Tokoh

Enas Mabarti, Penulis dan Politisi NU dari Garut

Selasa, 30 Agustus 2016 | 11:01 WIB

Enas Mabarti dikenal sebagai staf pengajar perguruan tinggi swasta di Kabupaten Garut, politisi serta penulis di beberapa penerbitan. Pers bahkan kerap memposisikan dirinya sebagai kolumnis, karena cukup produktif memaparkan analisanya termasuk dikenal sebagai wartawan hutan karena kerap menulis di majalah Kehutanan.

Semasa kuliah di jurusan FISIP UGM Yogyakarta, ia nyantri di Pondok Pesantren Krapyak pimpinan KH Ali Ma’shum. Pada masa itu, ia aktif di Gerakan Pemuda Ansor. Ketika pulang kampung ia melanjutkan aktivitasnya dengan menjadi ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU kabupaten Garut.

Dalam politik, dosen politik Universitas Garut (Uniga) ini pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) II (1982-1987) perwakilan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan pada tahun 1999 menjadi ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sekaligus Ketua PCNU.

Dalam dunia kepenulisan, Enas berkarya sejak duduk di bangku SMA. Karyanya dimuat Pikiran Rakyat, Sipatahoenan, majalah bahasa Sunda Mangle, dll. Ia juga pernah menjadi wartawan Bina Rimba Perhutani (1978-1988). Selain itu, pria yang dijuluki lelaki sutra karena melankolis ini, sering menerjemahakan Al-Quran dalam bentuk puisi.

Bakatnya dalam sastra, dituangkannya dengan menulis buku Rencep Sidem Gunem, sebuah buku berbahasa Sunda. Buku yang pernah dimuat secara berkala di majalah Mangle tersebut mengungkap masalah sehari-hari menjadi bahan renungan. Kemuadian dituangkan dalam bentuk tulisan yang dilengkapi ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi Muhammad dan qaul-qaul ulama. Alhasil, tulisan itu berbuah ajaran moral dengan gaya yang indah penuh artistik.  

Sebagai seorang politikus, Enas menuangkan pemikirannya dalam Elmu Politik keur Warga NU  (Ilmu Politik untuk warga NU). Posisi buku itu sangat unik. Pertama, Enas menulis dalam bahasa Sunda di tengah jarangnya penulisnya menggunakan bahasa daerah. Kedua, yang dibahas adalah masalah politik. Tentu saja Enas berniat warga nahdliyin di Kabupaten Gaut khususnya, dan urang Sunda pada umumnya, melek politik.

Dalam buku tersebut, ilmu politik harus dengan tujuan ibadah. Enas menyebutkan pondasi untuk berpolitik warga nahdliyin adalah kaluhungan (ketinggian) ilmu, kaimanan jeung (dan) kaahlian, takwa.

Enas Mabarti meninggal pada bulan April tahun 2014. Sebagai bentuk kecintannya kepada Sunda, ia berwasiat kepada keluarganya agar honorarium karya-karyanya disumbangkan untuk pengembangan Pusat Studi Sunda (PSS) . (Abdullah Alawi)