Risalah Redaksi

Pergeseran Nilai

Kamis, 12 Februari 2009 | 04:11 WIB

Sejak berhasil melepaskan diri dari cengkeraman  rezim orde baru bangsa ini seolah bebas melakukan apapun untuk mengatasi penat dan kesal selama masa rezim otoriter itu. Atas nama demokrasi dan hak asasi manusia segala tindakan bisa dan boleh dilakukan, kebebasan ini menjadi kekacauan ketika tidak dilandasi oleh tatanan moral dan hukum, maka yang terjadi adalah anarki murni.

Anarki ini tidak hanya dilakukan oleh para seniman atau aktivis jalanan, tetapi sudah djalankan di semua lini kehidupan, sejak dari pimpinan tinggi Negara, serta lembaga pemerintahan, kepartaian, perusahaan dan sector lainnya. Semua bertempur melawan semua, maka individualisme murni sebenarnya telah mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini.<>

Kebebasan berbicara diartikan sebagai kebebasan membicarakan apa saja, termasuk kebebasan memfitnah, kebebasan membuka aib orang, kebebasan mengungkap kekerasan, padahal kesemuanya ini berakibat buruk pada mental masyarakat dan akhirnya merusak kebudayaan. Kebebasan ini semual menjadi kontrol, tetapi telah menjadi ancaman bagi setiap orang, karena kebebasan digunakan untuk menekan, memeras lawan politik dan pesaing mereka.

Berbeda dengan di beberapa negara maju yang sudah kenyang dengan kebebasan mulai melakukan kontrol diri. Pornografi juga sudah mulai di batasi, fitnah dan caci maki dihadapan public juga diawasi, sehingga kehidupan berjalan lebih tertib dfan rukun. Sebaliknya media kita cenderung memfasilitasi keseluruhan nafsu tersebut. Itulah sebabnya NU menentang kecenderungan yang merusakj mental umat tersebut.

Pornografi yang merusak selera kebudayaan masyarakat itu malah dibela secara gigih oleh para aktivis kebudayaan dan pembela kebebasan. Padahal Cina yang komunis saja melarang pornografi karena merusak mental dan ideologi rakyat. Pemerintah Inggris baru saja melarang anggota Parlemen Belanda yang membuat film Fitnah masuk negaranya, tanpa khawatir dituduh melanggar kebebasan berekspresi.

Sementara negara maju sedemikian ketatnya mengatur kerukuna  hidup di negaranya, kita malah mengobarkan permusuhan, terbukti berbagaiu film yang penuh fitnah dan kebohongan seperti PBS bisa ditayangkan di sini, dan penayangannya dibela oleh para aktivis kebudayaan. Kalau selama ini masyarakat Islam Indonesia dihadapkan berbagai tantangan dari luar seperti pengkarikaturan Nabi serta film-film fitnah, tetapi semuanya itu telah merasuk dalam kebudayaan sendiri, dibuat oleh umat Islam sendiri.

Proyek pemecah-belah dan penggempuran terhadap ortodoksi Islam memang sedang dilakukan, maka tidak aneh kalau pesantren sebagai penjaga ortodoksi menjadi sasaran dari gempuran tersebut untuk menciptakan dunia bebas. Dunia bebas bukan dunianya rakyat dunia bebasa adalah dunia orang berada yang selalu menuntut kebebasan untuk mendominasi dan menghisap pihak lain.

Eforia kebebasan menjadi fenomena ketidaksadaran, di tengah ketidaksadaran itulah berbagai kepentingan klompok yang membuat mereka tidak sdara itu masuk, sehingga seluruh pembuatan atuiran di negeri ini tidak pernah dijalankan sendiri, melainkan diserahkan pada pekerja dan konsultan lain. Bangsa ini hanya peduli dengan kebebasannya tidak peduli dengan aturannya. Baru ketika aturan baru itu menyingkirkan mereka sendiri, baru mereka sadar, tetapi sadar setelah mereka dijerumuskan dalam jurang yang tidak mungkin mentas kembali.

Perubahan nilai yang tidak dibimbing oleh nilai-nilai moral telah menjerumuskan bangsa ini menjadi bangsa yang hedonis. Tanpa adanya moraliotas, segala bentuk hukum dan aturan tidak bisa berjalan dan tidak berguna, mudah dimanipulasi dan mudah diakali seperti yang terjadi di sini sekarang ini. Orang bebas melakukan kejahatan dengan tidak terkena sangsngsi hukum, sangsi moralpun tidak ada, sehingga orang begitu mmudahnya melakukan penyimpangan karena tidak ada kontrol atau pengawasan.

Penanaman nilai moral, melalui lembaga pendidikan, melalui lembaga agama menjadi sangat penting dengan catatan di luar itu tidak disediakan forum yang mendistorsi keseluruhan usaha tersebut. Kalau usaha perbaikan dilakaukan tetapi sekaligus proses perusakannya juga dilakuakna maka usaha itu tidak akan efektif, akhirnya seperti yang terjadi sekarang ini.

Tidak ada kaitannya hasil pendidikan dan ajaran agama dengan perilaku mereka di masyarakat. Menghidupkan ata nilai atau nirma sosial menjadi sangat penting, karena pada dasarnya nilai moral tidak cukup disangga sendiri tetapi perlu diangkat sebagai nilai bersama, sehingga saling menunjang dan saling melindungi. (Abdul Mun’im DZ)