Kendi Setiawan
Penulis
Salah satu penelitian oleh Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) berjudul Pendidikan Agama dan Keagamaan pada Masyarakat Adat Kampung Pulo Desa Cangkuang, Kecamatan Leles Kabupatan Garut, Jawa Barat.
Kampung Pulo berada berada sebuah pulau kecil yang bentuknya memanjang dari barat ke timur dengan luas 16,5 hektar. Kampung Pulo berjarak kurang lebih dua kilometer dari Kecamatan Leles dan 17 kilometer dari Kota Garut atau 46 kilometer dari Bandung.
Menurut peneliti, Kampung Pulo adalah saah satu desa cagar budaya dan wisata budaya yang dikelola oleh Dinas Pariwisata. Di Kampung Pulo disediakan lahan parkir, serta fasilitas transportasi rakit berbayar menuju ke area wisata dan museum budaya. Museum budaya Kampung Pulo menyimpan manuskrip dan berbagai data mengenai situs tersebut. Oleh karenanya, dikenakan biaya tiket masuk untuk mengunjungi wisata ini. Berbagai penjual suvenir dan jajanan juga diberi ruang untuk berjualan. Para penjual merupakan warga setempat dan beberapa keluarga dari masyarakat Kampung Adat Pulo.
"Secara umum kondisi lingkungan di kawasan ini memiliki kualitas lingkungan yang baik, kebersihan yang cukup terjaga dan juga bentang alam yang baik. Tingkat visibilitas di kawasan ini digolongkan cukup bebas dengan tingkat kebisingan yang rendah. Keadaan Kampung Pulo merupakan sebuah kampung kecil, terdiri dari enam buah rumah dan enam Kepala Keluarga (KK). Keadaan demikian itu bukan hanya sekarang melainkan sejak zaman dulu dan sudah merupakan ketentuan adat bahwa jumlah rumah dan kepala keluarga itu harus enam," tulis peneliti dalam laporannya.
Peneliti berhasil mengungkapkan asal usul masyarakat adat Kampung Pulo. Menurut sejarah dan cerita legenda nenek moyang masyarakat Desa Cangkuang, nama Desa Cangkuang berasal dari nama pohon yang banyak terdapat di sekitar makam Mbah Dalem Arif Muhamad, namanya pohon cangkuang. Pohon ini jenis pohon pandan dalam bahasa latin (Pandanus Furcatus), yang pada tempo dulu daunnya dimanfaatkan untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus gula aren.
Di Desa Cangkuang terdapat suatu danau atau situ yang diberi nama Situ Cangkuang dengan luas danau 25.555 hektar dan volume air mencapai 288.340 meter kubik. Status danau ini berada di bawah pengelolaan Dinas PU Propinsi. Saat penelitian dilakukan, sebanyak kurang lebih 50 persen permukaan airnya sudah tertutup oleh tanaman air berupa eceng gondok, ganggang, dan teratai. Sementara sebagian lagi mengalami pedangkalan kemudian menjadi rawa yang selanjutnya oleh masyarakat sekitar dipergunakan sebagai sawah-sawah.
Dahulu kala, Mbah Dalem Arif Muhamad dan pengikutnya berserta masyarakat sekitar membendung daerah ini, sehingga membentuk sebuah danau kurang lebih pada abad XVII. Setelah daerah itu selesai dibendung, daratan yang rendah menjadi danau dan bukit-bukit menjadi pulau yaitu Pulau Panjang tempat Kampung Pulo berada. Selain itu ada juga Pulau Gede Pulau Leutik, Pulau Wedus, Pulau Katanda, Pulau Masigit. Pulau-pulau tersebut sekarang tidak merupakan pulau karena satu sama lain pulau dihubungkan dengan jalan atau pematang akibat erosi yang dibawa arus sungai dari mata air Cicapar sampai Situ Cangkuang.
Di dalam areal danau dan sekitarnya terdapat pulau atau bukit yang berisi makam yang berkaitan dengan sejarah makam Dalem Arif Muhamad dan terdapat juga Candi Cangkuang. Mbah Dalem Arif Muhamad dan para pengikutnya berasal dari Kerajaan Mataram Islam. Mereka datang untuk menyerang tentara VOC di Batavia sambil menyebarkan agama Islam di Desa Cangkuang khususnya Kabupaten Garut umumya.
Mayoritas masyarakat Desa Cangkuang khususnya Kampung Pulo pada waktu menganut agama Hindu, terbukti dengan adanya Candi peninggalan agama Hindu yang sekarang sudah dipugar. Dengan arif dan bijaksana, Mbah Dalem Arif Muhamad mengajak masyarakat untuk menganut agama Islam.
Pada saat ini semua penghuni Kampung Pulo beragama Islam tetapi masih memiliki kepercayaan kuat terhadap adat istiadatnya, seperti: melakukan upacara membersihkan benda pusaka, upacara setelah panen, berziarah kubur, memiliki tempat menyimpan padi (goah) yang dianggap keramat.
Manfaat Situ Cangkuang
Situ Cangkuang terbukti mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat sekitar, di antaranya untuk mencuci, mandi, olahraga. Situ Cangkuang ini merupakan tempat penangkapan atau pemacingan ikan bagi masyarakat Desa Cangkuang dan sekitarnya. Di Situ Cangkuang banyak sekali ikan beunteur, paray, jongjolang, impun gendol, dan gabus.
Pengunjung yang akan menuju Candi Cangkuang harus menggunakan rakit sebagai alat transportasi, karena hanya angkutan tradisional rakit ini yang ada sebagai alat penghubung ke Candi Cangkuang. Adapun jumlah rakit saat ini berjumlah 24 buah yang terbentuk di dalam suatu wadah usaha yang di beri nama Paguyuban Usaha Tukang Rakit (PUTRA) Cangkuang.
Situ Cangkuang sebagai sarana tempat penampungan air dan dapat mengairi sawah seluas ± 350 ha, yang meliputi enam desa yaitu: Desa Cangkuang, Desa Dungusiku, Desa Karangsari, Desa Karanganyar, Desa Cikembulan dan Desa Neglasari.
Pada sekitar tahun 1966 di sebuah bukit di Kampung Pulo Desa Cangkuang telah ditemukan kembali kerangka bangunan candi yang ditemukan oleh Tim Sejarah Leles. Dengan penemuan tersebut Tim Sejarah dan Lembaga Kepurbakalaan mempunyai ide untuk segera mengadakan penelitian di daerah tersebut hingga tahun 1968 penelitian itu terus berlangsung.
Pada Tahun 1974 dengan adanya Pelita II pekerjaan pemugaran dapat dilaksanakan oleh Proyek Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain Susunan Percobaan yang diadakan pada tahun 1968 sudah berserakan lagi; Ingin melestarikan peninggalan-peninggalan Nasional; Ingin menjadikan sebagai bahan penelitian bagi mahasiswa, siswa dan umum; Ingin mendirikan objek wisata yang sangat menarik perhatian bagi para wisatawan baik Nusantara maupun mancanegara.
Dalam pelaksanaan pemugaran ini telah ditemukan lagi batu candi yang merupakan bagian-bagian ini belum ditemukan. Dengan demikian bangunan candi tersebut menjadi lengkap mulai dari kaki candi, tubuh, atap I ,atap II dan puncaknya. Dari susunan pemugaran yang telah lengkap itu baru dapat dibuat gambar rekonstruksinya dan akhirnya dapat dilihat bentuk candi yang sebenarnya.
Bagi Provinsi Jawa Barat, Candi Cangkuang ini merupakan temuan yang penting di bidang kebudayaan ataupun sejarah, karena merupakan bangunan Candi yang pertama kali dapat dipugar dan sekaligus mengisi kekosongan sejarah antara Purnawarman dan Pajajaran. Menurut para ahli arkelogi, Candi Cangkuang didirikan pada abad VIII.
Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua