Risalah Redaksi

Selalu Menyalahkan Alam

Senin, 17 November 2003 | 12:21 WIB

Alam Selama ini memberikan kemurahan kepada manusia sepanjang sejarah dalam jumlah dan kualitas yang tidak ternilai harganya, tetapi manusia modern sedikitpun tidak menaruh balas budi atas kemurahan tersebut. Alam dieksploitasi melebihi kebutuhan dasar manusia dan melampaui daya dukung dari alam itu sendiri.
Adalah sebuah kebohongan bahwa manusia modern telah berhasil memutuskan ketergantungannya pada alam, dengan keberhasilan menciptakan barang sintetis, hal itu terbukti eksploitasi alam terus berjalan, sebab barang sintetis tidak mengganti kebutuhan terhadap sumber daya alam, melainkan hanya menambahkan kebutuhan manusia.

Akibat dari kerakusan tersebut adalah munculnya berbagai bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor dan sebagainya. Tetapi anehnya manusia tidak mau mengakui bahwa bencana alam tersebut akibat ulah manusia dalam mengekploitasi alam tersebut. Sebaliknya malah mencari kambing hitam, bahwa alam yang mengakibatkan kerusakan tersebut.

<>

Berbagai bencana alam yang terjadi di negeri ini bisa diambil sebagai contoh. Ketika terjadi banjir yang menenggelamkan seluruh tanah Jakarta tahun lalu yang diakibatkan tidak adanya pembangunan kanal, sejak zaman Belanda, selain itu juga menguruk rawa untuk lahan perumahan, bahkan dengan terang-terangan menguruk situ yang selama ini dibuat untuk menampung air hujan. Semua orang dengana akal sehalnya bisa menditeksi penyebab banjir tersebut.

Tetapi para pejabat pemerintah untuk melempar tanggung jawab karena memberikan iizin atas perilakunya tersebut. Gubernur saat itu mengatakan bahwa banjir terjadi akibat hujan yang terklalu lebat, bukan karena pengurukan daerah serapan. Demikian juga ketika terjadi tanah longsor yang menelan banyak korban di Pacet Mojokerto, para pejabat mengatakan bahwa itu semua akibat curah hujan yang terlalu tinggi. Sementara menurut para aktivis lingkungan hal itu akibat penebangan liar yang dilindungi pemerintah.

Terakhir yang terjadi di depan mata adalah bencana tanah longsor di Sumatera utara, walaupun semua aktivis, pengamat dan kalangan pejabat senidiri mengakui bahwa hal itu akibat dari pembabatan hutan di daerah hulu, namun para pejabat di daerah dan di Jakarta, seperti menteri kehutanan, mengatakan hal itu akibat curah hujan yang terlalu tinggi, bukan akobat pembabatan hutan.
Selama ini para pejabat merasa dirinya lebih rasional ketimbang rakyat, tetapi dalam kasus seperti itu pejabat lebih bersifat irasional, bahkan cenderung mistis. Bagaimana dengan melihat kondisi alam lingkungan dengan mudah melihat penyebab bencana.

Tetapi karena pejabatnya telah bebal maka mereka seolah tidak tahu, padahal rakyat tahu semua itu, sehingga apa yang diucapkan para pejabat tak lebih dari kebohongan publik untuk menyelamatkan posisinya sendiri.
Karena itu tidak pernah mengambil pelajaran apalagi mengambil hikmah dari benjana, melainkan berusaha menciptakan bencana baru, pengerukan gunung, pengurukan rawa dan daerah serapan tidak pernah berhenti. Demikian penebangan hutang tidak pernah berkurang. Bahkan belakangan ekspor pasir laut yang telah menenggelamkan beberap pulau dan merusak ekosistem dan biota laut masih akan dilanjutkan, dengan alasan tindakan dungu tersebut tidak akan merusak lingkungan. Maka masyarakat harus siap menghadapi bencana yang lebih besar, ketika alam tidak mampu melindungi manusia, karena manusia tidak mampu melindungi alam.

Menuduh alam tentu merupakan perbuatan sangat bodoh, bagaimana tidak, selama ini alam mamapu menahan curah hujan bagaimanapun tingginya, dan mampu menahan angin betapapun kencangnya. Tetapi karena alam sudah dikerdilkan kemampuannya melalui proses ekploitasi yang tanpa batas mengakibatkan alam mengalami keterbataasan dalam menghadapi proses alam yang lain.

Tanpa adanya kesadaran bahwa bahwa eksploitasi alam yang berlebihan baik yang dilakukan pemerintah yang memberikan konsesi pada para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) sementara kontrol tidak dilakukan dan hukum tidak pernah dengan tegas dilaksanakan, maka semua tindakan ilegal dan kriminal terhadap alam dibiarkan tanpa sanksi. Sementara itu perusakan oleh masyarakat berupa pencurian, perambahan yang dibekingi para cukong juga terus jalan tanpa larangan.

Memang semuanya itu mencerminkan mental secara umum bangsa ini, karena itu penyelesaiannya tidak bisa ad hoc, menyangkut manusia di lingkungan tersebut, melainkan menata mental bangsa ini, agar bisa saling mengontrol, sebab tindakan kriminal terhadap alam akan terkurangi seandainya ada kontrol ketat dari masyarakat sendirii. (abdul mun’im dz)