Risalah Redaksi

Menegaskan Kembali Politik Kultural

Rabu, 28 September 2005 | 09:41 WIB

Selepas NU dari partai politik pasca kembali ke Khitah 1926, sesungguhnya NU telah kembali menempuh jalur cultural. Politik cultural itu muncul sebagai pengejawantahan dari moral force yang dimilikinya. Dengan massanya yang besar, dengan pengaruhnya yang besar dan dengan kekuatan moralnya yang besar pula, maka sebenarnya NU tidak hanya memiliki kekuatan politik secara cultural, yakni bagaimana bisa mempengaruhi proses perjalanan bangsa ini, tanpa berharap memperoleh kekuasaan. Tetapi dengan kekuatan itu NU dengan sendirinya juga memiliki kekuatan politik formal, untuk meraih kekuasaan.

Kalau kekuatan kedua itu diambil, maka NU akan kehilangan jatidiri sebagai organisasi social keagamaan, karena secara substansial telah berubah menjadi organisasi politik riil. Hal itu sebenarnaya yang dikhawatirkan Rais Aam PBNU KH M. Sahal Mahfudz pada Rapat Pleno PBNU beberapa waktu lalu, sehingga ia menegaskan agar NU tetap memegang perannya dalam menjalankan politik cultural, yaitu agar NU selalu berupaya mempengaruhi proses kemajuan bangsa ini, tanpa berharap imbalan kekuasaan.

<>

Selain itu pernyataan tersebut juga sebagai bentuk penegasan terhadap problem politik nasional dewasa ini, ketika para politisi tidak lagi peduli lagi terhadap nasib bangsa ini, karena masing-masing sibuk mengurusi dirinya sendiri. Sementara negeri ini menghadapi ancaman yang sangat besar. Dari dalam dirongrong oleh para penjahat ekonomi dan para penjahat politik, sementara dari luar diancam berbagai intervensi dan inflitrasi yang sangat gencar dilakukan untuk memporakporandakan keutuhan negeri ini.

Dalam situasi galau semacam ini NU perlu menegaskan kembali komitmennya terhadap keutuhan bangsa ini. Soal Aceh dan soal Irian Barat yang dirongrong keutuhannya, NU tidak terima, dan secara kompak menolak segala bentuk propaganda dan provokasi asing untuk menciptakan instabilitas di sana. Sikap ini diambil NU bukan karena hendak mengambil sikap pro atau kontra dengan kekuasaan, melainkan sejak awal NU ikut aktif membentuk negeri ini. Oleh karena itu mempertahankannya merupakan suatu kewajiban, baik diminta atau tidak, bahkan dihalangi sekalipun NU akan tetap melakukan sebagai sebuah tanggung jawab moral.

Politik cultural memang tidak popular, bahkan beresiko, untuk membela keutuhan republik ini melawan berbagai pemberontakan, atau melawan kampanye negatif dari negara asing,  NU sering dituduh sebagai kelompok oportunis yang mengikuti apa saja kemauan negara. Sikap itu juga sering dianggap NU sebagai organisasi yang chauvinis dan konservatif bahkan dianggap fasis, karena pikiran ini sejalan dengan sikap tentara. Dengan berbagai caci-maki dan nistaan itu NU tetap dengan pendiriannya, karena semuanya dijalankan dengan penuh perhitungan, niat yang lurus untuk membela kemaslahatan bangsa dan rakyat. Itulah rasionalitas politik NU dan rasionalitas politik kultural dalam rangka politik kebangsaan yang dijalankannya.

Sikap kebangsaan NU bahkan telah dikukuhkan dalam khittahnya, sebagai ukhuwah wathoniyah, yang menegaskan pentingnya solidaritas kebangsaan. Visi kebangsaan itu mempunyai dua arah dan tujuan, baik sebagai upaya menjembatani berbagai perbedaan etnik, agama dan cultural yang ada, maupun untuk menghadapi berbagai serangan militer, budaya dan politik dari luar. Karena itu di dalam negeri NU berupaya menjaga harmoni kehidupan antar komponen masyarakat, sementara keluar berusaha menempatkan diri sebagai penekan dan pengawal bangsa ini. Tugas itu terus diemban NU walaupun penuh risiko, termasuk risiko dikecam oleh kawan sendiri, tetapi itu sebuah tugas suci, karena itu tetap dijalankan. (Mun’im DZ)