Risalah Redaksi

Populisme Islam, Gelombang Pasang atau Hanya Riak?

Ahad, 7 April 2019 | 15:07 WIB

Populisme Islam, Gelombang Pasang atau Hanya Riak?

Ilustrasi (Antara)

Populisme Islam belakangan menjadi perbincangan banyak pihak ketika beberapa kelompok Islam menunjukkan aksi massa dengan menggelar acara 212 dan kemudian dilanjutkan pertemuan alumni 212 di tempat yang sama, Monas Jakarta. Konsolidasi terus dilanjutkan untuk kepentingan politik pemilihan presiden 2019 menyusul keberhasilan mereka menggulingkan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Ada kekhawatiran sejumlah pihak, apakah gerakan tersebut akan mengubah lanskap keberislaman di Indonesia yang selama ini moderat menjadi lebih konservatif.

Secara sederhana, populisme Islam dapat diartikan sebagai upaya menggalang suara umat Islam yang selama ini merasa terpinggirkan oleh elite-elite yang selama ini menguasai negara. Mereka membangun narasi bahwa umat Islam ditindas. Salah satu yang jargon yang paling sering disampaikan adalah kriminalisasi ulama. Ujungnya adalah, penguasa harus diganti dengan orang yang mampu menampung aspirasi umat. Sayangnya, ada anggapan bahwa yang di luar mereka, tidak memperjuangkan aspirasi Islam. Sebuah fakta yang jauh dari kenyataan. 
 
Populisme berkembang di seantero dunia. Mulai muncul di Eropa oleh kelompok-kelompok masyarakat lokal yang merasa terancam dengan kedatangan imigran. Karena para imigram sebagian besar adalah Muslim yang memiliki cara hidup berbeda dan mengambil kesempatan kerja yang ada, maka orang Islam yang dipersalahkan. Ditambah lagi dengan munculnya gerakan ekstremis yang mengatasnamakan Islam, maka muncullah islamofobia. Kemenangan Donald Trump yang menggunakan pendekatan populisme juga mendorong para politisi di berbagai belahan dunia untuk menggunakan isu tersebut guna meraih kemenangan. Apakah hal ini juga terjadi di Brazilia dengan kemenangan Bolsonaro? Yang jelas, strategi populisme juga digunakan di Indonesia untuk kontestasi politik.

Jika dilihat dalam konteks ideologis, sesungguhnya kelompok-kelompok Islam yang bergabung dalam gerakan populisme Islam sangat beragam. Ada kelompok pengusung ide khilafah, kelompok tetap menginginkan indonesia tetap dalam bentuk NKRI tetapi dengan embel-embel bersyariah, atau simpatisan partai tertentu. Mereka bersatu di dalamnya. Dalam konteks amaliah agama, pengusung gerakan ini juga sangat beragam. Terdapat kelompok Islam puritan yang sangat ketat dalam beragama. Segala sesuatu yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits dianggap sebagai bid’ah. Toh Reuni 212 digelar dalam konsep Maulidur Rasul yang sesungguhnya dibid'ahkan oleh yang lain. Kesatuan masih terjaga karena adanya kepentingan bersama.
 
Dengan keragaman kelompok seperti itu, yang dalam situasi normal saling bersaing, maka kelompok tersebut sangat rentan ketika tidak ada lagi kepentingan bersama yang mengikatnya. Mereka tidak disatukan oleh kepentingan ideologi, tetapi lebih kepada kepentingan politik. Ketika  kepentingan bersama tersebut sudah hilang, maka kompetisi yang akan terjadi. Koalisi sangat pragmatis tersebut terlihat dari proses pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta di antara partai-partai pengusung Anis-Sandi yang hingga kini belum menghasilkan solusi, siapa yang akan menggantikan wakil gubernur. 

Koalisi Poros Tengah yang merupakan koalisi antarberbagai golongan Muslim di Indonesia berhasil menjadikan Gus Dur sebagai presiden pada pemilu 1999. Kemudian, koalisi tersebut akhirnya bertarung sendiri, dengan melengserkan Gus Dur yang sebelumnya secara bersama-sama mereka usung. Bekas luka akibat pertarungan politik tersebut masih terasa akibat adanya perasaan dikhianati. 

Politik di Indonesia sangat cair. Koalisi antarberbagai partai lebih didasarkan pada kepentingan untuk memenangkan calon tertentu, bukan didasarkan pada ideologi yang diusung. Pada pilpes 2009, Megawati dan Prabowo Subianto menjadi pasangan capres dan cawapres, sementara PKS yang menjadi mintra koalisi Gerindra saat itu mendukung kepemimpinan SBY. Begitulah politik, koalisi-koalisi bisa berubah dengan cepat, tergantung sejauh mana kepentingan mereka terakomodasi. Dalam Pilkada 2018, koalisi yang terjadi di tingkat daerah sangat beragam, tergantung seberapa besar calon yang mereka usung berhasil memenangkan pemilu daerah. Tak peduli di tingkat pusat saling bersaing, di tingkat daerah, mereka saling bekerja sama memenangkan calon yang mereka usung bersama. 

Koalisi yang berubah-ubah ini juga menjelaskan bahwa para pemilih, sekalipun mereka mengidentifikasi diri sebagai santri atau kelompok Islam puritan, tidak terlalu memperhatikan kualitas keislaman seseorang sebagai ukuran dalam memilih pemimpin. Populasi Muslim di Indonesia mencapai 88 persen, tetapi partai Islam, sejak pemilu 1955 tidak pernah menjadi pemenang. Sakalipun ada kecenderungan peningkatan kesalehan orang Indonesia dalam beragama, partai-partai Islam secara total tidak menunjukkan peningkatan jumlah persentase perolehan suara. Dan sejauh ini tidak ada tanda-tanda partai Islam akan menjadi pemenang dalam pemilu 2019. 

Keberlanjutan populisme Islam di Indonesia, sangat tergantung pada situasi yang ada, yaitu apakah ada kepentingan bersama yang akan menyatukan mereka mengingat begitu banyak warna ideologi yang ada di dalam koalisi yang saat ini mereka bangun. Jika ada perbedaan yang tidak bisa diakomodasi, maka gampang saja koalisi kepentingan tersebut pecah. 
 
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah, akomodasi dari berbagai kelompok Islam dalam membangun bangsa, sejauh mereka masih berada dalam koridor perjuangan NKRI. Perasaan tereksklusi dalam peran-peran yang sesungguhnya bisa mereka kontribusikan dalam membangun bangsa membuat mereka mudah sekali dibujuk untuk menjadi oposan pemerintah. (Achmad Mukafi Niam)