Risalah Redaksi

Meningkatkan Daya Saing dengan Memperkuat Sains

Jumat, 2 Februari 2018 | 07:30 WIB

Gerhana bulan yang berlangsung pada 31 Januari 2018 mendapat perhatian luas dari masyarakat. Nahdlatul Ulama dan sejumlah ormas Islam menganjurkan jamaahnya untuk melaksanakan observasi, shalat gerhana, dan sejumlah amalan terkait. Instansi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah pun menganjurkan pelaksanaan shalat gerhana. Media massa sejak pertengahan Januari 2018 sudah mulai mengupas berbagai aspek gerhana bulan tersebut. Media sosial memungkinkan warnaget membagikan hal-hal yang menarik tentang gerhana itu. Dengan demikian, kesadaran masyarakat untuk menyambut datangnya peristiwa alam ini sangat besar. Hampir semua masjid di Indonesia menyelenggarakan shalat gerhana. 

Gerhana merupakan fenomena alam yang bisa diprediksi berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Zaman dahulu, gerhana dianggap secara mistis dengan penguasa alam yang murka atau dewa-dewi yang meminta sesembahan. Akhirnya, banyak orang menjadi korban karena ketidaktahuan ini. 

Ilmu pengetahuan dan teknologi kini telah mengantarkan manusia menjejakkan kakinya ke bulan. Kini juga sedang berlangsung misi untuk mendaratkan wahana ruang angkasa ke planet Mars dan proyek ambisius untuk menjadikan planet berwarna merah tersebut sebagai koloni manusia selanjutnya ketika Bumi sudah dianggap terlalu padat atau menyimpan potensi bencana. Para ilmuwan juga sedang disibukkan untuk menemukan planet yang kondisinya mirip dengan bumi sehingga layak ditinggali atau berusaha mencari tahu apakah makhluk lain yang hidup di jagad raya ini di luar manusia. Imajinasi kolektif manusia tentang penjelajahan ruang angkasa bisa tergambar dari larisnya film-film fiksi ilmiah yang mengisahkan perjalanan ruang antarplanet atau bahkan antargalaksi.

Semua kemajuan tersebut tidak diperoleh dalam waktu semalam, tetapi hasil dari kerja keras para ilmuwan yang secara tekun berusaha memecahkan rahasia alam, dan kemudian dari waktu ke waktu terus disempurnakan. Para ilmuwan Muslim turut memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang astronomi ini. Kini, terjadi proses percepatan penemuan fenomena alam yang masih menjadi misteri mengingat semakin banyak ilmuwan yang meneliti alam, dan semakin tingginya dukungan dana dari pemerintah atau institusi swasta karena adanya kesadaran akan pentingnya memahami jagad raya secara lebih baik. 

Pengembangan bidang sains juga tercermin dalam pemberian porsi yang tinggi di tingkat pendidikan tingkat dasar sampai pendidikan tinggi di banyak negara. Bidang yang kini mendapat perhatian luas ini disebut STEM (sains, teknologi, engineering, dan matematika). Bangsa-bangsa kini bersaing menjadi yang paling unggul dengan memperkuat pendidikan sains dan matematika di sekolah mereka. Negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan merupakan negara di Asia yang sangat memperhatikan bidang tersebut. Dan keunggulan mereka salah satunya didukung oleh sistem pendidikan sains yang baik ini. 

Sayangnya, bidang tersebut lemah di Indonesia. Indikator PISA yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains menunjukkan kemampuan bangsa Indonesia masih lemah dibandingkan dengan negara lain. Bagi kita, matematika dan sains merupakan momok di sekolah. Hitung-hitungan rumit dan rumusan abstrak yang tak aplikatif dalam kehidupan sehari-hari menjadi alasan untuk tidak memperhatikan bidang ini secara serius, selain sekedar untuk mendapat nilai kelulusan. Matematika dan sains mengajarkan kita bagaimana untuk bisa bernalar dengan baik. Kemampuan dalam bidang ini yang rendah tercermin dari kemampuan bernalar siswa di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan siswa dari negara-negara yang menekankan pembelajaran matematika dan sains.    

Ada banyak persoalan yang bisa diurai terkait lemahnya kemampuan matematika dan sains di lingkungan pendidikan kita. Cara pengajaran yang kurang menarik, guru yang kurang kompeten, kurangnya dukungan pengambil kebijakan, dan masalah lainnya. Toh, ini merupakan tantangan yang harus diatasi jika kita ingin melangkah lebih jauh sejajar dengan bangsa lain yang lebih maju. 

Di tingkat pendidikan tinggi persoalan yang sama masih membelit. Jurusan sosial dan humaniora hingga saat ini masih mendominasi bidang yang ditawarkan seperti manajemen, hukum, dan sosial politik, termasuk jurusan agama sementara jurusan sains dan teknologi jauh lebih sedikit. Akibatnya, kita kekurangan saintis, kekurangan insinyur. Bangsa kita masih jauh dari kontribusi besar penemuan pengetahuan-pengetahuan baru yang membuka tabir rahasia alam.

Tanpa mengusai bidang sains, bangsa Indonesia tidak akan dapat memberikan kontribusi  besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, dan juga menduduki peringkat atas dalam persaingan sebagai sebuah bangsa. Inovasi-inovasi baru yang dibutuhkan untuk meraih kemajuan hanya bisa diraih dengan kepemilikan pengetahuan dan keahlian yang baik. Secara ekonomi kita juga hanya akan menjadi pasar saja. 

Jika kita lihat dalam persepektif umat Islam yang secara umum juga masih lemah dalam bidang sains, maka sebagai sebuah negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, kontribusi kita dalam bidang sains juga akan mencerminkan pencapaian umat Islam secara keseluruhan. Ada 1.6 miliar umat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia saja, ada lebih dari 200 juta umat Islam, tetapi kontribusinya terhadap pengetahuan baru masih sangat kurang. Untuk mengejar ketertinggalan, bukan hal yang gampang. Apalagi untuk masuk dalam jajaran atas pemberi kontribusi pengetahuan. Kita memiliki potensi besar, tinggal bagaimana kita mengelola potensi-potensi yang terserak tersebut. (Achmad Mukafi Niam)