Risalah Redaksi

Memberdayakan Madrasah Diniyah Pasca-Perpres Pendidikan Karakter

Jumat, 15 September 2017 | 09:30 WIB

Memberdayakan Madrasah Diniyah Pasca-Perpres Pendidikan Karakter

Ilustrasi: Romzi Ahmad)

Polemik mengenai kebijakan sekolah lima hari sebagaimana tercantum dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 mereda setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Pepres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Poin paling penting bagi warga NU dari perpres tersebut adalah dihilangkannya ketentuan sekolah wajib menyelenggarakan lima hari sekolah dalam seminggu dengan masa belajar delapan jam setiap hari. Ketentuan inilah yang dianggap akan mengancam eksistensi madrasah diniyah yang banyak dikelola oleh Nahdliyin.

Warga NU dan pemangku kepentingan utama madrasah bergembira atas dicabutnya Permendikbud itu. Lalu apakah setelah terbitnya perpres tersebut, madrasah diniyah eksistensinya akan tetap aman? Itulah yang harus dikaji secara mendalam dampaknya baik untuk pengaruh jangka pendek atau jangka panjangnya. Untuk jangka pendek ini, madin terbebas dari risiko tutup akibat siswa di sekolah umum sampai sore. Perpres tersebut juga membuka peluang penguatan madrasah sekaligus menghadapkan madin pada tantangan baru yang mengancam eksistensi madrasah dalam jangka panjang jika pengelola madrasah tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat.

Peluang baru ini adalah adanya dukungan pendanaan dari pemerintah untuk memberdayakan madrasah diniyah yang selama ini dikelola secara mandiri oleh komunitas setempat. Madrasah diniyah merupakan wahana pendidikan karakter yang paling pas yang sekarang digembar-gemborkan pemerintah. Dukungan tersebut tentu akan sangat berarti dalam meningkatkan kualitas madrasah diniyah mengingat untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas, dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai. Sejauh ini, belum jelas bagaimana bentuk pendanaan dan berapa besar jumlah dukungan yang diberikan oleh pemerintah.

Sampai saat ini pendanaan untuk pendidikan keagamaan yang dikelola di bawah Kementerian Agama masih sangat timpang dibandingkan dengan yang dikelola oleh Kemendikbud. Dikeluarkannya perpres dapat dijadikan momentum untuk menyetarakan alokasi dana per siswa pada sekolah yang dikelola oleh dua kementerian tersebut. Jangan sampai, janji mengalokasian bantuan tersebut sekadar pemanis untuk meredam kegelisahan pengelola madrasah diniyah setelah dikecewakan dengan keluarnya permendikbud tersebut.

Ada sejumlah regulasi yang menyebabkan sekolah yang dikelola Kementerian Agama dan madrasah diniyah kesulitan mengakses bantuan dari pemerintah daerah. Hanya pemerintah daerah tertentu saja dengan kemampuan melakukan kreativitas pengelolaan pendanaan yang berani mengalokasikan dana bagi madin. Umumnya pemda hanya bermain aman dan tetap menempatkan madin apa adanya tanpa dukungan pemerintah.

Tantangan baru yang dihadapi adalah diserahkannya ketentuan hari sekolah oleh masing-masing unit pendidikan. Dalam jangka panjang, ini menjadi tantangan berat kerena adanya kecenderungan pemberlakuan sekolah lima hari. Dua provinsi sejauh ini sudah mengaplikasikan sekolah lima hari, yaitu DKI Jakarta dan Jawa Tengah. Dalam jangka panjang, mungkin akan semakin banyak sekolah yang mengikuti kebijakan sekolah lima hari ini. Apalagi jam kerja resmi pemerintah saat ini adalah lima hari kerja dalam seminggu. Orangtua di perkotaan yang bekerja di sektor formal akan memilih sekolah bagi anak-anaknya dengan jumlah hari belajar yang selaras dengan jumlah hari kerja orangtua.

Untuk daerah-daerah yang masih mengandalkan sektor pertanian sebagai basis utama mata pencaharian, enam hari sekolah merupakan pilihan yang sangat rasional dan eksistensi madrasah diniyah sebagaimana yang ada saat ini akan tetap bertahan, tetapi untuk daerah-daerah yang sudah mengandalkan sektor industri dan jasa sebagai mata pencaharian utama, madrasah diniyah perlu melakukan inovasi penyelenggaraannya. Di Jakarta, sebagian madrasah diniyah diselenggarakan pada malam hari, toh hal tersebut tidak banyak menarik minat anak-anak. Setelah seharian sekolah, mereka juga butuh menonton tv atau mengikuti beragam les untuk menunjang minat dan prestasinya di masa depan.

Kecenderungan baru dalam pendidikan Islam adalah integrasi dengan memperbanyak materi-materi keislaman dalam sekolah umum yang dikemas dalam sekolah Islam terpadu yang banyak tumbuh di wilayah perkotaan dengan konsep full day school. Sayangnya kebanyakan sekolah Islam terpadu tersebut tidak dikelola oleh yayasan yang berafiliasi dengan NU sehingga warna keislaman yang diajarkan bukanlah berciri NU. Tentu ini menjadi tantangan bagi dakwah NU bagi generasi muda.

Perubahan adalah sesuatu yang pasti. Adanya dukungan besar dari pemerintah untuk madrasah diniyah bisa menjadi momentum untuk membangun kapasitas dan strategi baru dalam menghadapi perubahan sosial yang mengakibatkan perubahan preferensi masyarakat dalam membekali anak-anaknya dengan ajaran Islam. Sejarah telah membuktikan, yang mampu bertahan adalah mereka yang paling mampu menyesuaikan diri dengan zaman, bukan yang paling kuat, paling cepat, atau paling besar. (Ahmad Mukafi Niam)