Risalah Redaksi

Mengapa Politik Kebudayaan

Jumat, 2 Desember 2005 | 03:02 WIB

Selama ini hampir semua orang cenderung memikirkan persoalan politik praktis, yakni bagaimana memengkan perebutan kekuasaan. Tetapi dalam situasi yang terbuka secara politik ini menjadikan sunyi senyap di wilayah kebudayaan, untuk itu orang merasa tidak berguna lagi berpikir soal kebudayaan, apalagi melihat persoalan dari sudut pandang kebudayaan, saat ini dianggap terlalu konseptual, filosofis dan abstrak. Sementara masyarakat memandang semua kehidupan serba kongkret dan jangka pendek, karena itu pendekatan budaya dianggap tidak penting.

Situasi sosial politik dan ekonomi, dengan demikian situasi sosial budaya kita saat ini betapa sangat buruk, merosotnya nilai moral dan terbelakangnya kreativitas bangsa ini, sehingga hampir tidak bisa mengatasi persoalannya sendiri, bahkan yang dilakukan malah usaha memperparah keadaan, semakin korup, semakin culas dan semakin brutal. Kondisi budaya seperti itu tidak bisa dibiarkan, karena itu perlu dilakukan kritik kebudayaan, artinya kritik situasi secara menyeluruh dan mendasar, bahwa kondisi seperti itu secara etis tidak bisa dibiarkan.

<>

Persoalan budaya itulah yang dalam beberapa waktu belakangan ini aktif diperdebatkan dilingkungan Nahdlatul Ulama, hal ini menyahuti seruan Rois Aam dalam Pleno yang baru lalu, bahwa NU harus terus menegakkan politik kebangsaan atau juga disebut politik kultural, yang berusaha menyelesaikan persoalan bangsa secara keseluruhan. Untuk itulah diperlukan politik kebudayaan, yang merupakan gerakan etis untuk memperbaiki keadaan. Dengan demikian padadasarnya politik kebudayaan itu merupakan garis besar haluan Nadlatul Ulama.

Politik kebudyaan itu tidak hanya dibutuhkan dalam melakukan kegiatan politik, atau berseni budaya bagi pimpinan dan warga NU, tetapi politik kebudayaan  juga dibutuhkan sebagai pedoman dalam beraktivitas sosial, melakukan dakwah, termasuk dalam mengembangkan dunia pemikiran. Dengan adanya landasan  budaya, berarti adanya landasan etik yang kuat, dengan demikian diharapkan warga NU akan bisa berpikir dan bertindak konsisten sesuai dengan garis-garis besar haluan NU yang dirumuskan dalam politik kebudyaan tersebut.

Dengan adanya pegangan itu warga Nahdliyin bisa menghindari untuk bersikap dan bertindak secara oportinistik dan pragmatis, sebaliknya bisa bertindak secara ideal dan ideologis, berdasarkan prinsip yang sudah disepakati. Sebab dalam suasana sangat kapitalistik, dan materialistik seperti sekarang ini, tanpa adanya landasan moral tanpa adanya landasan ideologi setiap orang bisa berbuat apa saja, dan akan sangat mudah dibeli dengan materi. Untuk menghindari hal itu dibutuhkan pegangan pokok dalam melakukan gerakan.

Apalagi saat ini bangsa Indonesia sepenuhnya berada dalam cengkeraman imperialisme global yang berwujud kapitalisme. Oleh masyarakat yang pragmatis, materialis dan konsumtif, hal itu dianggap sebagai kewajaran kehidupan modern, mereka mengabaikan bahwa kapitalisme itu telah memiskinkan puluhan juta rakyat Indonesia, dan menyengsarakan ribuan lainnya, karena sifatnya yang ekploitatif dan represif.

Dengan adanya politik kebudayaan yang baru  diharapkan melahirkan kesadaran baru dan moralitas baru, maka diharapkan warga NU dan bangsa ini pada umumnya mampu melakukan penolakan terhadap amoralitas, terhadap konsumerisme, yang merupakan jebakan pihak imperialis. Selanjutnya bisa membangun tradisi baru, yang penuh kemandirian, sehingga bisa mengembalikan martabat bangsa ini di hadapan dirinya sendiri dan dihadapan bangsa yang lain.

Melihat kenyataan itu maka perumusan politik kebudayaan menjadi sangat urgen, apalagi belum ada pihak lain yang secara serius melakukan langkah itu. Sementara bangsa ini sangat memerlukannya. Kalau tdak segera dilakukan bangsa ini akan segera kehilangan jatidirinya secara total, kehilangan kepribadiannya, kalau kepribadian sudah hilang, maka seluruh kekayaannya juga akan hilang, baik kekayaan rohani seperti dunia pemikiran, maupun kekayaan fisik, seperti harta benda sumber alam dan sebagainya.

Tentu saja merumuskan politik kebudayaan bukan mudah dan belum tentu mendapat dukungan luas, sebab pertama langkah tersebut tidak popular, kedua, memang spektrumnya sangat luas, sehingga menjadi pekerjaaan yang amat besar. Tidak hanya butuh dana besar tetapi juga butuh keseriusan yang sangat besar, dan ketabahan yang tak kenal menyerah.

Terlebih lagi akan segera mendapat tantang, baik bagi kelompok pragmatis, dan kedua bagi kelompok imperialis sendiri yang tentu akan merasa terusik eksistensinya, sebab berarti telah muncul ancaman yang bisa dianggap tidak ringan, apalagi muncul dari komunitas besar. Semuanya akan sangat merepotkan gerakan kapitalisme global yang sangat imperialistik itu.Sementara aparat mereka di sini sangat banayak, baik terdiri dari para politisi, militer, birokrat, intelektual hingga aktivis sosial, bahkan tokoh agama.

Mengingat semuanya itu langkah yang penting maka perlu dikerjakan secara serius dan penuh kesungguhan, dan kesabaran. Sebab terutama yang dihadapi bukan musuh dari luar, tetapi tentangan yang sangat berat adalah bagaimana mendayagunakan sumber daya yang telah m