Risalah Redaksi

Persentuhan Geologi dan Ideologi

Sabtu, 20 Mei 2006 | 09:04 WIB

Persoalan bencana alam termasuk letusan gunung adalah peristiwa yang sering terjadi, tetapi peristiwa akan meletusnya Gunung Merapi kali ini menjadi sebuah peristiwa yang belum pernah terjadi. Meletusnya gunung merapi tidak lagi menjadi persoalan geologi, yakni bagaimana gerak sebuah fenomena alam, tetapi telah menjadi sebuah gerak langkah sebuah ideologi politik.

Letusan kejadian politik yang menyertai letusan Merapi jauh lebih dahsyat ketimbang semburan dan semburan asap gunung itu. Letusan gunung itu hampir tidak pernah kedengaran di sekitar gunung itu, tetapi wacana politik yang disebarkan media telah menggoncang kan sendi-sendi masyarakat, sejak cara berpikir, sikap dan perilaku.
Dalam kasus ini bagaimana peristiwa geologis itu telah mendapat muatan politik baik di lingkungan birokrasi pemerintahan maupun di lingkungan media massa.. Di saat yang sama juga mampu menggoncangkan sendi-sendi ilmu pengetahuan.Bagaimana misalnya prediksi seorang pawang gunung ternyata tidak kalah akurat kalau tidak dibilang lebih akurat tinimbang prediksi para ilmuwan dan geolog yang bekerja di tempat itu. Ini terbukti telah mengguncangkan  sendi-sendi ilmu pengetahuan. Barangkali kalangan akademisi tetap abai, bahkan sinis, tetapi harga diri mereka sebagai ilmuwan yang rasionalis, positivis rontok.

<>

 Dan akhirnya tokoh spiritual yang sederhana seperti Mbah Marijan jauh lebih popular, baik secara akademik maupun politik, sehingga seorang raja dan presiden berusaha menemuinya, walau tidak berhasil. Ledakan di luar gunung jauh lebih mendominasi dan lebih menegangkan ketimbang ledakan gunung itu sendiri yang sampai sekarang belum menunjukkan letusan yang besar.

Memang manusia modern yang telah menetapkan rasio di atas segalanya, sementara yang disebut rasionalitas adalah rasional menurut logika ilmu pengetahuan barat yang dipaksakan sebagai universal. Sementara pengetahuan lokal yang lebih relevan, sering dianggap sebagai tidak ilmiah, karena definisi telah dirumuskan mereka secara sepihak.


Tetapi kenyataan berbunyi lain, bagaimana seorang yang tidak terpelajar menurut ilmu pengetahuan modern, tetapi mampu mendeteksi dan menjelaskan peristiwa alam yang bakal terjadi seperti meletusnya gunung berapi. Kesemuanya dipelajari melalui tirakat dan amalan tertentu.

Ilmu pengetahuan yang diajarkan di perguruan tinggi memang tidak hanya sekular, tetapi juga sangat anti kebudayaan nasional dan lokal. Karena itu setiap yang tidak cocok dengan logika dan nafsu mereka diremehakan dan dihinakan, sementara pengetahuan yang sama dengan mereka dianggap maju dan beradab. Penilain sepihak seperti itu terus berlangsung penuh diskriminasi hingga saat ini.

Ini sebuah ironi bagaimana perjalanan bintang dan matahari di langit yang jauh dengan begitu mudah diprediksi oeleh kalangan ahli astronomi dan falak, tetapi hingga saat ini belum ada deteksi dini yang sederhana tetapi canggih seperti itu. Sebaliknya peristiwa yang dekat dengan kita seperti meletusnya gunung berapi hingga saat ini masih dalam perkiraan tidak dalam kepastian.

Melihat kenyataan itu, maka para ilmuwan tidak lagi boleh congkak, merasa benar sendiri, karena itu antara kalangan ilmuwan dan kalangan pengamal ilmu kerohanian mesti menyatu. Ini menunjukkan adanya tuntutan untuk memadukan lagi antara agama dengan adat dan tradisi. Rumusan ini kelihatan abstrak, tetapi melihat kenyataan mobilitas saat ini, maka kaderisasi mulai dari bentuk bentuk seni, terutama film dan drama sengat penting untuk dilaksanakan.

Langkah itu dengan sendirinya akan menghormati seluruh artefak sejarah, dokumen dan berbagai risalah yang dimiliki termasuk karya-karyanya. Ilmu pengetahuan modern telalu congkak sehingga menafikan seluruh proses pemantauan yang menggunakan metode spiritual yang ilmu ketajaman membaca tanda-tanda alam. Karena itu dengan keengganan Mbah Marijan  menemui Presiden dan Gubernur merupakan fenomena menarik.

Bagaimanapun mereka adalah abdi dalem kraton yang amat setia, sehingga aparat pemerintah dan birokrasi termasuk para ilmuwan tidak bisa memaksa dan meremehkan orang semacam Mbah Marijan yang sebenarnya ada di mana-mana.