Syariah

Hukum Berkendara Lewat Trotoar Jalan

Selasa, 21 November 2023 | 18:00 WIB

Hukum Berkendara Lewat Trotoar Jalan

Trotoar. (Foto: Pemkot Depok/Kominfo)

Berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), trotoar adalah jalur khusus bagi pejalan kaki yang tidak boleh digunakan oleh kendaraan bermotor. Pada Pasal 131 dijelaskan bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.


Kemudian yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan hukum Islam terkait hukum mengendarai kendaraan motor atau mobil lewat trotoar jalan? Apakah itu perbuatan yang terlarang?


Dalam Islam, hukum mengendarai kendaraan lewat trotoar jalan adalah haram. Pasalnya, trotoar sebagaimana fungsinya, diperuntukkan untuk masyarakat yang berjalan kaki. Sehingga, dengan mengendarai kendaraan di atasnya maka akan menimbulkan bahaya bagi pejalan kaki. 


Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad ad-Dusuqi dalam kitab Syarah al-Kabir li Syekh ad-Dardir wa Hasyiyah ad Dusuqi, Jilid III, halaman 368  bahwa haram melakukan tindakan apapun di jalan umum yang dapat membahayakan pejalan kaki, karena jalan umum adalah hak milik masyarakat umum, tidak ada seorang pun yang boleh merugikan hak pengguna jalan.


Untuk itu, tidak boleh menanam pohon atau meletakkan sesuatu yang membahayakan di jalan umum, meskipun jalan tersebut lebar. Pasalnya, tindakan tersebut dapat menghalangi pejalan kaki untuk menggunakan akses jalan. 


Selain itu, tindakan tersebut merupakan pembangunan di tanah milik orang lain tanpa izin dari empunya, dan dapat membahayakan pejalan kaki di kemudian hari. Jika tindakan tersebut dibiarkan, lama-kelamaan tempat tersebut akan beralih kepemilikan menjadi milik pribadi, kelak hak orang untuk menggunakan jalan tersebut akan terputus. 


(و) قُضِيَ (بِهَدْمِ بِنَاءٍ فِي طَرِيقٍ) نَافِذَةٍ أَوَّلًا (وَلَوْ لَمْ يَضُرَّ) بِالْمَارَّةِ؛ لِأَنَّهَا وَقْفٌ لِمَصْلَحَةِ الْمُسْلِمِينَ فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا شَيْئًا، فَإِنْ كَانَ أَصْلُهَا مِلْكًا لِأَحَدٍ بِأَنْ كَانَتْ دَارًا لَهُ وَانْهَدَمَتْ حَتَّى صَارَتْ طَرِيقًا لَمْ يَزُلْ مِلْكُهُ عَنْهَا وَقَيَّدَهُ بَعْضُهُمْ بِمَا إذَا لَمْ يَطُلْ الزَّمَانُ حَتَّى يَظُنَّ إعْرَاضَهُ عَنْهَا فَلَيْسَ لَهُ فِيهَا كَلَامٌ


Artinya; "(Dan) diputuskan (untuk menghancurkan bangunan di jalan) yang terbuka terlebih dahulu (bahkan jika tidak membahayakan) para pejalan kaki; karena itu adalah wakaf untuk kepentingan umat Muslim, sehingga tidak ada seorang pun yang boleh membangun sesuatu di dalamnya. Jika aslinya milik seseorang karena dulunya adalah rumah miliknya dan runtuh hingga menjadi jalan, maka kepemilikannya tidak hilang darinya. Sebagian ulama membatasinya dengan jika waktunya tidak lama hingga disangka dia telah mengabaikannya, maka dia tidak memiliki hak apa pun di dalamnya."


Pada sisi lain, dalam kitab Fathu al Rabani li Tartibi Musnadi al Imam Ahmad bin Hanbal al Syaibani, dijelaskan bahwa Rasulullah saw memberikan nasihat kepada umatnya untuk selalu menjaga lingkungan dan kenyamanan orang lain. Nabi mengingatkan sebagai seorang Muslim harus senantiasa menghilangkan segala sesuatu yang dapat menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun non-fisik.


Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda bahwa seorang Muslim dapat masuk surga dengan cara menghilangkan gangguan dari jalan. Gangguan tersebut dapat berupa benda, hewan, atau bahkan sesuatu yang bisa menyakiti orang lain.


قلت يا رسول الله علمني شيئا ينفعني الله تبارك وتعالى به فقال انظر ما يؤذي الناس فاعزله عن طريقهم (وفي لفظ آخر) قلت يا رسول الله دلني على عمل يدخلني الجنة أو انتفع به قال اعزل الأذى عن طريق المسلمين


Artinya; "Aku berkata, "Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku sesuatu yang bermanfaat bagiku yang Allah Ta'ala akan memberkahinya untukku." Beliau menjawab, "Lihatlah apa yang menyakiti orang-orang, maka jauhkanlah dari jalan mereka."


"[Dalam riwayat lain], Aku berkata, "Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga atau bermanfaat bagiku." Beliau menjawab, "Jauhkanlah gangguan dari jalan kaum Muslimin."


Lebih lanjut, keharaman berkendaraan lewat trotoar dalam Islam karena mengemudi di trotoar termasuk perbuatan ghasab pada hak orang lain, karena trotoar merupakan fasilitas umum yang diperuntukkan bagi pejalan kaki. Dengan mengemudi di trotoar, pengendara kendaraan bermotor telah merampas hak pejalan kaki untuk menggunakan trotoar secara aman dan nyaman.


Dalam Islam, perbuatan ghasab hak orang lain adalah perbuatan yang dilarang. Hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 29:


وَلَا تَظْلِمُوا النَّاسَ فِي أَمْوَالِهِمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ


Artinya: "Dan janganlah kamu menganiaya manusia dalam harta mereka dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."


Perbuatan ghasab juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan kezaliman. Kezaliman adalah perbuatan yang melanggar hak orang lain, baik hak harta, hak jiwa, maupun hak kehormatan. Kezaliman merupakan dosa besar yang akan dibalas oleh Allah swt di hari kiamat.


Sementara itu, Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyati dalam Kitab I'anah at-Thalibin, Jilid III, halaman 162 menjelaskan bahwa ghasab dalam Islam hukumnya adalah haram. Pasalnya, mengambil sesuatu yang bukan haknya. Ia berkata;


فصل في بيان أحكام الغصب أي في بيان أحكام الغصب، كوجوب رده، ولزوم أرش نقصه، وأجرة مثله، إلى غير ذلك والمعتمد أنه كبيرة مطلقا، وقيل كبيرة إن كان المغصوب مالا بلغ نصاب سرقة، وإلا فصغيرة, أما لغة، فهو أخذ الشئ ظلما مجاهرة وقيل أخذ الشئ ظلما مطلقا، ودخل في الشئ، المال، وإن لم يتمول، كحبة بر، والاختصاص، كالسرجين، والخمر المحترمة، وخرجت السرقة على القول الأول


Artinya; “Dalam pembahasan ini, akan dijelaskan hukum-hukum ghashab, seperti kewajiban mengembalikan barang yang dighasab, kewajiban membayar ganti rugi atas kerusakan barang yang dighasab, kewajiban membayar sewa barang yang dighasab, dan lain-lain. Di dalam mazhab Syafi'i, ghashab dihukumi sebagai dosa besar secara mutlak. Namun, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa ghashab dihukumi sebagai dosa besar jika barang yang dighasab merupakan harta yang telah mencapai nishab pencurian. Jika tidak, maka ghashab dihukumi sebagai dosa kecil."


"Secara bahasa, ghashab berarti mengambil sesuatu secara paksa dan terang-terangan. Ada juga yang berpendapat bahwa ghashab berarti mengambil sesuatu secara paksa secara mutlak. Yang termasuk dalam pengertian "sesuatu" dalam ghashab adalah harta, meskipun tidak memiliki nilai ekonomi, seperti sebutir gandum. Yang termasuk dalam pengertian "hak khusus" dalam ghashab adalah barang yang bersifat khusus, seperti pakaian, minuman, dan makanan. Menurut pendapat pertama, pencurian tidak termasuk dalam pengertian ghashab."


Oleh karena itu, umat Islam wajib menghindari perbuatan ghasab, termasuk berkendara di trotoar. Jika terpaksa harus menggunakan trotoar, pengendara kendaraan bermotor harus melakukannya dengan hati-hati dan tidak membahayakan pejalan kaki.


Berkendara di Trotoar dalam Tinjauan Undang-undang

Sejatinya, berdasarkan peraturan yang berlaku, mengendarai kendaraan bermotor di trotoar merupakan bentuk pelanggaran hukum. UU telah menyediakan sanksi bagi pengendara yang melanggar ketentuan ini diatur dalam Pasal 284 UU LLAJ, yaitu pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000.


Selain UU LLAJ, ketentuan mengenai larangan berkendara di trotoar juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2007 tentang Jalan. Pasal 37 ayat (1) PP tersebut menyebutkan bahwa trotoar adalah jalur khusus bagi pejalan kaki yang tidak boleh digunakan untuk kendaraan bermotor. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp250.000 hingga Rp500.000.


Peraturan terkait larangan berkendara di trotoar ini bertujuan untuk melindungi keselamatan pejalan kaki. Bagaimana tidak? Trotoar merupakan fasilitas yang disediakan oleh negara khusus untuk pejalan kaki, sehingga penggunaannya oleh kendaraan bermotor dapat membahayakan keselamatan pejalan kaki.


Dengan demikian, larangan menggunakan trotoar untuk berkendaraan merupakan salah satu bentuk menjaga keselamatan dan kenyamanan orang lain. Penggunaan trotoar oleh pengendara kendaraan bermotor atau mobil dapat mengganggu dan membahayakan keselamatan pejalan kaki, terutama anak-anak dan orang tua.

 

Zainuddin Lubis, Pegiat kajian keislaman, tinggal di Ciputat