Shofi Mustajibullah
Kolomnis
Kodrat dari manusia baik pada era modern maupun purba adalah berkelompok. Dalam artian, membentuk suatu kelompok, komunitas, bahkan negara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Naluri ini yang menjadikan manusia sebagai makhluk sosial. Kendatipun beberapa hewan pun hidup secara berdampingan dan berkelompok, hanya manusialah yang mampu membentuk sistem sosial seperti yang saat ini kita rasakan.
Selain itu, kemampuan komunikasi manusia yang begitu kompleks memperkuat kodratnya sebagai makhluk sosial. Berbeda dengan hewan yang hanya mengandalkan naluri dan komunikasi sederhana, manusia mampu menciptakan bahasa, simbol, dan aturan yang menjadi dasar hubungan antar individu dalam kelompoknya.
Fakta penciptaan manusia sebagai makhluk sosial dapat direkam dalam ayat Quran. Bahwasanya manusia diciptakan dengan keterikatan kepada orang lain, mulai dari cakupan terkecil seperti pertemanan, pasangan suami istri, hingga cakupan besar seperti kewarganegaraan (civil society). Ayat tersebut adalah:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Dalam menjalani kehidupan sosial, setiap orang membutuhkan sosok teman—seseorang yang dapat menjadi tempat berbagi, diskusi, mencurahkan pikiran, serta menjalani berbagai aktivitas lainnya.
Bahkan, untuk mencapai kesuksesan dalam karier, akademik, dan kehidupan secara umum, seseorang sering kali memerlukan dukungan dari seorang teman. Oleh karena itu, ikatan pertemanan dalam bingkai sosial menjadi sangat penting.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin (Beirut, Darul Ma’rufah, 1982: X/173) menempatkan posisi pertemanan setara dengan ikatan pernikahan. Jika dalam pernikahan, seorang suami memiliki hak atas istri dan sebaliknya, pun dalam ikatan pertemanan antara satu sahabat dengan sahabat lainnya memiliki hak yang sama. Keduanya memiliki hak untuk mendapatkan ketulusan, doa, penerimaan maaf, kesetiaan, dan solidaritas.
Nabi Muhammad menganalogikan ikatan antara satu individu mukmin dengan mukmin lainnya sebagai tangan yang saling membasuh. Kedua mukmin yang saling menguatkan, men-support, dan saling membahu akan menumbuhkan kondisi sosial yang kuat.
مَثَلَ الْأَخَوَيْنِ مَثَلُ الْيَدَيْنِ تَغْسِلُ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
Artinya, “Dua ikatan pertemanan sama seperti hubungan kedua tangan yang salah satunya membasuh tangan lainnya.” (HR. Ad-Dailami)
Namun, dalam perjalanan sebuah ikatan pertemanan, tak jarang hubungan tersebut terputus di tengah jalan. Fenomena ini sering terjadi karena berbagai faktor yang membuat satu sama lain memilih untuk mengakhiri ikatan pertemanan. Sebagian besar alasan pemutusan hubungan tersebut disebabkan oleh suasana yang kurang sehat atau dikenal dengan istilah toxic relationship.
Misalnya, Anda telah lama berada dalam sebuah komunitas, kelompok, atau perkumpulan yang memberikan Anda banyak relasi. Namun, seiring berjalannya waktu, orang-orang di sekitar Anda justru menunjukkan perilaku yang semakin memburuk. Baik dari segi agama, moral, pola pikir, bahkan hingga berpotensi mengganggu keseimbangan emosional dan psikologis Anda. Langkah yang paling rasional dalam situasi ini adalah menjauh dari lingkungan tersebut.
Dengan pengalaman yang demikian, bagaimana pandangan Islam kaitannya dengan memutus (cut off) pertemanan?
Selama ini, keputusan dalam menjauh dari ekosistem sosial yang buruk dianggap sebagai memutus silaturahmi (قَاطِعُ الرَّحِمِ). Konsekuensi dari memutus tali silaturahmi adalah seorang mukmin tidak akan dimasukkan surga. Rasulullah memperingatkan dalam salah satu hadits:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
Artinya, “Seseorang yang memutus (silaturahmi) tidak akan masuk surga.” (HR. Imam Bukhari)
Dalam memahami persoalan ini, kita harus memahami dahulu tentang perihal yang dikehendaki syariat mengenai silaturahmi. KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa pihak yang wajib untuk tetap lestari dalam silaturahmi adalah sanak kerabat yang terikat dalam ke-mahram-an (haram untuk dinikahi).
Untuk anak dari semisal paman atau bibi yang mahram, tidak ada kewajiban untuk tetap mempertahankan hubungan silaturahmi, pun dengan teman yang tidak memiliki ikatan kekerabatan.
Biarpun begitu, menjaga silaturahmi tetap dianjurkan kepada siapa saja, sebagaimana dituliskan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam At-Tibyan fi Nahyi an Muqatil Arham wal Ikhwan (Jombang, Maktabah Turats Islami, t.t.: 9).
Adapun dalam sudut pandang agama, menjauhi pertemanan yang buruk diperbolehkan. Hal ini dikarenakan agama mengakui perlunya menjaga kesehatan mental dan kualitas agama dalam hubungan sosial.
Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Az-Zawajir (Beirut, Darul Fikri, 1987: II/71) menjelaskan pengecualian yang memperbolehkan seseorang mendiamkan (هجرة) atau mengurangi intensitas interaksi dengan orang lain jika interaksi tersebut dapat merusak kondisi mental atau spiritual. Langkah ini dianggap mendatangkan kebaikan bagi aspek keagamaan kedua pihak.
Al-Mawardi dalam Adabud Dunya wad Din (Beirut, Darul Maktabah Al-Hayah, 1986: 166) sendiri mengutip pendapat para ahli sastra, justru memutus ikatan pertemanan merupakan opsi paling baik dibanding terus berteman dalam keadaan menyesal. Menyesal yang dimaksud ialah pertemanan yang tidak memunculkan vibes yang positif, justru cenderung negatif. Beliau mengatakan:
وَقَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: مُصَارَمَةٌ قَبْلَ اخْتِبَارٍ، أَفْضَلُ مِنْ مُؤَاخَاةٍ عَلَى اغْتِرَارٍ
Artinya, “Para ahli sastra berkata, “Memutus suatu hubungan pertemanan sebelum menguji (kesetiaan) lebih baik daripada pertemanan berdasarkan kepercayaan yang keliru (kekecewaan).”
Alhasil, dalam perspektif Islam, memutus (cut off) sebuah ikatan pertemanan diperbolehkan jika bertujuan untuk menjaga keseimbangan mental, agama, atau moral seseorang dari pengaruh yang buruk.
Tindakan ini tidak masuk dalam kategori memutus tali silaturahmi. Menjauh dari lingkungan yang toxic adalah tindakan yang sejalan dengan ajaran Islam, mengingat setiap hubungan sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku individu.
Pada akhirnya, jika kita terus terlibat dalam lingkungan pertemanan yang berpotensi merusak, hal ini justru bisa membawa dampak negatif yang sangat dilarang dalam agama. Wallahu A’lam.
Ustadz Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren Kampus Ainul Yaqin
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua