Upaya pencari keadilan dan penegakan hukum serta kebenaran benar-benar mengalami jalan buntu, bahkan memasuki masa gelap. Bagaimana sebuah lembaga tinggi negara seperti Mahkamah Agung menganulir keputusan Pengadilan Negeri yang telah menjatuhi hukuman pada terpidana korupsi Akabar Tanjung. Padahal rakyat tahu betul bahwa keputusan Pengadilan Tinggi itu tepat, sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Tetapi sayang keputusan yang melegakan pencari keadilan itu justru dinafikan oleh Mahkamah Agung yang mestinya menjadi benteng terakhir keadilan.
Tetapi semua drama itu sebenarnya telah diketahui skenarionya, yaitu skenario Orde Baru, bagaimana scenario pengadilannya dan scenario pembebasannya, semua sesuai dengan plot yang dudah dibuat, seolah ada ketegangan, tetapi semuanya hanya semacam melodrama. Jangankan pejabat orde baru sepenting Akbar, para koruptor kakap dan hitam pun pada mendapatkan pengampunan.
<>Apakah hal itu semata sikap Mahkamah Agung, ternyata tidak, karena semua kalangan, kalangan partai politik di DPR enggan membuat Pansus yang mengusust Akbar Tanjung, kalangan intelektual, juga tidak berkomentar banyak terhadap pembebasan itu, demikian kalangan pemberantas korupsi tidak gigih menentang keputusan itu, termasuk media memberitakan secara dingin. Hal itu berbeda dengan kasus serupa yang menimpa Abdurrahman Wahid semua kalangan sejak dari DPR, intelektual, pers, ulama politisi, semuanya tumplek blek ikut menyalahkan, walaupun tidak satu pengadilanpun pernah digelar. Inilah tidak adilnya situasi, di mana suasana pilih kasih dijalankan. Inilah yang namanya hukum rimba, siapa yang kuat menang siapa yang punya mulut lebar diperhatikan. Tidak ada keadilan. Tidak perlu kebenaran.
Karena itu harap di ingat, bahwa pembebasan koruptor itu hanya akan mengena para pejabat orde baru atau kawanan orde baru, kalau ada kalanagan pro reformasi berani berbuat serupa akan segera dijerat berbagai perangkat hukum yang sudah tersedia. Begitulah kalau hukum tidak merefleksikan keadilan, tapi hanya tunduk pada kekuasaan, maka tidak ada kejujuran dan kebenaran yang ada manipulasi dan kebohongan. Dengan mudahnya koruptor dari jeratan hukum, maka korupsi akan semakin merajalela, karena orang akan berdalih toh korupsi bisa diatasi, apalagi ketika lembaga hukum bisa dipengaruhi atau bahkan dibeli.
Hal itu menunjukkan bahwa di kalanagan para pemimpin bangsa ini belum memiliki komitmen yang kuat terhadap pemberantasan korupsi, kecuali hanya jargon bahkan hanya cara untuk menutupi korupsi. Situasi ini akan diperparah ketika money politics kemudian dilegalkan sebagai political cost, maka negara akan menanggung semua beaya itu, dan itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan cara korupsi. Karena itu bila ingin menumbuhkan kembali transparansi, dan gerakan anti korupsi, perlu ditinjau penetapan beaya politik yang begitu besar bagi para calon parlemen.
Walaupun korupsi telah melembaga bahkan telah mentradisi, dan telah memperoleh berbagai fasilitas untuk bebas, namun sikap itu harus tetap dijauhi. Betapapun hukum rimba yang berlaku, biarpun kejahiliahan dan kegelapan telah merajalela. Tetapi bagi pencari keadilan tidak boleh putus asa, bahwa semua bisa diatasi asal ada upaya. Tidak perlu upaya besar, tetapi memulai dengan langkah kecil yang paling tidak berarti, kemudian dijalankan terus hingga memiliki arti. Disitulah titik cerah akan muncul di tengah kegelapan. (MDZ)
Terpopuler
1
Ini Amalan Jumat Terakhir Bulan Rajab, Bisa Jaga Keberkahan Rezeki Sepanjang Tahun
2
Khutbah Jumat: Jagalah Shalat, Maka Allah Akan Menjagamu
3
Khutbah Jumat: Mengenal Baitul Ma’mur dan Hikmah Terbesar Isra’ dan Mi’raj
4
Paduan Suara Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang Meriahkan Kongres Pendidikan NU 2025
5
7 Penerima Penghargaan Pesantren dalam Malam Anugerah Pendidikan NU
6
Khutbah Jumat: 4 Hikmah Pemilihan Baitul Maqdis sebagai Tempat Isra Nabi Muhammad SAW
Terkini
Lihat Semua