Risalah Redaksi

Pendidikan Murah Masih Mungkin

Senin, 1 Agustus 2005 | 04:38 WIB

Jauh sebelum Indonesia merdeka kalangan aktivis pergerakan telah mempersiapkan bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka agar  menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Untuk mempersiapkan hal itu diselenggarakanlah pendidikan sekolah, yang sebelumnya telah banyak didirikan lembaga pesantren, padepokan dan sebagainya. Saat itu tidak semua orang bisa sekolah, hanya bangsa kulit putih Eropa dan khususnya Belanda. Dari kalangan pribumi hanya  anak para bangsawa, anak para ambtenar yang diizinkan masuk sekolah. Sementara anak rakyat biasa hanya boleh menonton.

Untuk mengatasi hal itu, maka pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara  merintis sekolah untuk rakyat yang diberi nama Taman Siswa, sebagai pendidikan alternatif dari pendidikan Belanda. Dengan tegas dikatakan bahwa pendidikan nasional haruslah dibangun di atas kuburan westerch koloniaal shoolsystem (system pendidikan kolonial barat), dengan semboyan ; tiap rumah jadi perguruan, tiap orang jadi pengajar dengan atau tanpa ordonasi pemerintah. Dengan prinsip itu pendidikan ini tidak hanya bisa dimasuki seluruh lapisan rakyat, tetapi juga mengajarkan materi yang dibutuhkan masyarakat. Tidak hanya bersifat intelektualistik, namun lebih moralistis, untuk membangun karakter bangsa.

<>

Maka tidak aneh kalau para aktivis seperti Soekarno, Hatta, Rajiman, Sutatmo, Soepomo adalah guru yang pernah mengaja di Taman Siswa. Tentu saja mereka mengajar untuk berjuang menyadarkan masyarakat, bukan mencari gaji. Taman Siswa tidak cukup dana untuk itu. Sekolah sendiri dibuat sesederhana mungkin. Dengan peraturan, tidak boleh ada tembok penyekat antar kelas, cukup dengan sekat kayu. Hal itu dimaksudkan sekolah bisa dijadikan kamp penampungan pengungsi, atau bisa digunakan aula untuk rapat umum atau resepsi, sehinga tidak perlu sewa gedung.
 
Selain itu tidak boleh menggunakan bangku yang berpermukaan miring, agar bangku tersebut bisa digunakan tidur para pengungsi dan juga bisa dijadikan meja tamu saat mengadakan resepsi. Dengan cara itu rakyat bisa sekolah, bisa melakukan rapat, bisa menampung pengungsi tanpa mengeluarkan biaya tambahan.Untuk menanggulangi kelangkaan buku bacaan, mereka disuruh menyalin setiap mata pelajaran, sehingga bisa belajar dan mendapatkan buku dengan biaya murah.
 
Tentu langkah ini sangat bertolak belakang dengan sekolah yang ada sekarang ini.sekolah tidak menyelenggarakan pendidikan semurah mungkin, tetapi semahal mungkin. Gedungnya mahal, perlengkapan diada-adakan di luar kebutuhan, sehingga biaya mahal, belum lagi buku yang dicetak dengan volume melebihi kebutuhan. Semuanya dibuat mahal karena sekolah tidak  lagi berpikir memberikan layanan social, tetapi berpikir mencari keuntungan ekonomi.
 
Di tengah kondisi masyarakat yang mengalami kemerosotan penghasilan, kemampuan membiayai sekolah menurun, tetapi sebaliknya biaya sekolah terus dinaikkan. Maka akibatnya banyak rakyat yang terkena akibatnya, ada yang terpaksa tidak makan untuk membayar uang pangkal, ada pemulung yang menjual gerobak pemulungnya sekadar untuk mebayar buku paket yang dulu digratiskan kini dijual amat mahal. 
 
Semestinya tidak semuanya dibuat mahal, sebab berbagai cara bisa ditempuh untuk menyelenggarakan pendidikan murah, asal pemerintah memberi peluang, asal guru mau berjuang, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, Rajiman Sutatmo dan sebagainya. Saat ini masih banyak orang yang mengajar secara suka rela, demi mencerdaskan bangsa. Kelompok itu yang mestinya didekati, diperkuat dan dikembangkan untuk menyemaikan biudaya hidup sederhana, yang dimulai dengan keluarga sederhana, sekolah sederhana, akhirnya hidup sederhana bisa dikembangkan di masyarakat.

Untuk memurahkan pendidikan termasuk menggratiskan pendidikan tidak perlu menunggu negara kaya. Terbukti banyak negara yang jauh lebih miskin dengan Indonesia  seperti Sudan, Syria dan juga mesir. Mereka tidak hanya memberikan pendidikan gratis pada rakyatnya, tidak hanya sekolah dasar hingga menengah tetapi juga sampai perguruan tinggi. Itupun masih memberi beaya pada negara lain, saat ini ratusan mahasiswa Indonesia yang mendapatkian beasiswa bersekolah di Sudan, Yaman atau Syria.
 
Mereka bisa begitu karena pertama negaranya berdaulat, memiliki pemimpin yang punya kemadirian dan memiliki karakter seorang pemimpin, kedua kalangan pengusaha dan aparat birokrasinya jujur dan mau menginfakkan hartanya untuk mencerdaskan umat. Semuanya berjalan karena adanya niat baik. Sementara di tanah air kita yang sumber alamnya meningkat, tetapi negera tidak berdaulat, aparatnya korup, kaum terpelajarnya oportunis. Maka semua rencana baik diselewengkan, dana dikorup. Padahal mengelola rakyat harus disertai rasa pengabdian yang tinggi, tulus ikhlas. Hanya dengan cara itu pendidikan bisa diselenggarakan dengan sedikit dana tetapi mutu terjamin. Ini bukan sebuah utopia, yang tidak bisa diwujudkan di dunia nyata, soalnya beberapa kelompok masyarakat telah melakukan eksperimen pendidikan murah dan berkualitas (MDZ)