Risalah Redaksi

Merampungkan Langkah Kembali ke Khittah

Jumat, 13 September 2013 | 03:30 WIB

Selain singkronisasi program, penegakan etika organisasi, penataan aset serta beberapa rekomendasi internal dan eksternal, Rapat Pleno PBNU di Wonosobo, Jawa Tengah, 6-8 September lalu membahas dua hal penting lainnya, yakni mekanisme “ahlul halli wal aqdi” dalam pemilihan pucuk pimpinan NU serta penataan struktur organisasi NU di tingkat wilayah, cabang dan wakil cabang.<>

Mekanisme ahlul halli wal aqdi belum dirumuskan sampai ke tingkat teknis pelaksanaan, karena memang baru bisa diputuskan di tingkat permusyawaratan tertinggi NU, Muktamar. Namun setidaknya sudah ada kesepakatan bahwa ahlul halli wal aqdi harus diterapkan kembali sebagai kelanjutan dari langkah “Kembali ke Khitah NU 1926” yang sudah diputuskan pada Muktamar Situbondo 1984.

Pemberlakukan ahlul halli wal aqdi diusulkan dalam sidang komisi organisasi dan komisi rekomendasi pada Rapat Pleno tersebut dan disepakati dalam sidang pleno akhir oleh para peserta Rapat Pleno PBNU yang terdiri dari unsur Mustasyar, Syuriyah, Tanfidziyah, dan a’wan serta para ketua lembaga, lajnah, dan badan otonom NU di tingkat pusat. Mekanisme ahlul halli wal aqdi selanjutnya dirumuskan secara lebih operasional oleh tim khusus di PBNU untuk dibahas dan disahkan dalam Muktamar 2015 nanti. Tim segera mensosialisasikan sistem pemilihan tersebut  kepada pengurus wilayah/cabang sebelum pelaksanaan Muktamar.

Ahlul halli wal aqdi menghendaki pemilihan pucuk pimpinan NU, terutama Rais Aam mapupun Rais Syuriyah di semua tingkatan menggunakan sistem tertutup, tidak dilakukan dengan pemilihan langsung oleh para peserta Muktamar atau Konferensi dengan sistem suara terbanyak. Sistem ini menghendaki pemilihan pimpinan dijalankan dalam prinsip musyawarah di antara para ulama yang arif dan wira’i. Para ulama yang dipilih adalah ulama yang  mentasharufkan seluruh hidupnya hanya untuk mengabdi pada Allah dan kemajuan jam’iyah dan jama’ah.

Dengan diberlakukannya ahlul halli wal aqdi diharapkan akan menghindari “pertandingan” dalam sebuah pemilihan pemimpin NU, menjaga martabat ulama dan muru’ah organisasi dari ketegangan dan konflik serta persaingan terbuka. Kepemimpinan NU akan semakin berwibawa. Pemimpin NU akan ditaati dan disegani sebagai pembimbing dan panutan, sehingga bisa menjangkau dan menggerakkan seluruh struktur.

Sebagai sebuah harakah yang besar, diperlukan kepemimpinan yang  memiliki otoritas serta kewibawaan dalam memberikan bimbingan, panduan serta komando pada seluruh jajaran kepemimpinan organisasi. Dengan demikian kepemimpinan menjadi  efektif dan gerak organisasi menjadi lebih progresif.

Disadari bahwa langkah “Kembali ke Khittah” baru dilaksanakan di tahap mengubah NU dari organisasi politik menjadi organisasi sosial keagamaan. Sementara etos dan etikanya serta mekanisme organisasi NU masih mengikuti pola partai politik, belum kembali seperti ketika organisasi NU sebagai ormas keagamaan pada tahun 1926 hingga 1952. Selain penerapan kembali ahlul halli wal aqdi, langkah kembali ke khitah harus dilanjutkan dengan mengubah secara mendasar struktur organisasi sampai ke tingkat daerah.

Saat ini struktur NU masih sama persis dengan partai politik yang paralel dengan sistem pemerintah, mulai dari pusat, wilayah serta kabupaten dan kecamatan. NU memiliki pengurus pusat (PBNU) kemudian provinsi (PWNU), kabupaten/kota (PCNU) dan Kecamatan (MWCNU), serta desa/kelurahan (Ranting). Padahal persebaran warga dan aktifitas organisasi, harus diakui, tidak merata di berbagai daerah di Indonesia. Bisa dibayangkan, satu kabupaten yang 100 warganya NU akan sama suaranya dalam Muktamar, dengan cabang hanya sedikit warga NU-nya.

Namun kita tidak hanya melihat persoalan dalam konteks pendelegasian semacam itu. Struktur NU yang paralel dengan administrasi pemerintahan itu tidak efektif untuk menjangkau, menjaga, dan melayani warganya. Lagi pula berbeda dengan pemerintah, NU tidak memiliki APBN dan APBD untuk menjalankan program dan memenuhi semua kebutuhan dasar masyarakat.

Rapat Pleno dalam hal ini menginginkan agar struktur NU dikembalikan dari struktur model partai politik yang linier dengan kekuasaan berubah menjadi struktur berbasis warga dan kinerja, seperti struktur NU sebelum tahun 1952.

Demikian seharusnya NU sebagai sebuah jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah, organisasi keagamaan yang bersifat sosial.  (A. Khoirul Anam)