Risalah Redaksi

Sadyakalaning Pedagang Kecil

Jumat, 9 September 2005 | 05:43 WIB

Kalau dulu Negara ini desebut sebagai Negara merkantilis atau kapitalisme yang dilakukan oleh Negara. Tetapi saat ini sebaliknya para kapitalis baik pribumi maupun asing telah menguasai Negara. Akibatnya Negara kehilangan eksistensi yang hanya system perdagangan. Semua aspek diperdagangkan, tidak hanya ekonomi, tetapi juga meliputi politik, hukum, undang-undang dan budaya menjadi barang dagangan. Di sini tidak ada idealisme atau cita-cita bersama, yang ada hanya kepentingan individu sesaat.


Dengan berkembangnya tradisi semacam itu pengusaha besar dengan kekuatan modalnya yang besar bisa melanggar semua aturan, sebab undang-undang bisa dibeli. Saat ini peraturan mengenai peruntukan lahan dilanggar untuk dijadikana tempat usaha. Demikian juga peraturan menganai jarak antara pasar tradisional dengan super market, juga sudah tidak dihiraukan, hampir semua super market di bangun di kawasan pasar tradiosional. Sesemuanya itu dilanggar tanpa ada teguran, apalagi sanksi dari Negara.

<>


Pertarungan di antara para pedagnag besar juga tidak kalah seru. Hadirnya Carrefour misalnya telah memukul telak Alfa, Makro, Indomart  dan sejenisnya. Akhirnya mereka tungang langgang lari ke desa-desa, selanjutnya mematikan para pedagang kelontong di kampung. Melihat kondisi seperti ini, Pemerintah sama sekali tidak memberikan perlindungan pada para usaha kecil, yang terus dilanda kesulitan modal dan tempat usaha,  serta kekeringan pembeli.


Ketika Carrefour berjaya, saat ini hadir pesaingnya si raksasa, Giant. Dua perusahaan retil asing itu bersaing sangat kasar. Bayangkan di satu kawasan super market itu berdiri berhadapan. Iklan saling serang dikibarkan, untuk mengtahui harga barang orang tidak perlu masuk ke pertokoan tersebut, sambil berkendaraan di jalan orang sudah tahu semua harga barang yang dijual, sejak dari kulkas, computer, terasi hingga cabe. Jalanan kembali seperti kaki lima, walaupun ini sangat mengganggu keindahan, tetapi tidak ditertibkan, karena hukum sudah dibeli. Lebih celaka lagi kedua pengusaha tersebut membuka usahanya hingga tengah malam dengan diskon khusus. Pelanggaran waktu  ini juga dibiarkan, padahal berimplikasi membunuh usaha kecil. Negara seolah tanpa hukum, semua bisa terjadi, baik melanggar etika maupun estetika dibiarkan sejauh mampu membeli hukum.


Pasar tradisional secara sistematis dan bertahap dihilangkan, dengan demikian pusat usaha mayoritas pedagag kecil itu tergusur. Hanya pedagang kaya dan etnis tertentu yang sangat rasialis yang bisa membeli kios. Akhirnya pedagang kecil yang jauh dari modal itu semakin merosot, setelah pasar dibangun atau setelah pasar dibakar, mereka segera merosot dari pedagang formal menjadi pedagang informal, yang hanya menggelar lapak di tempat-tempat terlarang, sehingga rawan penggusuran.

Ketika Negara tidak lagi peduli pada rakyat kecil, dan hanya peduli dengan usaha besar akhirnya rakyat menjadi miskin. Semua kebutuhan yang bisa diusahakan petani malah diekspor, karena eksportir bisa menyuap pejabat, akhirnya petani tidak bisa melakukan cocok tanam, sebab sebelum panen barang impor campur selundupan telah membanjiri pasar. Akibatnya rakyat semakin kehilangan pendapatan. Dan pemerintah tidak memikirkan nasib mereka secara sungguhan. Bayangkan sekarang ini hampir separuh kabupaten yang ada di Indonesia telah mengalami rawan pangan, padahal teknologi dan manajemen perdagangan dan pertanian terus berkembang. sebaliknya laju pertumbuhan ekonomi sangat lamban sementara laju pertumbuhan kemiskinan sangat cepat, akhirnya Indonesia yang kaya sumber daya alam  dan sumber daya manusia menjadi Negara miskin.


Hampir diseluruh sector usaha kecil terpukul, dan mengalami sendakala,  ketika pemerintah membiarkan masuknya mobil mewah, maka elemen luxury mewarnai hampir setiap mobil yang tergolong tidak mewah tetapi produksi terbaru yang serba otomatik sehingga memerlukan bengkel resmi yang juga otomatik, maka mobil-mobil yang dulunya dirancang sebagai kemdaraan rakyat juga sudah dirancang serba otomatik, tidak hanya mahal tetapi perawaatan juga ruwet  sehingga butuh bengkel yang cangih, maka sekali lagi sektor jasa perbengkelan, terutama bengkel tradisional dan manual, juga sudah mengalami surut. Semua itu sebenarnya bisa dicegah sebab telah ada regulasinya. Tetapi ketika peraturan diperdagangkan, maka semuanaya tidak jalan.
Karena semua hanya berpikir pedagang dan berdagang untuk pribadui , maka semuanya tidak bisa berpikir jangka panjang, baik kalangan eksekutif, legislative termasuk yudikatif dan kalangan swasta sendiri.

Karena semuanya ini terjadi maka keadaan politik ekonomi, dan terutama kebudayaan secara umum sangat buruk, seperti sebuah Negara terbelakang., Orang tidak lagi mampu membiayai hidupnya sendiri dan terutama biaya sekolah, karena kemiskinan terus memuncak bersamaan dicabutnya berbagai subsidi untuk rakyat.


Padahal kalau semua pihak termasuk kalangan intelektual mau berpikir panjang, maka memberikan keleluasaan bertani dan berdagang pada rakyat