Memperhatikan Nasib Pekerja Informal di Tengah Wabah Covid-19
Sabtu, 21 Maret 2020 | 13:30 WIB
Para pekerja informal umumnya menanggung beban ganda: dituduh tak taat imbauan pemerintah dan pendapatan yang terus merosot. (Foto ilustrasi: NU Online/Suwitno)
Achmad Mukafi Niam
Kolomnis
Ketika seruan kerja dari rumah menggema, para ASN, pekerja BUMN, atau perusahaan mapan dapat melaksanakannya dengan baik karena sistem yang baik dan teknologi yang mendukung. Namun para pekerja informal seperti pedagang asongan, ojek daring, buruh harian, dan pekerja lainnya yang menuntut kehadiran fisik di lapangan harus berjuang mencari nafkah di jalanan atau bertemu banyak orang di keramaian. Mereka tidak memiliki banyak pilihan sebagaimana kelas menengah yang menyimpan dana darurat sehingga tetap aman tinggal di rumah atau para pekerja formal yang tetap digaji sekalipun tidak perlu datang ke kantor. Bagi kelompok ini, berhenti bekerja berarti tidak mendapat penghasilan.
Para pekerja informal menghadapi beban ganda. Mereka dituduh tidak mematuhi anjuran tinggal di rumah oleh kelas menengah yang hidupnya tetap mapan sehingga dianggap kelompok yang berisiko menyebarkan virus tersebut padahal mereka tidak memiliki pilihan kecuali harus tetap bekerja untuk mendapatkan uang. Selanjutnya, sekalipun tetap harus bekerja dengan risiko terpapar penyakit, penghasilan harian mereka juga terus menurun.
Tidak seperti kelas menengah yang cepat melakukan protes jika ada kebijakan pemerintah yang merugikan kelompoknya, kelas bawah tidak mampu bersuara atau jika pun bersuara, gaungnya tak terlalu terdengar oleh pengambil kebijakan. Mereka harus mengandalkan dirinya untuk bisa bertahan hidup. Sebagai contoh, para pekerja dengan penghasilan di bawah 16 juta sudah dibebaskan dari pajak penghasilan selama enam bulan. Namun stimulus bagi pekerja informal dan buruh harian serta UMKM sampai sekarang belum diluncurkan. Padahal mereka yang paling merasakan dampak penurunan aktivitas ekonomi.
Dengan demikian, kebijakan yang pro masyarakat miskin yang secara langsung sudah terdampak penghasilannya inilah yang harus segera diluncurkan untuk memastikan kesejahteraan mereka tetap terjaga di tengah tekanan ekonomi yang sangat besar. Dalam situasi darurat seperti ini APBN atau APBD yang sudah disahkan perlu direalokasi ulang dengan prioritas menjaga kondisi ekonomi masyarakat tetap aman. Otoritas moneter juga perlu membuat relaksasi kebijakan seperti penurunan suku bunga pinjaman untuk UMKM atau keringanan kredit yang diambil oleh kelompok bawah.
Kecepatan dan kualitas penanganan Covid-19 di Jakarta yang menjadi episentrum virus ini akan mempengaruhi tingkat persebaran penyakit ini ke daerah lain mengingat Jakarta sebagai pusat aktivitas sosial ekonomi. Orang berbagai daerah berlalu lalang untuk menyelesaikan berbagai urusan. Mereka berpotensi membawa penyakit ini ke daerahnya masing-masing jika penanganan di Jakarta lambat. Jika hal tersebut terjadi, maka dampak dan besaran wabah ini semakin besar. Namun, jika terjadi isolasi Jakarta dengan menghentikan seluruh aktivitas bisnis, dampaknya juga akan dirasakan seluruh penjuru tanah air karena sebagian besar bisnis berpusat di Jakarta. Sebesar 70 persen pergerakan uang yang berada di Jakarta menunjukkan dominasi ekonomi ibu kta ini. Solusi kreatif perlu diciptakan agar virus tersebut tidak tersebar tetapi di sisi lain, aktivitas ekonomi tetap berjalan.
Kegotongroyongan antarwarga masyarakat patut kembali ditingkatkan dengan melibatkan RT atau RW sebagai struktur paling dekat dengan masyarakat untuk mengaturnya. Mereka yang memiliki kemampuan ekonomi berlebih diharapkan dapat memberikan dukungan kepada tetangganya yang mengalami kekurangan. Saat Ramadhan, kegiatan berbagi takjil sangat ramai di seluruh penjuru Tanah Air. Dalam situasi saat ini, gerakan membantu sesama pun sangat layak digalakkan.
Edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait upaya mencegah dan menangani penyakit tersebut perlu terus dilakukan seperti menjalankan pola hidup sehat atau menjaga jarak sosial. Mereka yang rentan menjadi korban meninggal, yaitu orang berusia lanjut atau mengidap penyakit bawaan tertentu perlu lebih hati-hati karena tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.
Dengan memahami siapa saja yang memiliki risiko tinggi terpapar penyakit tersebut, maka akan mengurangi kepanikan dan meningkatkan kehati-hatian bagi mereka yang memiliki peluang besar menjadi korban meninggal. Tes cepat (rapid test) memungkinkan pencegahan dini sehingga orang-orang yang sudah terpapar tapi tidak merasa sakit segera mengisolasi diri dan mencegah penularan ke orang lain yang mengalami kerentanan.
Nahdlatul Ulama telah dan terus melakukan sejumlah langkah untuk membantu masyarakat, baik yang sifatnya lahir maupun batin. Sosialisasi tentang virus ini telah dilakukan kepada warga NU, pembentukan relawan Corona, penyiapan rumah sakit-rumah sakit NU untuk penanganan Covid-19 di daerahnya masing-masing, anjuran melakukan doa dan usaha batin lainnya. Upaya-upaya lain akan terus dilakukan seiring dengan perkembangan penyebaran virus ini.
Covid-19 hanya dapat diselesaikan dengan melibatkan seluruh anak bangsa. Pemerintah berkewajiban mengalokasikan anggaran dan kebijakan lain yang diperlukan serta memastikan keamanan. Masyarakat perlu menjaga kesehatan dan berdisiplin untuk mencegah penyebaran virus ini, sektor bisnis diharapkan memberikan dukungan yang diperlukan dan tidak mengambil keuntungan saat masa-masa sulit. Termasuk lembaga keagamaan membantu menggerakkan, mengarahkan, dan menenangkan masyarakat yang sedang panik. (Achmad Mukafi Niam)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua