Risalah Redaksi

Soal Pertahanan Militer Kita

Kamis, 18 Juni 2009 | 04:32 WIB

Pertahanan merupakan istilah umum, sebagaimana istilah politik, bisa jadi pertahanan ekonomi, pertahanan politik, pertahanan militer termasuk pertahanan budaya. Pertahanan kita di sektor-sektor tersebut memang sangat lemah, bersamaan dengan proses deideologi yang berjalan di negeri ini, sehingga semangat nasionalisme juga meluntur. Di situlah asal mula bobolnya sistem pertahanan kita, baik pertahanan ekonomi, politik, budaya maupun militer. Bobolnya sistem perahanan ini membuat bangsa ini tidak memiliki harga diri, karena tidak lagi memiliki kekuatan dan kedaulatan yang penuh, sehingga hilang pula kewibawaannya sebagai bangsa.

Diskusi terbatas yang dilakukan PWNU Sumetera Utara bersama  anggota DPR-RI mengenai lemahnya pertahanan militer kita disebabkan karena adanya mental calo dan korup di sebagian anggota TNI. Tuduhan tersebut tidak terlalu meleset, karena ini persoalan militer, maka militerlah yang dianggap bertanggung jawab atas lemahnya pertahanan kemiliteran kita. Bayangkan, ketika negeri ini masih dipimpin seorang Presiden sipil yakni Bung Karno, tentara Indonesia memiliki senjata paling lengkap dan modern, sejak dari pesawat tempur, bomber, kapal perusak, dan kapal angkut militer berkapasitas besar, sehingga negeri ini merupakan kekuatan militer terbesar di Asia pada saat itu. Dengan persenjataan itulah, Indonesia bisa menaklukkan Belanda di Irian Barat dan memimpin Dunia Ketiga.<>

Sebaliknya zaman rezim Orde Baru Soeharto, seorang tentara berpangkat jenderal, dengan rezimnya yang militeristik, represif, justru tidak berusaha memperkuat sistem pertahanan militernya. Sebaliknya, rezim ini menerima skema pertahanan Barat dengan doktrinnya bahwa musuh berasal dari dalam, maka seluruh persenjataan berat dan canggih yang dimiliki dipusokan diganti dengan senjata ringan, panser, tank dan senapan mesin. Senjata tersebut digunakan untuk menghadapi musuh dari dalam yaitu rakyat sendiri, terdiri dari PKI, DI-TII, aktivis politik dan kalangan mahasiswa.

Orientasi pertahanan yang dulu melihat musuh berasal dari luar yang terdiri dari penjajah dan penyelundup juga pengilfiltrasi. Doktrin tersebut memang menyenangkan rakyat, tetapi menjadi ancaman bagi negara lain, terutama yang hendak mengintervensi Indonesia, baik secara ekonomi, politik dan budaya termasuk secara militer. Bila kekuatan militer dilumpuhkan dengan menggati senjata canggih dengan senjata ringan, maka intervensi mudah dilakukan. Mengapa kalangan militer begitu mudah dibalik doktrinnya? Tidak lain karena hampir semua perwira kita didik di pusat pendidikan militer West Point Amerika Serikat, sehingga skema yang diberikan diterapkan secara mudah. Akibatnya Indonesia menjadi negara besar dalam arti luas, tetapi pertahanan militernya paling lemah dibanding Singapura, Malaysia apalagi Australia, yang terus memperbesar belanja militernya.

Kelemahan Indonesia secara militer mengakibatkan negeri ini kehilangan kewibawaan, tetapi semua itu sementara masih bisa ditutupi bahwa kita tidak memiliki lagi musuh dari luar, dan kita cinta damai, karena damai itu indah dan damai itu sejahtera. Orang boleh bahkan harus cinta damai, justru peralatan militer yang lengkap itu bukan untuk menyerang, tetapi untuk melindungi rakyat untuk menjaga perdamaian, sehingga adagium civis pacem para bellum (bersiaplah perang kalau ingin damai) menjadi relevan dalam kasus ini. Memang tanpa memiliki kekuatan militer negeri ini akan selalu diinflitrasi oleh asing seperti sekarang ini, sementara kita tidak bisa membendungnya, akhirnya negara dirugikan, rakyat disengsarakan, terutama ketika mereka melakukan kerusuhan, sabotase ekonomi dan sebagainya.

Sebenarnya presiden sipil atau militer tidak menjadi masalah, karena keduanya ketika menjadi presiden secara langsung menjadi Panglima tertinggi, sehingga  dengan sedirinya memiliki tugas dan kewenangan untuk mengelola dan mengkomando sistem pertahanan militer nasional. Walaupun seorang sipil, kalau mengerti hakikat negara dan tugas pemerintahan, dengan sendirinya mereka akan mempersenjatai militernya secara lengkap dan canggih, sebagaimana dia juga akan memajukan ekonomi secara tinggi dan merata, sebagaimana juga akan memajukan pendidikan secara bermutu dan berdaya guna.

Tetapi semuanya itu akan sirna ketika seorang pemimpin tidak memiliki cita-cita besar, melainkan hanya memiliki ambisi untuk menjadi kaya sendiri. Maka di situlah mulai melakukan korupsi. Pertama, korupsi idealisme sebagai seorang pemimpin bangsa. Kedua, korupsi terhadap kekayaan negara. Runtuhnya pertahanan kita di berbagai bidang tidak lain karena sikap mementingkan diri sendiri dari para pemegang amanah yakni para pimpinan negara baik di sektor politik, ekonomi, kebudyaan termasuk militer.

Ketika mereka mengabdi pada kepentingan sendiri, maka kepentingan negara dan bangsa akan diabaikan bahkan dibelokkan untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Korupsi yang terjadi di seluruh sektor kehidupan itu antara lain yang membuat sistem pertahanan militer kita lemah. Dana yang mestinya digunakan untuk mengadakan persenjataan canggih diganti dengan senjata yang usang bahkan sering kita membeli senjata berupa kapal dan pesawat tempur bekas. Bagaimana senjata bekas bisa menjangkau wilayah yang sedemikian luas, sementara senjata atau pesawat dan kapal patroli baru kalau tidak canggih tidak mungkin bisa mengontrol wilayah Nusantara yang maha luas ini.

Penanaman ideologi kebangsaan, penyemaiaan kembali cita-cita dalam berbangsa merupakan wahana paling tepat untuk mengembalikan kebesaran dan kewibawaan negeri ini baik secara ekonomi, budaya termasuk militer. Dalam situasi seperti ini, rakyat dan segenap bangsa perlu dididik dan diorientasikan kembali sesuai dengan cita-cita nasional yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Ini perlu diupayakan. Kalau tidak, negeri ini akan disorientasi dan secara sosial dan politik juga akan terus kacau.

Bagi mereka yang memahami arti berbangsa dan bernegara tentu mereka akan memenuhi segala perangkatnya, baik yang bersifat fisik maupun mental dan budaya serta kepribadian. Hanya dengan cara itu, sistem pertahanan kita bisa dibangun kembali. Karena pada dasarnya, pertahanan kita adalah pertahanan semesta, yang meliputi semua bidang pertahanan, baik politik, ekonomi, budaya dan militer. (Abdul  Mun’im DZ)