Tanpa menekankan pentingnya “kedaulatan” maka berbagai program pemerintah di bidang kesehatan bisa jadi hanyalah proyek dari luar yang dibebankan kepada negara. Segala penyakit, persebarannya, berikut obat-obatannya didefinisikan oleh dan untuk para pebisnis multinasional yang memboncengi lembaga kesehatan resmi di tingkat dunia. <>
Bahkan nyaris sejak dimulainya politik etis di awal abad 20-an, saat pelajar Indonesia (sebagian diantaranya tokoh pergerakan) mulai belajar ilmu kedokteran, tanpa persiapan mental berdaulat, aktifitas belajar ilmu kesehatan hanyalah agenda untuk menyingkirkan ilmu ketabiban dan berbagai bentuk pengobatan yang telah dikembangkan oleh masyarakat pribumi.
Kali ini terkait agenda pekan kondom nasional. Untungnya, setelah digugat oleh Nahdlatul Ulama (NU), berbagai ormas Islam, majelis ulama dan tokoh lintas agama, agenda riuh ramai itu akhirnya dihentikan. Kementerian Agama juga menyatakan bahwa agenda itu telah menyakiti hati umat Islam. Aneh memang, di lingkungan pemerintahan sendiri tidak satu suara, dan seperti biasa pemegang mandat tertinggi, presiden kelihatan tidak berdaya.
Melalui sosialisasi pemakaian kondom, pihak Kementerian Kesehatan dan para pekerjanya berdalih ingin menghentikan laju penyakit global yang diberinama “AIDS”. Jika pun dalih itu bisa dianggap sah dengan menunjukkan data mengenai perkembangan penyakit aneh itu di Indonesia, ada hal yang tidak mengenakkan dalam konteks persebaran isu dan propaganda: “Bahwa ajakan untuk mewaspadai sesuatu itu berarti juga menyebarkan berita tentang sesuatu itu”, dan pada gilirannya meningkatkan tensi kekhawatiran akan hadirnya sesuatu itu, dan selanjutnya mengarahkan orang untuk mengikuti anjuran sang penyebar isu.
Persis, beberapa waktu lalu ketika penyakit global sejenis diwartakan tersebar di Indonesia: flu burung. Waktu itu, unggas-unggas menjadi sasaran pembakaran. Bahkan masyarakat kuatir dengan burung yang berkicau di pohon-pohon sekitar rumahnya; sesuatu yang dulu identik dengan keindahan dan kenyamanan hidup. Pemerintah Indonesia bahkan mengerahkan APBN dari hasil hutang secara besar-besaran untuk memberantas flu burung; sampai ke tingkat Puskesmas, dan sampai menyisir peternakan warga. Padahal sampai sejauh itu satu-dua orang yang digegerkan sakit itu hanya dinyatakan suspect atau diduga terkena penyakit global itu.
Soal AIDS ini lebih komplek lagi. Tanpa memperhatikan teori konspirasi yang ndakik orang biasa akan mudah menyimpulkan bahwa menyebaran kondom, apalagi disertai poster iklan produk dengan tampilan artis seronok itu bukan cara untuk menghindari AIDS, namun untuk mengajak masyarakat menganggap lumrah hubungan seks bebas. Lihat bagaimana kampanye pemakaian kondom itu tidak hanya ditujukan bagi kawasan yang diduga menjadi basis laju penyakit AIDS namun juga di kawasan umum, seperti kampus yang dimungkinkan prilaku seks bebas itu akan terjadi.
Kali ini, bukan sekedar modus penyebaran penyakit global itu yang disoal, tapi cara mengatasi penyakit itu yang merembet hingga ke soal penyebaran gaya hidup bar-bar yang hendak diglobalkan juga: seks bebas, tanpa aturan agama dan norma. (A. Khoirul Anam)
Terpopuler
1
Ketum PBNU: NU Berdiri untuk Bangun Peradaban melalui Pendidikan dan Keluarga
2
Harlah Ke-102, PBNU Luncurkan Logo Kongres Pendidikan NU, Unduh di Sini
3
Badan Gizi Butuh Tambahan 100 Triliun untuk 82,9 Juta Penerima MBG
4
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
5
LP Ma'arif NU Gelar Workshop Jelang Kongres Pendidikan NU 2025
6
Banjir Bandang Melanda Cirebon, Rendam Ratusan Rumah dan Menghanyutkan Mobil
Terkini
Lihat Semua