Duka Aceh dan bencana-bencana di lokasi lainnya, bukan hanya duka warga setempat, tetapi juga duka bangsa Indonesia, duka Muslim di berbagai penjuru dunia, duka seluruh umat manusia di muka bumi ini. Bencana selalu datang tak diduga. Dengan segera bantuan dari berbagai tempat mengalir bagi korban gempa. Seluruh komponen masyarakat Indonesia bahu-membahu menyumbang sesuai kapasitasnya. Tak jarang, mahasiswa atau aktivis kemanusiaan rela mencari sumbangan dengan membawa kardus di perempatan jalan sekedar untuk membantu sesama yang sedang mengalami musibah.  

Inilah sisi sifat kegotongroyongan yang kini semakin tergerus, berganti dengan sifat-sifat individualis yang mementingkan diri sendiri. Sejatinya umat manusia adalah makhluk sosial yang hidup secara komunal untuk bisa bertahan hidup. Sayangnya, sistem yang berkembang saat ini mengarah atau menempatkan manusia sekedar sebagai faktor produksi, sebagai homo economicus yang serakah dan hanya memikirkan kepentingan dirinya. Bencana, kembali mengingatkan kita bahwa kita tidak bisa menyelesaikan berbagai persoalan secara sendiri-sendiri.

Sebagai umat beragama, bencana memberi pelajaran kepada kita untuk selalu ingat, bahwa kita adalah makhluk yang lemah di hadapan kekuatan alam. Bencana menjadi sarana untuk berefleksi dan melakukan evaluasi atas sikap hidup kita selama ini. Untuk selalu bersikap rendah hati bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang kapan saja bisa menghancurkan manusia. Memporak-porandakan peradaban yang dibangun dengan susah payah. Alam adalah refleksi dari kemahakuasaan Allah dalam mengatur jagat raya yang tertata rapi.

Sebagai negari yang wilayahnya berada dalam lingkaran cincin api, yang secara alamiah merupakan daerah yang rawan terkena bencana gempa bumi, kita harus membiasakan diri dan mengantisipasi secara dini terhadap kemungkinan terjadinya bencana tersebut. Kita bisa belajar dari Jepang, sebuah negara yang rawan bencana, tetapi mereka sejak dini telah mengantisipasi kemungkinan tersebut sehingga risiko terjadinya korban bencana semakin berkurang. Ilmu pengetahuan yang semakin maju memberi kita pelajaran dalam banyak hal bagaimana mengelola bencana dengan lebih baik.

Sayangnya, bangsa Indonesia masih harus banyak belajar bagaimana mengelola bencana. Ibarat siswa yang sedang menghadapi ujian, bangsa Indonesia harus terus-menerus mengulang ujian karena gagal. Bencana yang terjadi di negeri ini, sebagian besar merupakan bencana yang terjadi karena ulah manusia. Jika musim penghujan, banjir selalu terjadi di mana-mana. Saat musim kemarau, kebakaran hutan sudah menjadi rutinitas. Tanah longsor, kecelakaan lalu lintas, kapal yang tenggelam, dan berbagai bencana lainnya merupakan bencana yang faktor dominannya adalah kelalaian manusia dibandingkan dengan faktor alam. Ini adalah “kiamat-kiamat kecil” yang harus dihadapi oleh para korban dan keluarganya. Mereka adalah korban yang belum tentu mendapat perhatian yang memadai dari lingkungan sekitarnya.

Soal-soal upaya mengurangi risiko bencana seperti itu bukanlah soal yang sifatnya individual, tetapi kesadaran bersama dalam memandang bencana dan bagaimana mempersiapkan diri lebih baik. Solidaritas yang sudah berjalan baik perlu dipertahankan. Upaya membangun kemandirian dan harga diri para korban untuk tidak menggantungkan diri kepada pihak luar secara berlebihan juga harus dibangun. Setelah masa-masa kritis lewat, para korban pada akhirnya harus menyiapkan diri sendiri untuk proses pemulihan.

Bukan hanya di tingkat lokal, upaya menjaga bumi agar tetap layak untuk ditinggali manusia tergantung pada kerja sama global. Fenomena perubahan iklim dan pemanasan global telah terjadi dengan konsekuensi terjadinya berbagai bencana yang sebelumnya belum pernah dialami seperti banjir besar, kebakaran hebat. Tidak bisa satu negara secara egois sektor industrinya mengeluarkan emisi karbon sementara yang lain dituntut menurunkan emisi karbonnya. Ini persoalan yang rumit karena menyangkut sektor ekonomi di masing-masing negara yang tentu saja krusial bagi kesejahtaraan penduduknya. Bumi kita adalah titipan dari anak cucu kita, bukan warisan dari nenek moyang kita, yang bisa kita eksploitasi seenaknya. (Mukafi Niam)