Dengan demikian konflik juga akan susah dihindarkan, tidak hanya antar calon dari berbagai partai politik. Tetapi juga terjadi pertarungan antar calon dalam satu partai, karena sistemya telah diarahkan satu lawan semua. Di tengah serunya perebutan suara itu muncul aturan agar setiap calon menang dari satu daerah menyertakan kaum wanita. Siapa rela kursinya digeser hanya karena mengakomodasi calon yang tidak ikut berjuang dengan tenaga dan dana.<>
Seluruh keruwetan ini berakar dari sitem konstitusinya yang menganut sistem multi partai tanpa batas. Ratusan partai yang muncul setiap musim pemilu membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memverifikasi mereka semuanya, sehingga tinggal beberapa puluh partai. Mengelola puluhan partai ini juga pekerjaan sulit, karena itulah sistem pemilu yang dlu lebih sederha menjadi semakin rumit. Apalagi ketika peran partai politik dikurangi dengan memberikan wewenang lebih besar pada pemilih untuk mementukan pilihannya. Pertarungan politik semakin sengit.
Kekacauan politik ini bukan karena negeri ini kekurangana demokrasi, tetapi sebaliknya Indonesia kacau karena kelebihan demokrasi. Persis seperti yang dikatakan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi pada Direktur National Endowmen for Democracy (NED), bahwa Indonesia saat ini telah over demokratis atau over procedural democracy, sehingga semuanya harus mendengarkan semuanya sementara masing-masing tidak memiliki kepentingan bersama. Lalu demokrasi apalagi yang mau disumbangkan NED pada Indonesia.
Demokrasi prosedural mengabaikan subsatansi dan hanya mengutamakan proses, sehingga yang muncl hanya seperangkat aturan. Aturan yang hanya mengacu pada kepetingan kelompok perkelompok. Dari situlah keruwetan terjadi. Ditambah lagi bahwa negeri ini tidak memiiki grand strategi politik ke depan. Ditambah lagi tidak memiliki pemimpin yang cukup memiliki wibawa untuk memberikan arahan bagi para pimpinan politik dan rakyat secara keseluruhan.
Lembaga demokrasi internasional baik yang langsung di bawah NED seperti IRI, NDI dan Carter Center, termasuk lembaga lainnya seperti USAID, FNS dan sebagainya, telah memberikan sistem terburuk bagi negeri ini, sehingga terjebak pada keruwetan. Maka tidak aneh kalau masyarakat berkomentar Pemilu menjadi persoalan yang rumit, dan kerumitan itu tidak ada gunanya. Kalau para pendorong demokrasi telah memberikan bantuan teknis dan finansial, kenapa bantuan teknisnya tidak semakin maju bahkan semakin mundur. Sejatinya semakin maju sistem, akan semakin mudah dan semakin operasional, ini malah semakin rumit, pertanda kemunduran.
Para aktivis sosial, aktivis politik akhirnya terjebak pada urusan yang sangat tidak bermutu, yaitu hanya mengatur soal cara memberikan suara. Sistem pencalonan individual yang liberal itu hanya memungkinkan orang mengurus dirinya sendiri dalam pemilu, dan akan menurus kepentingannya sendiri dalam berpolitik. Dengan demikian mereka akan terlibat konflik berkepanjangan dengan rival politiknya, bahkan dengan partainya sendiri. Bila semuanya hanya mengurusi posisinya maka semua urusan besar bagaimana membangun negara dan bangsa yang besar ini akan terabaikan.
Karena itu seluruh perundangan politik perlu ditinjau kembali termasuk Undang Undang Dasar yang sudah diamandemen dengan tidak bertanggung jawab. Belum lagi berbagai undang-undang turunanya yang semakin menyimpang dari tujuan bernegara. Maka penyederhanaan partai harus dilakukan dengan sukarela melalui konsesus nasional, atau dengan cara paksa. Kalau tidak negeri ini tidak akan mengalami kemajuan, selama lima tahun harus melakukan Pemilu sampai enam kali. Sehingga dana negara hasis hutang semakin menumpuk, sementara tidak mendatangkan manfaat, hanya mengutamakan prosedur, asal ada Pemilu biar dianggap demokratis. Soal tidak ada kesejahteraan rakyat tidak dipikirkan.
Menghadapi proseduralisme dan formalisme demokrasi itu bebarapa Negara mencoba melakukan kiat untuk mengatasinya. Hugo Chaves misalnya dengan mengamandemen konsitusi yang membatasi masa jabatan, padahal agenda besar masih membutuhkan ketokohannya dalam revolusi socsal. Atau seperti Putin sang penyelamat Rusia, membutuhkan waktu lebih lama dalam membangun negerinya, sehingga menyiasatinya dengan mengangkat kadernya menjadi presiden bayangan, yang tahta itu akan diambil lima tahun mendatang untuk melanjutkan pembangunan Rusia. Bagai orang yang tidak mengerti, cara itu didasari oleh ambisi kekuasaan. Tidak, tetapi semata untuk membangun dan menyelamatkan negara dari gempuran musuh politiknya.
Demokrasi bukan hanya satu spektrum yaitu spektrum liberal, banyak macamnya karena itu demokrasi bukan harga mati. Ia sekadar alat bukan tujuan. Banyak alat untuk mencapai tujuan kesejahteraan. Masing masing kebudayaan memiliki sistem politiknya sendiri, karena itu sistem politik yang lestari dan membawa kesejahteran adalah sistem politik yang dikembangkan berdasarkan latar belakang kebudayaannya sendiri. Itulah yang dialkukan Cina, Rusia, Iran dan beberapa Negara di Amerika Latin.
Untuk itu pula kepada Direktur NED Hasyim Muzadi dengan tegas mengatakan bahwa Indonesia akan membangun sistem politiknya sendiri berdasarkan kebudayaan nasional dan kepentingan nasional. Dan NU akan mengambil bagian dalam proses perumusan itu. Sebab partai yang telah diliberalisasi hanya akan sibuk mengurusi posisinya sendiri, tidak mungkin lagi memiliki waktu untuk memikirkan nasib negara dan bangsa. (Abdul Mun’im DZ)
Terpopuler
1
Amal Baik Sebelum Puasa: Saling Memaafkan dan Bahagia Menyambut Ramadhan
2
Melihat Lebih Dalam Kriteria Hilal NU dan Muhammadiyah
3
Didampingi SBY-Jokowi, Presiden Prabowo Luncurkan Badan Pengelola Investasi Danantara
4
Pemantauan Hilal Awal Ramadhan 1446 Digelar di 125 Titik, Jawa Timur Terbanyak
5
LAZISNU dan POROZ Kirim Bantuan Rp6,45 Miliar untuk Kebutuhan Ramadhan Rakyat Palestina
6
Aksi Indonesia Gelap, Upaya Edukasi Kritis terhadap Kondisi Sosial, Politik, dan Demokrasi
Terkini
Lihat Semua